Ada banyak kesedihan yang sangat teramat lebih menyedihkan dibanding kematian.Tapi,umurku juga masih delapan belas, terasa terlalu menggurui kalau aku menerangkannya dengan detail. Sebab Pembaca mungkin lebih mengerti pangkal ujung pikiranku yang masih dangkal. Betul, aku masih belajar membangun pola pikir yang belum kupunya.
“Ibu pergi ke laut,” kata Phutut Ea dalam cerpennya, pertama kali aku terharu membaca cerita singkat. Bukan kematian yang diceritakannya tapi keadaan seorang anak yang ditinggal yang menguras cairan being dari bola mata. Bukan maling ayam yang mati dibakar massa yang membuat aku merana, tapi anak dan istri sepeninggalnya yang membuat hatiku sengsara.
Mungkin “Ibu Pergi ke Laut” tak bisa kurinci sebab seumur hidup aku belum pernah melihat laut langsung dengan mata kepalaku. Jadi meski hatiku membiru laut dengan kisah itu, tapi tak sanggup aku meneruskannya. Biru laut pun aku tak tahu aslinya bagaimana. Apakah seperti biru baju ayahku yang kader sebuah partai atau biru seperti pinsil warna yang dulu waktu SD wajibku punya? (konon katanya kalau tak punya artinya tak sungguh-sungguh belajar, hingga ada alasan Bu Guru untuk mengusirku keluar kelas). Memang pewarna itu wajib dibeli dari Bu Guru. Akh, makan saja susah.
Kalau begitu kuceritakan tentang maling ayam di kelurahan kami yang mati dibakar massa saja ya? Sebab aku tak kenal laut dan sudah lupa wajah Bu Guru yang dulu setiap hari bertanya kapan pinsil warna itu akan kubayar. Jadi begini ceritanya:
Sepasang suami istri hidup bahagia di sebuah rumah kontrakan berukuran 6×10 meter, berdinding beton, beratap seng dan berkamar dua. Kebahagiaan mereka semakin lengkap dengan hadirnya seorang putra belahan jiwa, bukan karena tangisnya yang sampai ke jalan raya, tapi karena mereka heran kenapa setiap anak yang lahir harus menangis. Bukankah lebih baik tertawa atau tidur dan sebagainya?
Sang suami, sebut saja namanya Gunawan (bukan nama sebenarnya yang pasti),dan si istri bernama Melani (sedikit plesetan saja). Gunawan bekerja sebagai satpam di sebuah bank swasta dan Melani sebagai ibu rumah tangga. Lima tahun usia pernikahan mereka tak ada yang berubah, Gunawan tetap sebagai Satpam dan Melani tetap ibu rumah tangga. Tak ada yang berubah, si kecil, yang mereka namai Pram, sudah masuk TK. Tak ada yang berubah kecuali kesibukan Melani yang bertambah-tambah didukung oleh perutnya yang sudah mulai membesar lagi. Tak ada yang berubah kecuali sewa kontrakan yang mendaki langit tanpa tangga, kecuali harga kebutuhan sehari-hari yang menyusul sewa kontrakan.
Melani terkadang bingung kenapa uang Rp 25 yang dulu dapat membuatnya kenyang di sekolah, kini tak ada harga lagi. Dia tak paham kenaikan BBM. Bukan karena dia tak sekolah, bukan, walau hanya sebatas kelas 5 SD. Pokoknya yang dia tahu BBM itu minyak, kalau ditanya BB-nya apa, pasti dia diam. Yang dia tahu dan pasti tahu, kalau minyak naik dua ratus berarti beras naik lima ratus, itu saja. Benang merahnya apa? Kalau ditanya pada Melani, dia akan pergi, orang benang putih saja dia tak terpikir lagi untuk membeli. Padahal guru mengaji Pram sudah pesan supaya ketiak bajunya yang bolong itu dijahit. Meski Pram sudah dapat julukan ketibol (ketiak bolong) dan kobol (kopiah bolong), tetap saja Melani tak pernah terpikir untuk menjahitnya karena harus membeli benang putih. Karena semua baju di rumahnya dijahit dengan satu benang yang berwarna hitam.
Gunawan setali tiga uang, ia pun harus bersedia mematikan rokoknya saat tersisa tinggal lima cm, untuk persediaan malam hari. Nah, itu saja yang terjadi selama lima tahun pernikahan mereka , tak lebih.
Keadaan baru berubah ketika di pagi hari yang cerah. Burung-burung terbang rendah, angkot dipenuhi anak-anak sekolah, udara yang cerah jadi terasa gerah, sehingga Gunawan sampai di Bank tempatnya bekerja dalam keadaan basah karena keringat.
“Gun!”
“Ada apaan Yan?”
“Itu dipanggil Bos”
Rokok yang harusnya plus lima cm baru mati, kini terpaksa sudah mati di jarak plus delapan cm.
“Jadi gimana Bang? Abang cari kerja dululah, adik Pram bentar lagi mau nongol nih.”
“Iya.”
PHK diterimanya dengan lapang dada. Dengan pesangon seadanya dia kembali mencari kerja. Kerja apa saja, meski pekerjaan itu tidak meminta ijazah SMAnya demi menyambut adik Pram. Segala jenis pekerjaan ia terima, mulai dari kuli pikul dan buruh bangunan dicicipinya. Tapi yang namanya uang tak pernah berlebih selalu kurang. Lain dengan Gunawan ia tidak merasa kurang tapi kekurangan. Pesangon telah lenyap. Anggaran belanja rumah tangga tiap hari dikerucutkan. Pram tak lagi ke TK dan tak ada bau tembakau di mulut Gunawan. Imbasnya paling berat tentu saja pada kepala rumah tangga, siapa lagi kalau bukan Gunawan. Ujung-ujungnya Melani mogok bicara. Sebenarnya ini ide Bu RT, katanya biar suami terlecut semangatnya untuk bekerja.
Dua hari Gunawan tak pulang ke rumah, Melani jelas cemas. Untung hari ketiga Gunawan pulang dan bawa uang. Pinjam dari teman katanya.
“Wah, baik kali kawan Abang itu!”
“Dia baru dapat rezeki nomplok.”
“Maksudnya?”
Setenggah berbisik Gunawan mendekatkan mulutnya ke telinga istrinya. Padahal tak usah berbisik pun tak mungkin ada yang mendengar percakapan mereka karena rumah mereka berdinding beton dan cukup luas, cuma posisi rumah itu berada di sudut gang hingga sepeda motor pun tak bisa masuk.Tapi mungkin Gunawan merasa itu adalah rahasia besar hingga malaikat pun tak boleh tahu.
“Akh.. Itu syirik, Bang.”
“Duh.. Jaman sekarang ini yang haram saja banyak prosedurnya apalagi yang halal.”
“Tapi Bang….”
“Gak ada tapi-tapian, toh kita gak perlu mengajukan sertifikasi halal ke pemerintah. Mereka itu apa? Tega nengok orang seperti kita ini, bisanya cuma bilang halal-haram, trus makan uang rakyat.”
“Tapi..” Sekali lagi Melani ingin menyanggah dengan kata “tapi”, tapi tekad suaminya sepertinya sudah bulat hingga kata-kata yang tadi keluar hanya berbisik sekarang sudah dengan suara yang sedikit lantang menentang.
“Syaratnya gak banyak, dan gak sulit, kamu tenang saja.” Gunawan memegang perut istrinya yang berisi nyawa, lalu diciumnya kening istrinya, lalu hilang di keheningan sang gelap.
Melani tak bisa tidur, dia terus menunggu Gunawan pulang. Sebenarnya ada perasaan tidak rela untuk melepas kepergian Gunawan, tapi kebutuhan mengatakan lain. Di saat Melani hendak tertidur, ia mendengar suara berteriak-teriak dari luar.
“Di sana.. Di sana..”
Suara orang -orang mengejar sesuatu, entah seekor dan mungkin juga seseorang.
“Kepung, kepung!”
Melani penasaran dan mendongakkan kepalanya keluar pintu. Tiba-tiba ia berfirasat aneh
“Jangan-jangan..” Melani menghambur keluar .
Dan…..
“Ah, ini dia, udah dapat pak RT.” Seorang pemuda keluar dari rimbun bunga-bunga sambil membawa seekor ayam di kedua tangannya. Dengan senyum lebar, Pak RT menerima ayam itu.
“Hah.. Si Jago bikin cemas satu RT aja.” Pak RT mencium ayamnya. Memang ayam itu seperti madu bagi Bu RT. Menurut Bu RT, dia seperti dipoligami. Ah.. Melani kurang tahu artinya, bahkan sering dia salah sebut poligami atau poliponik. Fitur benda yang tak pernah dipunyainya. Pegang sih pernah ketika beberapa bulan yang lalu Gunawan menelepon dari wartel ke HP tetangga.
“Akh.. Ini si Jago, nganggu orang tidur aja.” Melani merepet sendiri sambil mengunci pintu dari dalam dan kembali tidur.
“Firasat istri tak selamanya benar,” gumam Melani di saat matanya hendak mengatup. Tapi tetap saja dia tak bisa tidur, pikirannya terus menerawang entah ke mana. Masa lalunya yang indah ketika di desa, masa sekolahnya yang tak pernah bisa dibilang enak,tapi selalu menyisakan senyum di bibirnya setiap kali mengingat semua kenangan itu. Kembali terlintas masa berpacaran dengan Gunawan yang begitu singkat hingga langsung ke jenjang pernikahan. Setelah membuka memori-memori itu, sepertinya Melani sudah merasakan kantuk yang sangat berat. Dipeluknya Pram erat, entah tanda sayang atau hanya sekedar berbagi suhu badan. Yang pasti matanya sudah beberapa menit tertutup ketika terdengar lagi teriak-teriak dari luar rumahnya.
“Bakar… Bakar… Bakar..”
“Habisi aja… Habisi aja!”
Suara orang berlarian tak lagi dihiraukan Melani. Dalam hatinya, “Si Jago bikin ribut aja,” tapi didengarnya suara itu makin mendekat ke rumahnya. Suara denting-denting parang pun menebas-nebas ulu hati Melani. Dia juga tak yakin ada orang pesta bakar ayam malam itu, di bulan tua.
Dengan malas Melani berjalan ke arah pintu, ingin menyaksikan apa yang sedang terjadi. Karena sepertinya semua orang berlari ke arah pintu rumah Melani, tepatnya kontrakan Melani.
Alangkah terkejutnya Melani saat pintu dibukanya. Sesosok badan yang dipenuhi api terjerembab persis di depan kakinya.Bau bensin menyengat hidungnya. Di punggung jasad itu setidaknya ada 5 lubang menganga. Topeng di wajah pemilik jasad itu menghalangi Melani untuk mengenali.
“Yang pasti itu bukan Bang Gunawan,” pikirnya. Sebab ia tahu suaminya tidak punya liang di punggungnya.
Sekitar 20-an laki-laki yang sepertinya belum mengandaskan amarahnya, menunggu api di jasad itu padam. Seketika wajah itu mendongak ke arah Melani beberapa detik,tapi tetap saja Melani tidak mengenalinya, namun ia yakin kalau itu bukan suaminya.
“Bang Gunawan tidak suka pakai topeng,” kata batinnya.
“Coba buka topengnya Mar.” Pak RT menginstruksikan Marwan untuk membuka topeng jasad yang tersungkur di depan Melani itu setelah api yang berkobar di tubuhnya padam.
Pemuda tanggung yang dipanggil Mar itu dengan sigap mengangkat kepala tak bernyawa itu dan membuka topengnya.
Langit Melani runtuh, langit runtuh itupun hanya di atas kepalanya. Melani pun meraung sekuat tenaga. Air matanya membanjir. Langit dan bumi serasa mengapitnya untuk remuk. Pram yang sedari tadi tidur, tiba-tiba bangun dan memeluk ibunya yang menangis.
“Mama kok nangis, Pram takut tidur sendiri. Eh ini siapa yang tidur, Om?” Pram sambil mengusap matanya bertanya pada Marwan yang berjongkok di samping jasad Gunawan. Marwan hanya bisa membisu.
“Kok tidurnya di sini, Om?” Pram mengulangi pertanyaannya seraya menyapu pandangannya ke kerumunan orang-orang yang yang mematung termasuk Pak RT yang memeluk ayam putihnya yang jago.
Semua orang saling pandang, entah apa yang ada di benak dan hati mereka. Pram jelas tak tahu. Yang ia tahu hanya menjerit setelah kenal dengan jasad gosong di hadapannya. Marwan yang sedari tadi paling kuat mengatakan “bakar” hanya bisa mengelus kepala Pram. Entah itu obat bagi Pram atau tidak, Melani juga tidak tahu.
Anton yang menghujamkan parangnya dua kali hanya bisa menatap tanah yang basah oleh embun malam. Udin yang tadi menyiramkan bensin hanya menengadah langit yang jernih tanpa bintang. Burhan yang tadi melemparkan korek api hanya bisa mengurut-urut kepalanya yang mungkin pening karena kurang tidur. Memang semuanya hanya bisa diam kecuali Pram dan Melani yang terus mengata-ngatakan tangis. Semua diam kecuali jangkrik dan serangga malam yang terus berkicau. Semua diam hingga ayam jago puith yang sedari tadi di pelukan Pak RT berkokok panjang tanda pagi sudah hadir. Menggantikan tangis dengan tanda tanya. Ya, Melani masih bertanya-tanya, tapi tak tahu pada siapa. Sebab Gunawan tak lagi menyahut dengan jawabnya. Begitu juga Pram, ia hanya diam sampai nisan dengan bertuliskan nama Gunawan terpancang di atas tanah basah kemerahan.
Begitulah cerita tentang maling ayam di kelurahanku. Demi seekor ayam, nyawa imbalannya. Aku tak ingin berkata pada Pembaca bahwa yang dilakukan Gunawan itu benar, tidak.Tapi jelas lebih baik membunuh koruptor yang maling uang rakyat yang kalau dikalkulasikan bisa membeli 1000 peternakan ayam. Mungkin dengan melenyapkan mereka masih ada sedikit pahala daripada menghancurkan kehidupan Melani dan masa depan Pram.Tapi Pembaca lebih dapat menyimpulkannya daripada umurku yang baru delapan belas.
by;masri lingga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar