Jumat, 21 Januari 2011

multikulturalisme dayak dan prospek rekonsiliasi di kalimantan

Pada masa lalu, ada mayat yang dikubur dengan cara dibakar; ada yang berjalan ke lubang kuburnya sendiri; ada yang dibiarkan berada dalam peti mati yang tertutup rapat selama berbulan-bulan menunggu para pengayau kembali dengan membawa beberapa kepala hasil kayauan; tetapi ada juga yang dikubur dengan cara biasa. Itulah gambaran multikulturalisme Dayak.

Dayak bukanlah identitas yang mengacu pada satu komunitas saja. Bahkan kesepakatan tentang penggunaan istilah Dayak sendiri sesungguhnya belum tuntas. Lihat misalnya buku karangan Mikhail Coomans (1987) atau Herman Joseph van Hulten (1992) atau bahkan yang penulisnya adalah orang Dayak sendiri, Thambun Anyang (1998) yang semuanya menggunakan istilah ‘Daya’ bukan Dayak. Bahkan beberapa penulis lain ada yang menggunakan istilah Dyak atau Daya’. Versi manakah yang benar? Yang benar, istilah itu bukan berasal dari orang Dayak. Ia bukan istilah yang given melainkan gifted yakni istilah yang diberikan oleh orang lain. Dayak bukan primary ethnicity melainkan secondary ethnicity, yakni identitas yang digunakan orang Dayak dalam berhubungan dengan etnis lain daripada antarsesama Dayak. Adapun yang menyangkut beragamnya versi penulisan kata Dayak, mungkin juga merefleksikan salah satu aspek multikulturalisme tersebut.

Karenanya, jika yang kita maksud dengan Dayak adalah penduduk asli Kalimantan, maka sesungguhnya kita berbicara tentang ratusan identitas (sub)etnis yang – selain adalah penduduk asli Kalimantan – memiliki beberapa persamaan umum saja misalnya dalam hal asal-usul, worldviews atau bentuk fisik. Bahasa orang Dayak itu ratusan, upacara adatnya berlainan, tradisinya juga berbeda-beda. Tradisi mengayau misalnya. Salah besar jika mengatakan bahwa semua orang Dayak pada zaman dulu adalah pengayau. Anggapan ini sama saja dengan mengatakan bahwa semua orang Dayak beragama Kristen atau semua yang berperang dengan orang Madura itu Dayak. Singkat kata, Dayak itu multietnis, tentu saja jika definisi etnis kita persempit.

Karena Dayak itu ‘multietnis’, maka tidaklah terlalu sulit untuk menemukan multikulturalisme dalam kebudayaannya, sebab realitas Dayak sendiri sudah multikultur. Bahasanya berbeda-beda, demikian pula tradisi yang dimiliki masing-masing subetnis. Karena itulah dalam realitas eksistensial komunitas-komunitas tersebut, pada suatu masa dalam sejarah di masa lampau, komunitas-komunitas Dayak itu adalah orang lain satu sama lain. ‘Orang lain’ tidak hanya berarti tidak tergabung dalam sebuah identitas kolektif–atau semacam ‘pan-dayakisme’ –seperti yang dikenal sekarang, tetapi beberapa di antara komunitas tersebut juga saling serang dan saling bunuh secara fisik. Sehingga pemerintah kolonial Belanda perlu mengambil inisiatif untuk mengumpulkan wakil-wakil komunitas tersebut di Tumbang Anoi (Kalimantan Tengah sekarang) pada 1894 dalam rangka menyelesaikan pertengkaran-pertengkaran akibat berbagai perkara pembunuhan, penahanan, dan perampokan. Harap dicatat bahwa menurut SW Tromp, Residen Kalimantan Afdeling Barat yang melaporkan dari pertemuan tersebut, pesertanya tidak hanya perwakilan dan Kepala Adat Dayak tetapi juga Kepala Adat Melayu.

Pertemuan Tumbang Anoi tidak hanya membuktikan bahwa orang Dayak pada masa lampau terlibat dalam permusuhan satu sama lain dan dengan etnis lain, tetapi juga (dan ini yang penting) bahwa secara kultural mereka memiliki potensi untuk menyelesaikan segala permusuhan dan dendam yang ada. Dengan kata lain, mereka memiliki semangat rekonsiliasi yang secara konkret dibuktikan –salah satunya– melalui pertemuan di Tumbang Anoi itu. Benarkah orang Dayak bisa berdamai dan memaafkan? Unsur-unsur budaya Dayak manakah yang memungkinkan untuk itu?

Budaya Rumah Panjang

Seandainya budaya rumah panjang orang Dayak tidak dihancurkan dan dibiarkan hancur menjelang akhir 1960-an dan awal 1970-an, perang antaretnis yang marak belakangan ini akan lebih mudah dicarikan solusinya. Setiap rumah panjang yang terdiri dari puluhan KK itu (ada yang ratusan juga), memiliki seorang pemimpin atau Tuai Rumah (Dayak Iban). Peranan Tuai Rumah tidak seperti Kepala Adat sekarang yang dijadikan bawahan Kepala Desa (Gabungan) dan mengantongi SK dari bupati, meskipun di banyak tempat usaha ini tidak selalu efektif untuk memorak-porandakan kepemimpinan beberapa kepala adat yang ada. Tuai Rumah adalah pemimpin sejati yang berurat-berakar di komunitasnya, Komunitas Rumah Panjang. Ia memiliki akses terhadap aktivitas semua anggota komunitasnya termasuk apa yang mereka rasakan, inginkan, dan ekspresikan. Tindakan seorang warga komunitas pastilah diketahui oleh Tuai Rumah dan omongan Tuai Rumah didengarkan oleh warganya. Sangat kontras dengan omongan para tokoh adat sekarang yang kebanyakan tidak dihiraukan oleh komunitasnya. Warga komunitas rumah panjang yang bergerombol atau berkumpul dengan tujuan untuk melakukan sesuatu pun pasti sepengetahuan Tuai Rumah. Jadi, legitimasi kepemimpinannya jelas sehingga orang Dayak tidak mesti mencari-cari pemimpin lain seperti para panglima yang menjadi gejala umum sekarang (dan mulai menular ke etnis lainnya). Aparat keamanan dan para penegak hukum pun tidak usah repot-repot mencari provokator atau dalang, jika sesuatu terjadi.

Agar dapat melestarikan nilai-nilai budaya rumah panjang tersebut, dibutuhkan lingkungan fisik dan sosial yang mendukungnya. Rasa kebersamaan, saling percaya, dan semangat solidaritas yang sangat kuat dalam komunitas rumah panjang tidak bisa dibangun dari pintu ke pintu rumah warga yang tunggal seperti sekarang di bawah koordinasi Pak RT. Sebab untuk berkumpul dalam sebuah pertemuan saja, orang Dayak sekarang menuntut diberi surat undangan resmi dan tertulis, jika tidak, banyak di antara mereka tidak mau datang karena malu merasa tidak diundang.

Jadi, budaya rumah panjang menjamin adanya akses komunikasi yang efektif dan kepemimpinan yang jelas. Dua aspek ini sangat penting dalam proses penanganan sebuah konflik yang sedang terjadi.

Hukum Adat

Hukum adat dibuat untuk menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat berdasarkan norma-norma yang dianut. Sesuai dengan namanya, hukum adat berakar pada adat istiadat yang berlaku secara lokal, bukan hukum yang berkait berkelindan dengan tuntutan internasional dan global. Hukum adat jelas memiliki pula nilai-nilai universal, namun universalnya komunitas yang lokal. Hukum adat Dayak diberlakukan untuk mencegah tindakan-tindakan main hakim sendiri – dengan kekerasan maupun tidak – baik oleh warga komunitas yang bersangkutan maupun oleh warga luar terhadap komunitas tersebut. Orang Dayak sangat menghormati hukum adatnya dan dengan cara demikianlah mereka berhasil menyelesaikan 233 perkara secara adat dalam waktu dua bulan pada 1894 di Tumbang Anoi.

Masalah akan timbul bilamana hukum adat sekonyong-konyong, entah karena apa, menjadi seolah-olah tidak jalan, tidak sah, dan pintu keadilan lainnya pun (baca: supremasi hukum negara) menjadi mandul. Milik orang dirampas seenaknya, orang diusir, sumber kehidupannya dihancurkan, dan bahkan kadang-kadang dibunuh tanpa penyelesaian hukum yang jelas, atas nama ‘pembangunan’, ‘persatuan dan kesatuan’ atau ‘nasionalisme’. Kondisi ini akan membuat orang frustrasi dan bagi warga komunitas yang cenderung berpikiran sederhana, mereka biasanya tidak membutuhkan para provokator untuk mengambil alih hukum ke dalam tangannya sendiri, apalagi jika para provokator tersebut memang terbukti ada.

‘Universalitas’ hukum adat Dayak itu (yang berlaku di semua subetnis) ditandai dengan tidak dikenalnya hukuman mati dan karenanya tidak dikenal prinsip ‘nyawa ganti nyawa’. Jika orang Dayak membalas membunuh bilamana ada warga komunitasnya yang dibunuh, itu bukan karena prinsip ‘nyawa ganti nyawa’ melainkan karena keadilan telah dirampas dari mereka melalui mandulnya hukum adat yang mestinya berlaku atau hukum negara yang gagal berfungsi. Kalau hal itu terjadi sekali atau dua kali, biasanya tidak sampai memicu tindakan balas dendam. Namun, bila hal itu terjadi berulang kali apalagi sampai belasan kali oleh pelaku dari latar belakang yang relatif sama, maka orang menjadi sangat sensitif dan pembalasan sulit dihindari. Tengok saja pemerintah Amerika dan sekutunya yang mengklaim dirinya sebagai kampiun hak asasi manusia dan paling beradab, juga tidak bisa menghindarkan diri dari perangkap balas dendam tersebut.

Budaya Kolektif

Orang Dayak berpandangan bahwa alam ini adalah rumah bersama bagi semua makhluk, termasuk makhluk-makhluk yang tidak kelihatan. Karena itu, manusia tidak boleh memonopoli alam untuk kepentingan manusia semata. Atas prinsip inilah, unsur-unsur alam yang berseberangan dengan kepentingan manusia tetap harus diberi tempat untuk eksis. Makhluk-makhluk yang biasanya mengganggu kehidupan manusia seperti setan dan hantu juga diberi makan bilamana ada ritual yang berhubungan dengan hal tersebut diadakan. Harap diingat, bahwa memberi makan setan atau hantu tidak sama dengan ‘menyembah’ setan atau hantu; sama seperti jika kita memberi makan ayam, tidak berarti menyembah ayam. Intinya adalah, hubungan yang harmonis dengan semua unsur alam harus dipertahankan dengan memperlakukan semuanya secara proporsional dan adil, tidak dengan cara diskriminatif. Sebab semua yang ada di alam merupakan ciptaan Yang Maha Kuasa. Jika Yang Maha Kuasa saja memberi kesempatan bagi semua makhluk, apalagi manusia.

Prinsip kebersamaan dalam budaya Dayak ini tidak main-main. Ada pepatah Dayak yang mengatakan, ‘Anjing saja diberi makan, apalagi manusia’. Ada juga pepatah lain yang mengatakan, ‘Sesama saudara diajak makan, tamu diberi beras’. Maksudnya adalah penghormatan terhadap keberadaan manusia seperti apa adanya. Seorang tamu yang belum diketahui secara persis latar belakangnya, mungkin memiliki cara-cara makan yang berbeda dengan orang Dayak sehingga memberikan ‘bahan makanan’ dianggap sebagai keputusan yang paling bijaksana agar sang tamu dapat mengolah makanan dengan cara yang sesuai dengan keadaannya. Semangat kebersamaan orang Dayak itu secara efektif dapat pula kita lihat dalam berbagai perang antaretnis yang terjadi di Kalimantan. Dalam kondisi geografis yang terpencar-pencar di pedalaman serta sarana komunikasi dan transportasi yang sangat tidak memadai, orang Dayak dengan mudah berkumpul. Mangkok Merah yang sering dipublikasikan sebagai sarana komunikasi orang Dayak itu, bukan merek handphone. Ia cuma sebuah mangkuk dengan beberapa tetes darah ayam, sepuntung rokok, selembar bulu ayam, dan secarik daun kajang yang biasa dipakai sebagai bahan untuk membuat atap rumah. Mangkuk itu diedarkan dari kampung ke kampung dengan berjalan kaki dan berlari, bukan melalui pesan e-mail. Dengan cara itu, orang Dayak sudah akan berkumpul secara cepat dan dalam jumlah yang fantastis.

Transformasi dan Rekonsiliasi

Jika semangat kebersamaan terhadap semua makhluk dalam budaya Dayak begitu kuat, mengapa mereka bisa menjadi sangat intoleran seperti yang kita lihat dalam beberapa pertikaian etnis yang terjadi di Kalimantan? Jawaban atas pertanyaan ini telah berusaha diberikan oleh banyak pengamat, analis, wartawan, dan peneliti. Beberapa di antaranya adalah kebijakan monokulturisme Orba, ketidakadilan, benturan budaya, lemahnya supremasi hukum, pertarungan politik, dan penindasan. Tulisan ini tidak akan memperpanjang daftar tersebut, melainkan apakah multikulturalisme Dayak itu bisa mewujudkan sebuah Kalimantan yang damai dalam keberagaman?

Orang Dayak sering kali diidentikkan orang lain dengan kebiadaban, keprimitifan, keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan. Waktu saya masih kecil dulu, seorang anak yang kena flu dan malas membuang ingusnya sehingga mengering di kedua pipinya, dikatakan, “Seperti anak Dayak saja kamu!” Di luar Kalimantan, banyak orang yang percaya (bahkan beberapa di antaranya sampai sekarang) bahwa orang Dayak itu berekor, membuat rumah di atas pohon, dan makan manusia mentah maupun masak.

Karena itu, jika ada perilaku orang yang idiot dan mengundang tertawaan, disebut dayak-dayakan (mudah-mudahan nama panggilan salah seorang pelawak terkenal itu tidak ada hubungannya dengan stereotipe ini). Beberapa media internasional pun masih mengeksploitasi stereotipe ini dalam pemberitaan mereka tentang berbagai peristiwa yang melibatkan orang dayak belakangan ini. Jika dibaca, style pemberitaan tersebut umumnya mengarah pada satu kesimpulan: orang Dayak itu semuanya pengayau dan makan manusia dan masih berlangsung hingga sekarang.

Ketika elite-elite politik berdebat tentang komposisi kabinet, orang Dayak tidak pernah disebut-sebut sebagai salah seorang yang harus ada wakilnya, terlepas dari berapa besar peranan mereka dalam menyumbang devisa kepada negara melalui hutan-hutan mereka yang diporak-porandakan dan budaya mereka yang dihancurkan. Toh, mereka sekarang sudah minoritas di Kalimantan dan yang lebih penting lagi belum ada yang cakap untuk menjadi pemimpin. Lagi pula, orang Dayak tidak pernah demonstrasi di Bundaran HI untuk diberi jatah kursi menteri, apalagi mengarak-arak bendera Kalimantan.

Dayak yang dulu beranggapan bahwa semua makhluk penghuni dunia harus diperlakukan dengan adil dan tamu-tamu harus disambut dengan ramah agar hidup mereka tenang dan damai, makin lama makin ragu. Kebaikan, kejujuran, dan kepolosan ternyata sekarang sudah tidak baik lagi. Orang sekarang main rampas, main ancam, main paksa, dan main bunuh. Siapa yang kuat dialah yang menang. Dunia sudah berubah; perilaku manusia cenderung kembali ke zaman nenek moyang yang mengayau dulu. Mereka belajar bahwa supaya bisa tetap eksis, mereka harus berani melawan. Pemerintah pun sekarang tidak bisa dipercaya lagi untuk memberikan perlindungan dan keadilan kepada mereka, termasuk para polisi dan tentara. Lihat saja tindakan perampasan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar terhadap tanah dan tempat tinggal mereka, semuanya dilakukan dengan izin resmi berdasarkan hukum pemerintah dan di-back-up oleh aparat. Hukum adat mereka sendiri tidak diakui, apalagi ditaati. Akibatnya mereka merasa disingkirkan, dikorbankan.

Karena itu, untuk menciptakan sebuah Kalimantan yang damai, pertama-tama kedilan harus ditegakkan. Keadilan tidak hanya menyangkut masalah ekonomi; tidak juga dengan memberikan otonomi yang hanya ditafsirkan sebagai melimpahkan penguasaan atas sumber daya ekonomi kepada pemerintah daerah. Keadilan adalah masalah eksistensial dan eksistensi menyangkut harkat dan martabat manusia yang melampaui aspek ekonomis semata.

Hukum adat yang merupakan wahana penyelesaian setiap permasalahan secara damai dan non-violence dalam masyarakat adat, mestinya diberdayakan dan diperkuat efektivitasnya melalui pengakuan yang jelas dan tegas akan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat. Hal ini tentu saja tidak berarti bahwa hukum adat harus diberlakukan secara nasional sebab hakikat hukum adat adalah aturan yang berlaku secara lokal. Namun, peran hukum adat sebagai pelindung dan pengayom rasa keadilan komunitas yang menerapkannya harus didukung oleh negara.

Demikian pula kepemimpinan yang efektif seperti yang tergambar dalam pengelolaan komunitas rumah panjang yang berlandaskan adat istiadat yang berlaku dalam komunitas Dayak, membutuhkan usaha revitalisasi dan restitusi agar kembali menemukan efektivitasnya sehingga memudahkan komunikasi dan koordinasi dalam pemecahan masalah-masalah yang dihadapi. Dengan kehadiran pemimpin-pemimpin yang legitimate dalam masyarakat, solusi-solusi terhadap permasalahan yang timbul dapat diselesaikan secara dini melalui para pemimpin yang dihormati dan dihargai oleh masyarakatnya.

Beberapa hal dia atas, jika dilaksanakan mungkin tidak akan serta merta menyelesaikan secara tuntas dan permanen persoalan antaretnis yang sering terjadi di Kalimantan. Namun, setidak-tidaknya, jika masalah-masalah tersebut ditangani, niscaya akan menyentuh beberapa akar persoalan yang melatarbelakangi setiap konflik yang ada yakni terciptanya keadilan dalam sebuah Indonesia yang multikultur.[] Sumber: http://www.gauldong.org/diskusibudayadanadat/weblog/38986.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar