Aku melihat semut-semut mengerubungi gula-gula dilantai. Aku kemudian merenungkannya dan mengambil pelajaran darinya. Aku berkata dalam hati, gula-gula itu seperti keindahan akhlak manusia. Seseorang yang memiliki akhlak yang baik, ia seperti gula-gula itu; manis. Orang yang memiliki akhlak yang baik, secara otomatis orang lain akan datang bersahabat dengannya. Bagi mereka, mata yang memandang kepadanya tak jemu, nasehat yang didengar darinya terasa menggugah hati, dan kebaikan yang ia peragakan adalah contoh teladan. Bagi mereka, hidup bersamanya terasa menguntungkan karena dapat merasakan manisnya akhlak.
Orang yang berakhlak baik sudah menjadi sunnatullah akan disenangi orang. Orang tersebut tidaklah pendendam, iri, dan dengki. Jika mencintai dan membenci karena Allah Swt., bukan karena hawa nafsunya, bukan karena kekayaan atau kekejamannya. Jika kekayaan yang menjadi tolok ukurnya, maka setelah kekayaan itu lenyap maka lenyap pula kedekatannya. Jika tolok ukurnya kezaliman, maka hatinya akan bersengkongkol untuk menjatuhkannya.
Jika kita berakhlak baik, kita juga akan bersahabat dengan orang-orang yang baik pula. Jika kita jahat, secara sunnatullah orang-orang akan menjauhi kita seperti bau bangkai yang tercium; kita berusaha menyingkirkannya atau menjauh darinya sejauh mungkin hingga bau itu tak tercium lagi. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling jelek adalah orang yang ditinggalkan manusia karena takut akan kekejiannya.” (HR. Bukhari)
Orang yang baik dan orang yang jahat memiliki dua hati yang bertolak belakang. Sunnatullahnya, Nabi Muhammad Saw. tidak bersahabat dengan Abu Lahab dan Abu Jahal. Karena kedua orang itu jahat. Nabi Muhammad Saw. bersabat dengan orang-orang yang memang menghendaki kebaikan, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq (yang membenarkan Nabi di saat orang lain mendustakannya) dan Umar al-Faruq (yang mampu membedakan antara yang haq dan yang batil).
Persahabatan itu alami, tidak dibuat-buat, berjalan sesuai dengan sunnah-Nya. Salman al-Farisi jauh-jauh dari Persia untuk bersahabat dengan Nabi, begitupun dengan Shuaib ar-Rumi yang berasal dari Romawi. Bagaimana bisa persahabatan itu diciptakan karena adanya jarak yang dekat atau jauh. Persahabatan Nabi dengan para sahabatnya tercipta karena sunnatullah, bukan hasil kreasi manusia.
Sebagian teman-teman yang kukenal ada yang pernah bertemu denganku dan ada yang belum. Ada pula teman yang aku kenal tapi dia tidak mengenalku. Dan mungkin begitupun sebaliknya. Ada yang jauh, ada yang dekat, ada yang jaraknya satu kilometer, ada yang ribuan kilometer. Sekali lagi, apakah persahabatan itu hanya karena berdasarkan jarak? Jika dekat, mendekat; jika jauh, menjauh. Bahkan di dunia maya sekalipun, kita enggan bersahabat?
Abu Lahab dan Abu Jahal adalah dua orang paman Nabi. Bahkan, Abu Lahab adalah orang yang menyembelih domba akikah ketika Nabi lahir, tetapi ketika Nabi memproklamirkan kenabian dan kerasulannya, ia menolak bersahabat dengan Nabi bahkan menjadi musuhnya yang paling utama. Bukankah pula istri Nabi Luth terkena azab Allah atas kaum Sadum, padahal dia istri seorang Nabi? Mengapa dia tidak mau bersahabat dengan Nabi? Begitupun dengan Kan’an putra Nabi Nuh, Azar bapak dari Nabi Ibrahim, Fir’aun bapak angkat Nabi Musa. Ketiga orang itu tidak mau bersahabat dengan orang yang sudah jelas hujjahnya dan sudah dikenal baik akhlaknya.
Ketika Allah menyatakan “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara”, kenyataannya seperti itu. Karena persaudaraan itu adalah fitrah dan sunnatullah. Di belahan bumi manapun, ketika iman menyatukan kita, ketika kebaikan yang utama, kita adalah dekat, lebih dekat daripada pertalian darah, seperti persahabatan antara kaum Aus dan Khazraj atau seperti kaum Muhajirin dan Anshar. Kedua kaum itu dari tempat yang berbeda; terbentang jarak ratusan kilometer. Apakah kedua kaum itu berdiri di atas peradaban yang berbeda setelah mereka berkumpul bersama? Allah Swt. berfirman, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103).
Ketika ada nafsu syahwat terselip dalam persahabatan kita, maka nafsu tersebut akan merenggangkan persahabatan kita. Semakin banyak syahwat itu terkumpul, semakin rengganglah ikatan persahabatan kita. Jika gosip mengalahkan kenyataan yang sesungguhnya, maka ia dibutakan dari kebenaran. Jika kita berusaha menjadi orang yang baik, secara sunnatullah kita akan berkumpul dengan orang-orang yang baik pula. Seorang mukmin diharamkan menikah dengan wanita atau lelaki pelacur meskipun wanita atau lelaki itu sangat cantik atau tampan rupawan. Pernikahan di antara keduanya dianggap tidak sah kecuali jika si pelacur bertaubat dari perbuatan jahatnya itu. Allah Swt. berfirman, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (QS. an-Nur: 3)
Orang yang baik jodohnya adalah orang yang baik pula. Orang yang jahat jodohnya adalah orang yang jahat pula. Ketika kebaikan itu bertemu, maka keduanya akan berkumpul. Jika ada orang yang baik memaksa menikah dengan orang yang jahat, kelak ikatan itu akan merenggang dan terputus jika saja orang jahat itu tidak segera bertaubat atas kejahatannya. Allah Swt. berfirman, “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” (QS. an-Nur: 26).
Demikianlah pelajaran yang aku peroleh dari gula dan semut. Semoga siapapun yang membaca tulisan ini dapat memperoleh manfaat darinya. Jika Allah belum mempertemukan kita, semoga Allah akan mempertemukannya. Jika kita belum saling mengenal, semoga kita dapat saling mengenal dengan seizin-Nya. Sunnatullah persahabatan akan berjalan dengan semestinya termasuk pada dirimu dan aku.
sumber http://dininoviyanti.blogspot.com/2010/12/tafakur-pernikahan-sunnatullah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar