Muawiyah bin al-Hakam al-Aslami Ra. berkata, “Aku memiliki seorang budak perempuan yang kerjanya menggembala kambingku di lereng gunung Uhud dan sekitarnya. Suatu hari aku dapati seekor serigala telah membawa pergi satu ekor kambing. Sebagai manusia tentu saja aku marah, maka aku tampar ia sekali. Aku datang menghadap Rasulullah Saw. dengan perasaan bersalah besar atas kejadian tersebut, ‘Wahai Rasulullah, haruskah aku memerdekakannya?’ Beliau menjawab, ‘Hadapkan dia kemari!’ Beliau lalu menanyainya, ‘Di manakah Allah?’ Dia menjawab, ‘Di langit.’ Beliau bertanya lagi, ‘Siapa aku?’ Dia menjawab, ‘Utusan Allah.’ Serta merta beliau bersabda, ‘Merdekakan dia. Sesungguhnya dia seorang mukminah yang beriman’.”
Saudariku, mari kita perhatikan kisah Siti Hajar saat ditinggalkan Ibrahim As. di samping al-Bait di Makkah al-Mukarramah, di dekat tenda tak jauh dari zam zam. Sementara di Makkah saat itu belum ada segelintir manusia pun dan air pun tidak ada. Dia hanya ditemani bayinya yang masih menyusu, Ismail. Kisah ini menyajikan satu gambaran yang sangat mengagumkan di hadapan wanita muslimah, tentang imannya kepada Allah dan tawakal serta kepasrahan yang utuh kepada-Nya. Dengan tegar, mantap dan penuh keyakinan, Hajar bertanya kepada Ibrahim, “Allah-kah yang memerintahkan engkau berbuat seperti ini wahai Ibrahim?”
“Benar,” jawab Ibrahim.
“Kalau begitu Dia tidak akan menyia-nyiakan kami,” jawab Siti Hajar penuh keridhaan dan disertai keyakinan akan datangnya kabar gembira dan perlindungan.
Sungguh merupakan tindakan yang sangat berat dan menggugah hati, bagaimana seorang laki-laki harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih menyusu di tengah hamparan padang pasir; tidak ada tetumbuhan, air maupun manusia. Setelah itu, beliau langsung berbalik ke negeri Syam yang amat jauh. Dia hanya meninggalkan satu kantong berisi buah korma dan satu wadah dari kulit yang berisi air. Andaikan tidak ada keimanan yang mendalam dan memenuhi hati Siti Hajar; andaikan tidak ada tawakal yang utuh kepada Allah yang menghiasi perasaannya, tak bakalan dia sanggup menghadapi keadaannya saat itu dan tentu dia akan roboh tak berdaya sejak awal mula berada di sana. Yang seperti ini tidak terjadi pada diri wanita yang secara abadi selalu diingat orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Mereka mengenangnya menjelang malam dan di ujung siang, yaitu saat mereka menciduk air zam zam yang suci, saat mereka melakukan Sa’i dari Shafa ke Marwah, sebagaimana dia berlari-lari kecil pada hari yang sangat mendebarkan itu.
Keyakinan iman ini menghasilkan buah yang sangat mengagumkan dalam kehidupan kaum muslimin, bahwa Allah menyaksikan dan mengetahui semua rahasia, bahwa Dia senantiasa bersama manusia, di mana pun kita berada.
Pada saat khalifah Umar bin Khaththab Ra. tengah meronda di malam hari, beliau berhenti di suatu tempat. Di tempat itu secara tidak sengaja beliau mendengar pembicaraan antara seorang ibu dan anaknya. “Wahai putriku, ambillah susu itu dan campurilah ia dengan air biasa!”
Putrinya menjawab, “Wahai ibu, apakah ibu tidak tahu keputusan yang diambil Amirul Mukminin pada hari ini?”
“Apa memang keputusan yang diambilnya wahai putriku?” tanya sang ibu.
“Dia memerintahkan seseorang untuk mengumumkan bahwa susu tidak boleh dicampur dengan air,” jawab putrinya.
“Wahai putriku, ambil saja susu itu dan campuri ia dengan air. Toh saat ini kamu berada di suatu tempat yang tidak bisa dilihat Umar,” kata sang ibu.
Putrinya berkata, “Aku sama sekali tidak akan menaatinya saat ramai dan mendurhakainya saat sepi.”
Demi mendengar itu semua, Umar lalu memerintahkan pembantunya untuk menyelidiki tentang ibu dan anaknya itu. Aslam – pembantu Umar – menuturkan, “Lalu kudatangi rumah itu. Ternyata wanita yang memberikan jawaban seperti itu masih gadis, dan wanita yang berbicara dengannya adalah ibunya, yang di rumah itu tidak ada seorang laki-laki pun. Kudatangi Umar dan kukabarkan hal ini kepadanya. Lalu dia memanggil putra-putranya dan mengumpulkan mereka. Dia berkata, ‘Apakah di antara kalian ada yang membutuhkan seorang wanita untuk bisa kunikahkan dengannya? Andaikan ayah kalian masih berminat kepada seorang wanita, tentu salah seorang di antara kalian tidak akan bisa mendahuluinya untuk mendapatkan anak gadis itu’.”
Di antara ketiga anak laki-laki Umar, hanya Ashim yang belum menikah. Maka jadilah Ashim menikahi gadis itu. Dari wanita itu lahir seorang putri, dan dari putri tersebut lahirlah Umar bin Abdul Aziz, salah satu di antara lima khalifah Rasulullah yang terkenal dengan kesalehan dan keadilannya.
Ini merupakan kesadaran sanubari yang ditanamkan Islam ke dalam jiwa muslimah tersebut. Sungguh ini merupakan gambaran ketakwaan yang lurus dan benar, baik saat ramai maupun sepi, karena keyakinan bahwa Allah senantiasa bersama dia. Ini adalah sebuah bentuk keimanan yang mendalam, yang membuahkan hasil yang menggembirakan bagi pelakunya, tidak hanya kelak di akhirat dengan mendapatkan surga-Nya, tetapi juga di dunia dengan mendapatkan keturunan yang saleh.
sumber http://dininoviyanti.blogspot.com/2010/12/contoh-muslimah-yang-teguh-keimanannya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar