Tahun 1482. Banyak sudah kemajuan sejak Prabu Siliwangi memimpin Pajajaran—negeri yang belum lama ia persatukan dari dua kerajaan besar, kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Putri Kandita, Sang Putri dari selir ketujuh, makin bangga dan mencintai sosok Aydan juga negeri yang dipimpinnya. Namun, ia menangkap gulungan badai tengah menerjang.
Keempat patih tiba-tiba berbalik memberontak, yang memaksa pasukan Balamati Raja dan kekasihnya, Sungkawa, bertempur memerangi mereka. Namun, yang paling mengguncang, Putri tercantik ini, bersama ibunya, Nyi Sri Dewi Parang Hayu, tiba-tiba didera santet yang amat mengerikan; wajah mereka jadi burik dan bopeng serta bernanah dengan bau yang menjijikkan. Segera pecah kepanikan luas bahwa penyakit ini mewabah, mengakibatkan desakan tak terbendung agar mereka diusir dari istana.
Ia tak nyana, badai terbesar itu ternyata berasal dari dirinya, yang membuat sang ayah yang biasa tegas berwibawa itu seperti tak mampu berbuat apa-apa. Mereka pun diam-diam, dikawal Sungkawa dan segelintir pasukan, pergi meninggalkan istana, menempuh perjalanan jauh dengan tujuan tak menentu dan marabahaya diserang musuh….
***
Kekuatan bertutur Aan Merdeka Permana, seperti yang dipamerkannya dalam novel spektakuler Perang Bubat, kembali bakal menyebarkan aura kegaiban, dan kita perlahan-lahan dibetot hipnotis kisah yang membuai. Percayalah!
Maman S Mahayana,
Dosen FIB-UI, kini Dosen Tamu Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea
Sisi lain legenda negeri Sunda. Kisah tragis yang menawan.
Hermawan Aksan—penulis novel sejarah Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit dan Niskala, Gajah Mada Musuhku
Di tangan wartawan senior yang jago cerita ini, Putri Kandita menghadirkan sisi lain dari kemelut kerajaan muda bernama Pajajaran.
E. Rokajat Asura—penulis novel dwilogi Prabu Siliwangi dan beberapa novel lain
sumber;edelweis (pustaka iman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar