Senin, 06 September 2010

andai q bisa sepertimu

Kamu memang perempuan yang sempurna. Cantik, anggun, pintar, keibuan, populer, kaya, dan mapan. Kamu juga pintar merawat keluarga. Sungguh, kamu benar-benar perempuan sempurna. Semua kelebihanmu itu membuat aku merasa amat cemburu dan tak berharga di hadapanmu. Andai aku bisa sepertimu?

Akhir-akhir ini aku memang sering mengamatimu, diam-diam dan dari kejauhan. Aku ingin tahu, apa kiatmu sehingga Mas Han tunduk padamu. Sangat mencintaimu dan tak mampu meninggalkanmu. Aku ingin belajar darimu, bagaimana merawat Mas Han dan anak-anaknya. Karena suatu saat nanti, jika aku berhasil menggantikan posisimu, aku akan berlaku seperti kamu!

Sudah hampir dua tahun ini aku menjalin hubungan gelap dengan mas Han. Perkenalanku dengan laki-laki itu berawal di sebuah klub malam. Mas Han duduk sendirian di meja sudut. Kulihat wajahnya tampak muram dan tak bersemangat. Aku lalu menghampirinya. Dia tak menampik kehadiranku. Kami ngobrol. Lama. Tentang apa saja. Selanjutnya kami menjadi akrab. Kami menemukan chemistry!

Malam-malam berikutnya, aku jadi sering bertemu dengan Mas Han. Kami hanya minum-minum dan ngobrol. Aku merelakan diriku menjadi keranjang sampah. Mas Han butuh tempat untuk mencurahkan isi hati. Dia amat kesepian. Tak ada teman bicara. Dia memang sudah beristri, tapi istrinya terlalu sibuk di kantor. Anak-anaknya juga masih kecil.

Untuk melarikan kepenatan dia lalu pergi ke klub malam. Mencari hiburan, sekaligus teman. Mas Han punya banyak masalah di kantor. Sering ditekan atasan, tugas menumpuk, hasil kerja tidak sesuai target, ditambah intrik dan persaingan tidak sehat diantara sesama rekan kerja. Mas Han tidak punya teman yang bisa dipercaya. Mau bicara pada istri, khawatir nanti malah menambah beban. Lia, istrinya, sudah cukup repot mengurus rumah tangga dan pekerjaannya sendiri.

Akhirnya, larilah dia ke sini. Ke dalam pelukanku. Entah, kenapa dia merasa enjoy bersamaku. Dia mengakui kalau aku enak diajak bicara, tidak bawel, tidak nyinyir, mau mendengar, peduli, dan perhatian. Aku jadi tersenyum malu. Aku tak menganggap pujiannya gombal, karena aku tahu dia orang jujur –pertama kenalan dia terus terang mengaku sudah beristri dan punya dua anak yang manis-manis—, aku hanya merasa aneh saja. Baru kali ini ada orang memujiku. Padahal selama ini lebih banyak orang mencemoohku, bahkan menganggapku najis!

Sejak lahir hingga tumbuh dewasa sekarang, hidupku jauh dari belaian kasih sayang orang tua. Ayah dan ibuku bercerai saat aku masih berumur satu tahun. Konon, suami ibuku meragukan keabsahanku sebagai anak biologisnya. Aku dianggap anak hasil perselingkuhan. Malu oleh peristiwa itu, Ibu lalu lari ke luar negeri. Menjadi TKW di negeri jiran. Aku dititipkan pada nenek di desa. Nenek amat mengasihi dan memanjakanku. Tapi sayang, nenek tak bisa terlalu lama mendampingiku. Saat usiaku lima tahun, nenek dipanggil Tuhan.

Aku lalu diambil oleh Bibi, kerabat jauh Ibu. Aku dibawa ke kota dan tinggal bersama keluarganya. Suami Bibi seorang pedagang dan jarang berada di rumah. Sejak pagi buta dia berangkat ke pasar yang berada di luar kota, pulang ke rumah saat matahari sudah tenggelam, bahkan terkadang hingga larut malam. Anak Bibi berjumlah tiga, semuanya perempuan. Mereka sudah besar-besar. Watak mereka persis Bibi. Keras, judes, cerewet, malas, dan suka main perintah.

Bibi memperlakukan aku seperti pembantu. Meski aku disekolahkan, diberi makan, dan pakaian, tetapi aku juga harus bekerja. Sebelum berangkat ke sekolah, aku mesti bersih-bersih rumah dulu. Menyapu, mengepel, mencuci piring, dan pekerjaan rumah lainnya. Bila lalai atau berbuat kesalahan sedikit saja, Bibi langsung mencak-mencak. Aku diomeli, dimarahi, dicaci, bahkan sampai dipukul. Pernah aku dihajar pakai gagang sapu hingga patah gara-gara memecahkan vas bunga kesayangannya. Aku hanya bisa menangis dan merintih pilu.

Bukan hanya Bibi saja yang sering menderaku, ketiga anak perempuannya juga begitu. Bahkan putri bungsunya yang usianya dua tahun lebih tua dariku pernah menyiksaku. Suatu ketika aku dituduh menghilangkan barang mainannya. Tanpa ampun dia langsung menginjak-injak tubuhku, menendang, memukul, dan puncaknya menggunting telingaku hingga berdarah. Perbuatannya itu dibiarkan saja oleh Bibi. Ketika kemudian barang mainan itu ditemukan terselip di kolong ranjang, alih-alih mereka minta maaf malah aku disalahkan karena teledor waktu membereskan kamar. Sungguh, betapa pedihnya hatiku!

Hidupku memang jauh dari kebahagiaan. Hari-hari yang kujalani penuh coba-derita. Aku sebenarnya tak tahan diperlakukan seperti ini, tapi aku tak tahu ke mana mesti lari. Aku sudah tak punya keluarga. Ibu kandungku tak ketahuan di mana rimbanya. Waktu pemakaman Nenek dia tidak hadir. Konon, ibuku sudah kawin lagi dengan orang asing dan tinggal di Malaysia. Bahkan ada yang bilang sudah mati. Entahlah, yang jelas aku sebatang kara.

Saat usiaku beranjak dewasa, perlakuan Bibi dan ketiga putrinya tak berubah. Aku pun tumbuh menjadi sosok pendiam, minder, dan tertutup. Aku jarang bergaul di luar, karena Bibi sering melarangku pergi. Hidupku hanya berputar dari rumah, sekolah, dan warung tempat belanja. Hanya itu saja. Bahkan di sekolah pun aku sering mendapat perlakuan buruk, karena aku tampak berbeda. Teman-teman suka mengolok-olok dan mengejekku. Tapi aku hanya diam saja dan tak mau membalas.

Perlakuan kejam keluarga Bibi agak berkurang ketika satu persatu putrinya dilamar orang dan kemudian hidup terpisah dari orang tua. Bibi sendiri mulai dimakan usia, tenaganya lemah, dan sering sakit-sakitan. Tapi umpatannya masih terdengar lantang di telinga. Seruan ‘anak haram jadah’, ‘anak tak tahu diuntung’, ‘pemalas’, atau ‘lemot’ menjadi intro wajibnya bila memerintahku. Telinga dan perasaanku sudah cukup kebal mendengarnya. Asal tak menyebut ibuku pelacur saja, hatiku bisa cukup bersabar.

Aku tadinya merasa lebih tenang setelah ketiga putri Bibi pergi dari rumah dan hari-hari Bibi lebih banyak terkapar di ranjang karena stroke. Tapi ketenanganku terusik ketika suatu malam, saat aku sedang lelap di kamar, tiba-tiba aku merasakan tubuhku seperti ada yang menindih. Saat kubuka mata, jantungku seperti disambar petir. Wajah seram paman melekat di pelupuk mata. Dengan desis suara yang mendirikan bulu roma, paman meminta aku melayani syahwatnya. Dan malam jahanam itu menjadi malam kelam yang tak akan pernah terlupakan dari benakku.

Sejak kejadian itu, paman sering menyambangi aku malam-malam. Saat Bibi sudah terlelap di kamarnya. Apalagi belakangan usaha dagang paman menurun. Dia jarang lagi pergi ke pasar. Aku tak kuasa melawan kehendak paman, karena dia mengancam akan membunuhku bila berani buka mulut. Aku hanya bisa terpekur kelu. Perasaan pedih, tertekan, dan takut mendera jiwaku. Sungguh, hidupku serasa di dalam neraka. Aku cemas kebobrokan ini akan terbongkar. Aku bisa bayangkan, bagaimana murkanya Bibi dan ketiga putrinya bila mengetahui kejadian ini.

Setelah kupikir masak-masak, akhirnya aku memutuskan lari dari rumah Bibi. Pergi ke ibukota. Dengan peta buta aku menjelajah sudut-sudut kota Jakarta. Seperti burung yang terbang lepas aku hirup udara kebebasan. Kutemukan dunia yang selama ini kucari. Aku tak peduli bagaimana mencari makan, ke mana bersarang. Kebetulan ada pengelana malam berbaik hati menampungku. Dikenalkannya aku pada kehidupan malam. Meski sadar, dunia yang kujalani ini jauh dari norma-norma susila dan agama, tapi peduli setan. Toh, hidupku sudah terlanjur kotor dan hancur. Sekalian saja aku tenggelam!

Telah banyak lelaki hilir mudik menyambangiku. Namun dari semua yang hadir itu tak ada yang seperti Mas Han. Sungguh, dia lelaki istimewa. Dia bukan sekadar teman berkencan, tapi juga seperti sahabat, pacar, sekaligus belahan jiwa. Aku menemukan kecocokan dengannya. Mas Han orangnya lembut, romantis, sabar, dan tenang. Beda dengan laki-laki kebanyakan yang kasar, egois, dan temperamen. Dengan Mas Han aku seperti menemukan surga. Tak kupungkiri aku jatuh cinta padanya.

Ketika aku mencurahkan isi hatiku ini, dia malah tertawa.

“Kenapa, Mas? Aku benar-benar mencintaimu. Apakah kamu tidak cinta padaku?” rajukku.

“Ya, ya. Aku juga mencintaimu,” ucapnya datar.

“Kalau begitu, kenapa kamu tertawa?”

“Tidak kenapa-kenapa. Lucu saja!”

“Tidak lucu, Mas. Ini serius! Aku bahkan ingin menikah denganmu!” tegasku menekankan.

“Inilah yang lucu. Aku tak mungkin menikah denganmu. Apa kata orang nanti? Lagian, aku tak ingin menghancurkan keluargaku. Aku tak mungkin meninggalkan Lia. Aku tak mungkin meninggalkan anak-anak! Aku sangat mencintai mereka!” jawabnya.

Aku tertegun. Tiba-tiba aku tersadar. Hatiku serasa tertampar keras. Benar juga! Mas Han sudah punya istri, punya anak. Dia tak mungkin meninggalkan keluarganya demi manusia kotor sepertiku. Tapi aku seakan tak bisa menerima kenyataan ini. Aku kembali merajuk.

“Lalu, apa artinya hubungan kita ini, Mas?”

“Hubungan kita ya, seperti ini saja. Aku akan menemuimu saat aku membutuhkanmu. Kita tak perlu bikin komitmen apa-apa. Kita saling percaya saja bahwa kita saling mencintai. Bukankah cinta tidak harus saling memiliki? Karena cinta cukup untuk cinta!”

Dia menyitir sebuah ungkapan puitis seorang pujangga. Aku meneguk liur, pahit. Aku tak ingin sekadar mencinta, Mas. Aku juga ingin memiliki. Aku ingin diakui. Sejak lama aku hidup sebatang kara. Tak ada yang mengasihiku dengan setulus hati. Tak ada yang mau menerimaku apa adanya. Hanya kamu, Mas, yang bisa mengerti diriku, mau menerimaku dengan sepenuh hati.

Tiba-tiba aku dibelit rasa cemburu pada Lia. Aku ingin seperti dirinya, agar aku bisa mengecap kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga yang utuh. Keinginan itu yang mendorong aku akhir-akhir ini sering mengikuti Lia. Menyelidikinya. Mengamatinya dari jauh. Aku ingin tahu, di mana kekuatannya sehingga Mas Han tak berani melepasnya. Aku ingin belajar padanya bagaimana mengurus keluarga.

Tapi semakin aku mengenalnya, semakin banyak hal kutahu tentang dirinya, semakin ciut nyaliku. Kerdil jiwaku. Kamu begitu sempurna, Lia. Sangat sempurna. Kamu perempuan ideal dambaan semua pria. Cantik, anggun, pintar, seksi, berkelas, keibuan, dan pandai merawat keluarga. Sungguh, kamu memiliki segala yang diimpikan perempuan. Bila ada yang kurang pada dirimu hanya satu; kamu lalai menjaga suamimu!

Andai aku menjadi kamu, tak kubiarkan suamiku kelayapan di klub malam. Tak kubiarkan dia mencari teman bersandar di luar rumah. Tak kubiarkan dia menanggung beban sendirian. Tak kubiarkan dia kehilangan arah tujuan. Karena dia tidak hanya butuh cinta dan kepercayaan, tapi juga belaian kasih sayang, perhatian, dan kelembutan. Setangguh-tangguhnya lelaki, mereka juga punya sisi lemah!

Tapi itulah… aku tak mungkin menjadi kamu. Aku tak mungkin menggantikan kedudukanmu. Karena kutahu, sebuah kemustahilan melawan kodrat. Aku terlahir sebagai laki-laki, meski jiwaku perempuan. Entah, siapa yang patut disalahkan atas keadaanku ini. Tapi satu hal pasti, aku tak mungkin menggantikan kedudukanmu. Tapi ingin sekali kubisikkan padamu; jagalah suamimu agar dia tidak lari ke pelukan manusia sepertiku!

Tamat
by;eko.h

Tidak ada komentar:

Posting Komentar