Senin, 07 Maret 2011

kewajiban istri terhadap suami

Membicarakan permasalahan hak-hak dan kewajiban suami dan istri ini, tentu sangat besar, tidak cukup waktu sehari dua hari dalam mengupasnya. Disini saya hanya ingin menggaris bawahi permasalahan, yang saya melihat agak sedikit kurang mengena di akal saya ini. Disuatu milist saya ada membaca tentang hal yang baru kali ini pula saya baca, kalau tidak ada kewajiban istri dalam Islam itu untuk memasakkan, mecucikan dan sebagainya itu terhadap suami.

Kewajiban istri disana disebutkan seakan hanya pelampiasan nafsu seksualitas suaminya saja, kalau suami minta untuk berhubungan badan, haruslah ditaati saat itu, karena itu hak suami yang terbesar, dengan mengemukakan dalil yang memang dalil tersebut cukup kuat.

Cukup banyak dalil dalam hadits asshahihah yang mengecam para istri, sampai-sampai shalatnya tidak akan diterima, malaikat akan marah sama sang istri sampai pagi apabila istri tersebut menolak ajakan suaminya pada malam hari itu. Ok. Kita tak akan memungkiri hadits shahih tersebut(siapa lagi yang menolaknya?) Namun, mungkin kita lupa, atau pura-pura dilupakan kali yah. Kalau hak istimta’(bersenang- senang itu), bukan hanya miliknya sang suami saja. Hak istimta’ (jima’) adalah hak tabadul(saling memiliki, bergantian), diantara keduanya. Apakah kita lupa akan hadits shahih yang mana Rasulullah mengecam akan para lelaki yang sibuk dengan ibadah semata, dan melupakan kewajibannya terhadap keluarganya? Juga apakah kita lupa akan sabda Rasulullah kepada sahabat Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, diriwayatkan dalam kitab shahih Bukhari :”Wahai Abdullah, dikhabarkan kepadaku, bahwasanya engkau puasa disiang hari, dan shalat dimalam hari(tahajjud) ? Maka Abdullah berkata, “Iyah, benar wahai rasulullah”. Apa tanggapan Rasulullah saat itu? :”Jangan engkau lakukan itu, puasalah dan juga berbukalah, shalatlah, tapi tidur juga, karena apa? Karena tubuh kamu punya hak atas kamu(untuk istirahat), mata kamu juga, istri kamu juga, tetangga kamu juga……dst..(H.R BUkhari kitab puasa, bab hak tubuh dalam hal berpuasa).

Dan juga, apakah kita lupa, hak tabadul juga, bukan suami saja yang mendapatkan pemanasan dari sang istri sebelum jima’, namun seorang suami dianjurkan sebelum menggauli istrinya mendapatkan , almudaa’abah, mulaamasah, istilah kerennya (pemanasan) dulu. Dimain-mainkan dulu disentuh, dikecup, atau apa kek, biar sang istri gimana gitu. Bukankah hal ini untuk kesenangan sang istri? Jadi, mendapatkan kesenangan, bukanlah semata hak suami saja, tetapi hak yang tabadul(saling bergantian).

Sebagaimana sang suami berhak mendapatkan kesenangan dalam hal jima’, begitu pulalah seorang istripun berhak mendapatkan kesenangan yang sama. Lantas, dimanakah hak-hak juga kewajiban sendiri-sendiri? Bagi sang istri haknya terhadap suami adalah nafkah, dan sebaliknya kewajiban suami adalah memberikan nafkah, dan sesuai dengan kemampuan sang suami, sebab Allah berfirman “‘alal muusi’I qadaruhu, wa’alal muqtiri qadaruhu”, bagi yang tak mampu yang sesuai dengan kemampuannyalah, bagi yang kayapun begitu juga, jangan miskin dipaksakan sampai menghutang sana sini demi membahagiakan istri, korupsi, mencuri demi memberikan pelayanan yang terbaik untuk istri, ini mah,..salah kaprah. Atau kaya, tetapi pelit, ini mah suami keterlaluan. Sekarang, secara spesifik mari kita lihat, hak suami dari istri, alias kewajiban san istri terhadap suaminya ada tiga kategori.

Dan tiga kategori ini bisa mencakup keseluruhannya.
1. Kewajiban istri taat pada suami. (Lihat Q.S Annisa ayat 34).
Inilah sebesar-besar hak suami dari istrinya dan kewajiban istri terhadap suaminya. Yakni :”ta’at kepada suaminya”. Sangat banyak hadits-hadits shahih yang mendukung akan hal ini. Sebenarnya dari yang satu ini saja sudah mencakupi keseluruhan hak-hak suami pada istrinya. Dalam Alquran dan bahasa Arab, ada yang diistilahkan jami’ul kulum(satu lafaz yang singkat mencakup keseluruhan makna).

Dari kata “ta’at” saja, sudah mencakup disana kewajiban sang istri, bukan hanya sekedar istim’ta(jima’ ), tetapi juga urusan memasak, mencuci, menggosok, ngepel dan sebagainya itu dalam hal urusan RT. Kenapa? Bagaimana, kalau sang suami meminta sang istri masak, cuci gosok dirumah, apakah kita tidak mau, dengan alasan bukan kewajiban kita, karena tidak ada perintah baik dalam AlQuran maupun hadits yang mewajibkan hal itu secara dhahir(nyata) , lafaznya?lantas, bagaimana dengan kewajiban utama sang istri pada suami, yakni Ta’at(ta’at sepanjang bukan ma’siat pda Allah Ta’ala tentunya, sebab dalam hadits disebutkan :”Laa thaa’ata al makhluuq fiy ma’siatil khaaliq” Ok,..kalau itu jawaban sang istri.

Karena tidak adanya nash sharih akan kewajiban cuci, masak ngepel dllnya. Mari sama-sama kita jawab: Bagaimana dengan perintah sang istri wajib ta’at pada suaminya? Kalau suami suruh masak gimana? Kemudian, coba kita lihat qaedah Fiqh/ushul fiqh :”Al ‘aadah muhakkamatun” (Kebiasaan suatu tempat/daerah menjadi hukum). Ingat, seperti yang pernah saya sampaikan, qauedah ushul fiqh kedudukannya dalam hukum seperti alat, dipakai saat dibutuhkan, dan di pakai sesuai dengan tempat yang dibutuhkan. Jangan asal pakai sembarang tempat saja. Nantik kaedah semacam diatas dipakai seenaknya saja.

Saya dulu agak kaget melihat kaedah :”Al ‘aadah muhakkamatun” ini dipakai dalam hukum warisan di Minang, yang mana harta pusaka tinggi jatuh pada garis keturunan ibu saja. Dengan memakai kaedah ini, juga kaedah al mashalih al mursalah. Hal ini saya tentang habis-habisan dengan memberikan penjelasan dari kaedah ushul fiqh dan fiqh dalam islam itu seperti apa. Al mashalih al mursalah itu dan al ‘aadah al muhakkamah itu kapan dipakainya, dan bagaimana syaratnya, sempat saya sampai menulis tentang hal ini. Tidak sembarang pakai saja. Nantik pisau untuk memotong sayuran dan daging di dapur, malah bisa dipakai untuk memotong leher manusia lagi. Kan bahaya itu? Hukum warisan sudah ada ketentuannya yang jelas dari Allah ta’ala dan RasulNya. Kembali ke pembicaraan semula. Sudah menjadi kebiasaan di dunia ini, baik di negeri Arab sendiri ataupun di luar Arab, bahwa yang mengerjakan pekerjaan rumah adalah sang istri. Bukan suami. Suami kerjanya mencari nafkah, ini dah harga mati dari Allah Ta’ala. Sebagaimana harga mati juga, kalau Al qawwamah(kepemimpinan), berada di tangan sang suami. Kalau Al qawwamah berada ditangan istri, maka terbaliklah dunia. Atas jadi bawah, bawah jadi atas. Sang suami pula yang disuruh masak, cuci ngepel, dimana lagi letak kepemimpinan suami kalau begitu. Apakah dengan alasan, bahwa kewajiban sang suami menyediakan makan, pakaian, tempat tinggal, jadi sang istri tinggal terima beres. Makanan yang diberikan sudah jadi begitu? Enak banget. Itu namanya sang istri pemimpin, ia yang jadi Raja kalau begitu. Ohh..alasannya katanya kan makanan kewajiban suami terhadap istri. Ok. Benar. Nafkah lahir, makan kewajiban suami. Coba kita renungkan, Allah berfirman, makan dan minumlah kamu.

Makanlah buahan, ikan dilaut, binatang ternak. Itu Allah yang berikan pada kita. Apakah Allah juga yang memasakkan ikan dan ternak ayam, kambing sapi dan sebagainya itu untuk kita. Juga buahan apel, mangga, apalagi durian, Allah kah yang kupaskan buat kita. Karena firman Allahkan, kalau Allah sudah menjamin setiap makhluk dipermukaan bumi ini, Allahlah yang akan memberi rezeki dan makan mereka. Apakah Allah juga yang kupasin mangga buat kita makan? Kalau itu dalil seorang istri kewajiban suami memberikan makan pada istrinya. Apa suami juga yang masak? Itu sama saja kita meminta pada Allah atas janji dan jaminan Allah Ta’ala akan memberikan makan buat manusia. Kita minta Allah yang masakin kita, dan bersihkan halaman kita. Naudzubillahimindza lik. Allah memang menjamin kita akan memberikan makan, rezeki, juga sebagai makhluk kewajiban kita pada Allah ta’ala adalah ta’at kepadaNya dan menyembahNya. Coba deh renungkan semua ini. Darimana pula landasan akal dan landasan syar’inya, kalau kewajiban suami pula yang harus memberikan kita makan yang sudah jadi, alias itu namanya kita minta suami memasak. Apalagi, kalau kita katakan tidak ada kewajiban sang istri membersihkan rumah, cuci, gosok, ngepel dan sebagainya itu.

Coba saja lihat dalam kepemimpinan, presiden yang jadi pemimpin, dia yang mengatur roda pemerintahan. Dia yang harus memberikan pelayanan baik pada sang rakyat. Tapi, rakyatnya bagaimana? Apakah rakyatnya harus duduk dan tiduran saja. Tidak bukan?. Rakyat tugasnya membantu sang Presiden, rakyat juga bekerja. Rakyat juga berhak mengkritik dan menasehati pemimpinnya kalau ada yang salah. Inilah system kerja tabadul(saling bergantian), namanya. Masing-masing dari kedua belah pihak akan saling ketergantungan. Suami tidak bisa maju tanpa istri, begitupun sebaliknya. Tau hak-hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan yang ditentukan oleh syari’at. Tidak salah bukan, kalau kita disuruh mencari jodoh orang yang tau akan agama, bukan berarti orang yang harus sekolah agama.

Banyak orang umum, tau agama koq? Yang penting dia tau akan agamanya. Kalau saja katanya, dalil tidak adanya secara eksplisit akan kewajiban istri memasak dan mencuci disebutkan dalam AlQuran dan hadits. Selain kedua alasan dalil yang saya sebutkan diatas(ta’at kepada suami, serta kaedah fiqh “Al aadah muhakkamah”) , kita coba lagi menambah penjelasan lainnya. Mari kita lihat hadits-hadits berikut: Dari Ibn Umar radhiallahu’ anhu beliau berkata. Aku mendengar Rasulullah bersabda: ” Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang lelaki (suami), menjadi pemimpin dalam keluarganya, dan ia akan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya, dan perempuan juga pemimpin didalam RT (rumah suami) nya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang ada dalam rumah tersebut. Masing-masing kamu semuanya pemimpin.(H. R Bukhari dan Muslim) Syahid dalam hadits ini, bahwa istri bertanggung jawab atas urusan RT adalah kalimat diatas :”Perempuan( istri), bertanggung jawab atas rumah suaminya. Jelas sekali disana kewajiban istri dalam rumah suami. Menjaga harta suami, memikirkan apa yang akan dimakan nantiknya, menjaga kebersihan rumah dan sebagainya. Karena apa? Karena jelas disana dikatakan tanggung jawab istri. Apakah harus di perinci secara jelas, kamu wahai para istri masak, cuci ngepel begitu? Mintalah sama Allah Ta’ala, “Ya Allah tolonglah kupasin buah durian ini, karena dia berduri, tidak bisa kami memakannya”.

Imam Ibn Al qayyim rahimahullahu ta’ala ‘anhu, Ibn Habib berkata : ” Rasulullah memberikan kebijaksanaan antara ‘Ali bin Abi Thalid, serta istrinya Fatimah, tatkala fatimah mengadu masalah pembantu. Tangannya agak lecek sedikit kali, jadi beliau minta pembantu….kemudian hal ini dikhabarkan kepada Rasulullah, apa jawab Rasululah ketika itu? “Maukah kamu berdua saya kasih tau, apa yang lebih baik untuk kamu berdua ketimbang apa yang kamu adukan/minta tersebut? Jika kamu berdua ingin tidur, maka bertasbihlah 33 kali, bertahmid 33 kali, bertakbir 33 kali, itu jauh lebih baik untuk kamu berdua ketimbang meminta pembantu”.(H. R Muslim dan lainnya). Hadits yang lain, mari kita lihat : Dari Asma(binti abi Bakar ra), ia berkata : “Aku melayani Zubair(suaminya yang terkenal pencemburu), pelayanan masalah rumah seluruhnya, ada daging dia sendiri yang potong,.akulah yang mencucikan (pakaiannya) , dan aku lah yang melaksanakan( semua kebutuhannya dalam rumah).(hadits shahih riwayat Ahmad) Bahkan dalam riwayat lain, fatimah sendiri yang mengangkat tepung(kalau dikita orang Indonesia beraslah), makanan pokok, diatas kepalanya, mengadoni sendiri tepung itu untuk dijadikan roti(kalau kita beras dimasaklah), bahkan sampai menimba airpun beliau.

Memang terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini. Tetapi perbedaan mereka seputar, apakah seluruh tugas RT adalah kewajiban sang istri? Kalau Abu Tsaur mengatakan :”Iyah seluruh kewajiban tugas rumah, atas istri”. Sementara Imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah melarang kewajiban itu secara keseluruhannya. (masak ia, sampai angkat air dari sumur juga istri, serta angkat padi dari sawah kerumah juga istri? Mereka berpendapat, bahwa hadits diatas ( yang angkat tepung diatas kepala itu lho), adalah sebagai sunnah saja buat istri, bukan kewajiban. Secara dhahir hadits memang iaya tokh..? tapi koq sampai segitunya sekali sih tugas di berikan pada istri, kalau sanggup suami bantulah istri itu angkat yang berat-berat, tega amat, itu keterlaluan suami namanya, masak biarin istri angkat beras berat-berat. Beras/ tepung dari sawah kerumah diatas kepalanya, (sementara dia ada disana?). Ada dalam riwayat lain disebutkan, pada akhirnya Asma dilarang angkat tepung diatas kepalanya itu, dan disuruh diam dirumah. Ini dikarenakan sahabat Zubair sangat pencemburu sama Asma, melihat istrinya berjalan dilihat sahabat lainnya. Dia tidak kuat menahan cemburu itu. Maka disuruh dirumah saja. Larangan itu semata karena cemburu. Sementara pendapat yang mewajibkan khidmah(pelayanan) kepada suami dalam urusan dalam rumah, adalah kewajiban sang istri dengan firman Allah ta’ala (Q.S Al Baqarah 228, “dan bagi kamu wahai para istri, mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana (Lihat penutup ayat, Allah maha bijaksana, ingat ayat bercerita masalah perkara antara suami istri, maka hukum Allahlah yang jauh lebih bijaksana dalam hal penentuan tugas masing-masing, tidak ditutup disana dengan Allah maha mendengar, atau melihat, tetapi maha bijaksana, luar biasa ayat AlQuran ini sangat detail dan sesuai sekali).

Dalam dhahir hadits diatas, lihatlah. Siapa itu Asma? Anak sahabat yang mulia, orang terdekat dengan rasulullah. Diberikan contoh mengadoni tepung, angkat tepung dan melayani suaminya dalam pekerjaan RT. Ini menandakan, kewajiban khidmah pada suami dalam urusan tugas rumah, tidak ada perbedaan apakah ia istri Presiden, istri menteri, pejabat tinggi, pendidikan tinggi. Magister, doctoral sekalipun istrinya. Tetap saja tugas masalah melayani suami didalam rumahnya adalah tugas utamanya(tentu selain tugas pada Allah Ta’ala, ya’ni beribadah). Lantas, bagaimana kalau suami ikut membantu tugas dirumah, seperti masak, cuci gosok? Itu adalah suatu kebaikan dari sang suami. Rasulullah sendiripun melakukan hal tersebut. Ibunda ‘Aisyah ketika ditanya, bagaimana sih Rasulullah didalam rumahnya, apa yang diperbuat oleh Rasulullah? Apa jawab ibunda Siti ‘Aisyah? Beliau adalah sebenar-benar manusia. Melipat pakaiannya sendiri, memeras susu sendiri, dan mengerjakan urusan pribadinya sendiri(H.R Attirmidzi dengan derajat hadits shahih, dishahihkan oleh Imam Al Albani). Lihat lagi dalam hadits shahih yang lain : “Takutlah kamu kepada Allah dari perempuan, maka sesungguhnya mereka adalah “Awaanun” disisi kamu” “Al ‘Aani= tawanan”. Kita tau bukan bagaimana derajat tawanan? Dan bagaimana sikap kita terhadap tawanan.

Mereka khadim bagi yang menawannya, sementara yang menawannya tidak boleh keras terhadapnya, harus lembut. Sebahagian ulama salaf berkata : “Tidak diragukan lagi, bahwa menikah adalah sebahagian dari “arriq”, maka hendaklah kamu melihat orang yang akan kita muliakan tersebut. (lihat kitab Adab pergaulan hidup antara suami istri oleh Imam Sa’ad Yuusf halaman 199, juga kitab Undang-undang hidup dalam RT Muslim oleh Dr. Akram Ridha). Didalam kedua kitab tersebut banyak di rincikan tugas dan hak-hak masing-masing kedua belah pihak, perbedaan ulama, beserta dalil-dalilnya dari AlQuran dan Assunnah, sayangnya terjemahannya dalam bahasa Indonesia, saya tidak tahu, saya hanya membaca dalam buku berbahasa Arabnya saja).

Mungkin, tulisan yang diambil oleh ustadz dibawah yang saya copykan, berasal dari buku tersebut, hanya tidak diungkapkan secara keseluruhannya. Hanya sepotong saja, sehingga timpanglah maksudnya. Menyatakan tidak ada kewajiban sang istri dalam hal urusan RT, semacam masak, nyuci ngepel, gosok dan sebagainya itu. Padahal ayat AlQuran dan hadits, baik secara Eksplisit ataupun implisit menyatakan tugas itu terletak dipundak sang istri. Hanya saja, itu bukan berarti suami tak berhak melakukannya. Boleh saja, itu adalah suatu kebaikan dari suami semata. Jadi, tak ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa makanan yang diberikan suami haruslah makanan jadi. Itu sama saja kita meminta pada Allah ta’ala yang memberikan kita buahan untuk dikupas, memberikan kita binatang ternak untuk dimakan, tetapi langsung jadi, di potong dulu, kemudian dimasak oleh Allah ta’ala. Kalaupun suami memberikan pembantu untuk istrinya, ini juga suatu kebaikan dari suami.

Soal di Arab sana , bila kelihatan ada suami berbelanja di pasar bersama istrinya, atau dia berbelanja sendirian tanpa istrinya. Setau saya, itu dikarenakan memang di Arab sana , terutama Saudi Arabiya, perempuan keluar harus ditemani muhrimnya. Kalau di Mesir perempuan banyak belanja sendiri? Namun, tetap yang masak juga mereka koq, para istri. Kalaupun ada pembantu, tugasnya pembantu memang sekedar “pembantu”, bukan pekerjaan utama. Angkat atau tugas berat-berat memang sering diserahkan ke pembantu, bagi yang mampu memiliki untuk membayar pembantu tentunya. Bukankah dalam ayat disebutkan “Bagi yang kaya sesuai dengan kekayaannya dalam memberikan pelayanan bagi istrinya, bagi yang miskin sesuai pulalah dengan kadar kemampuannya” . Mungkin, sampai disini dulu. Seperti saya sampaikan, kalau membicarakan masalah urusan perkawinan, urusan hak dan kewajiban masing-masing pihak, ngak akan cukup sehari dua untuk membahasnya, karena masih sangat banyak hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak. Saya hanya membahas, dikarenakan hanya untuk mencoba menanggapi akan tulisan dibawah ini saja. Allahu’aTa’ala A’lam bisshawab. Wassalamu’alaikum (Rahima.S.S Abd. Rahim, Bukittinggi, 4 Juni 2009) Benarkah Istri Tidak Wajib Masak dan Mengurus Rumah? Pertanyaan Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh Ustadz yg dirahmati Allah, Saya adalah seorang ibu yg pernah mengikuti tausiyah Ustadz ketika mengisi safari Ramadhan di Qatar. Mudah2an Ustadz masih ingat materi “memuliakan istri”, ketika itu ustadz menjelaskan kewajiban suami dalam hal nafkah, istri tdk berkewajiban memasak, mencuci, menyetrika dll, (pekerjaan Rmh Tangga), dan dibolehkan meminta hak atas materi kpd suami utk keperluan pribadinya. Apa yg ustadz sampaikan menuai pro kontra diantara kami, apalagi saat itu ustadz tidak secara gamblang menyertakan hadits/ayat Qur’an yg mendasarinya. Pertanyaan saya : 1. Tolong jelaskan hadits/ayat ttg hal tsb diatas, yang rinci ya ustadz. 2. Apakah hal tsb diatas merupakan khilafiyah, diantara para ulama, kalo ya, tolong juga disertakan pendapat2 ulama lainnya. 3. Dalam terjemahan khutbah terakhir Nabi Muhammad SAW, pada saat wukuf diarafah, disebutkan” …dan berikanlah istrimu makanan dan pakain yang layak,” secara bhs Arab samakah arti makanan dan bahan makanan, saya mempunyai persepsi hal itu berbeda, krn makanan adalah siap makan, sedangkan bahan makanan adalah siap olah, tetapi saya ragu, karena ini terjemahan, khawatirnya saya salah persepsi. Terima kasih atas jawabannya, semoga masalah ini menjadi lebih jelas dan kami senantiasa diberi hidayah utk senantiasa ridho dg ketetapan Allah. Amin Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh Widia Jawaban Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Apa kabar ibu-ibu sekalian, semoga sehat-sehat ya. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesarnya-besarnya atas semua yang telah disiapkan oleh ibu-ibu di Doha Qatar dan di kota-kota lainnya, dalam kesempatan ber-Ramadhan selama saya disana. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan ibu-ibu. Dan saya mohon maaf kalau ada hal-hal yang sekiranya kurang berkenan di hati dan juga merepotkan. Tentang materi ‘memuliakan istri’ itu, memang saya mendengar bahwa sempat para bapak komplain, ya. Karena ternyata ‘kenikmatan’ para bapak selama ini jadi seperti agak dipertanyakan dasarnya. Sebenarnya bahwa seorang wanita tidak wajib memberi nafkah, baik makanan, minuman, pakaian dan juga tempat tinggal, bukan hal yang aneh lagi. Semua ulama sudah tahu sejak kenal Islam pertama kali. Dan pemandangan itu juga pasti ibu-ibu lihat di Qatar kan . Coba, ibu bisa lihat di pasar dan supermarket di Doha , yang belanja itu bapak-bapak kan ? Bukan ibu-ibu, ya? Nah itu saja sudah jelas kok, bahwa kewajiban memberi makan adalah bagian dari kewajiban memberi nafkah. Dan yang keluar belanja mengadakan kebutuhan rumah sehari-hari yang para suami, bukan para istri. Ibu-ibu kan lihat sendiri di Doha . Saya sendiri selama di Doha diajak masuk ke tiga mal besar, salah satunya saya masih ingat, Belagio. Nah, saat saya di dalam ketiga mal itu, umumnya saya ketemu dengan laki-laki. Perempuan sih ada, tapi biasanya sama suaminya. Jadi yang belanja kebutuhan sehari-hari bukan ibu, tapi bapak. Bahkan pertemuan wali murid di sekolah di Doha pun, bukan ibu-ibu yang hadir, tapi bapak-bapaknya. Ini juga menarik, sebab kebiasaan kita di Indonesia , kalau ada pertemuan orang tua / wali murid, yang datang pasti ibu-ibu. Bapak-bapaknya tidak harus dengan alasan pada kerja. Tapi di Doha, yang datang bapak-bapak dan meetingnya dilakukan malam hari, selepas bapak-bapak pulang kerja. Mana Ayat Quran atau Haditsnya? Ya, terus terang tidak ada ayat yang menjelaskan sedetail itu, begitu juga dengan hadits nabawi. Maksudnya, kita akan menemukan ayat yang bunyinya bahwa yang wajib masak adalah para suami, yang wajib mencuci pakaian, menjemur, menyetrika, melipat baju adalah para suami. Kita tidak akan menemukan hadits yang bunyinya bahwa kewajiban masak itu ada di tangan suami. Kita tidak akan menemukan aturan seperti itu secara eksplisit. Yang kita temukan adalah contoh real dari kehidupan Nabi SAW dan juga para shahabat. Sayangnya, memang tidak ada dalil yang bersifat eksplisit. Semua dalil bisa ditarik kesimpulannya dengan cara yang berbeda. Misalnya tentang Fatimah puteri Rasulullah SAW yang bekerja tanpa pembantu. Sering kali kisah ini dijadikan hujjah kalangan yang mewajibkan wanita bekerja berkhidmat kepada suaminya. Namun ada banyak kajian menarik tentang kisah ini dan tidak semata-mata begitu saja bisa dijadikan dasar kewajiban wanita bekerja untuk suaminya. Sebaliknya, Asma’ binti Abu Bakar justru diberi pembantu rumah tangga. Dalam hal ini, suami Asma’ memang tidak mampu menyediakan pembantu, dan oleh kebaikan sang mertua, Abu Bakar, kewajiban suami itu ditangani oleh sang pembantu. Asma’ memang wanita darah biru dari kalangan Bani Quraisy. Dan ada juga kisah lain, yaitu kisah Saad bin Amir radhiyallahu ‘anhu, pria yang diangkat oleh Khalifah Umar menjadi gubernur di kota Himsh. Sang gubernur ketika di komplain penduduk Himsh gara-gara sering telat ngantor, beralasan bahwa dirinya tidak punya pembantu. Tidak ada orang yang bisa disuruh untuk memasak buat istrinya, atau mencuci baju istrinya. Loh, kok kebalik? Kok bukan istrinya yang masak dan mencuci?. Nah itulah, ternyata yang berkewajiban memasak dan mencuci baju memang bukan istri, tapi suami. Karena semua itu bagian dari nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri. Sebagaimana firman Allah SWT : ?????????? ??????????? ????? ????????? ????? ??????? ?????? ?????????? ????? ?????? ??????? ?????????? ???? ???????????? ? Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa’ : 34) Pendapat 5 Mazhab Fiqih Namun apa yang saya sampaikan itu tidak lain merupakan kesimpulan dari para ulama besar, levelnya sampai mujtahid mutlak. Dan kalau kita telusuri dalam kitab-kitab fiqih mereka, sangat menarik. Ternyata 4 mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri semua sepakat mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya. 1. Mazhab al-Hanafi Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai’ menyebutkan : Seandainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan unutk memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap. Di dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan : Seandainya seorang istri berkata,”Saya tidak mau masak dan membuat roti”, maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santan, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan. 2. Mazhab Maliki Di dalam kitab Asy-syarhul Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan : wajib atas suami berkhidmat (melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki sementara istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat. Suami adalah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk menyediakan pembantu buat istrinya. 3. Mazhab As-Syafi’i Di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, ada disebutkan : Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta’), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban. 4. Mazhab Hanabilah Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya. 5. Mazhab Az-Zhahiri Dalam mazhab yang dipelopori oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat roti, memasak dan khidmat lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak khalifah. Suaminya itu tetap wajib menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur. Pendapat Yang Berbeda Namun kalau kita baca kitab Fiqih Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib berkihdmat di luar urusan seks kepada suaminya. Dalam pandangan beliau, wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua itu adalah imbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada mereka. Kita bisa mafhum dengan pendapat Syeikh yang tinggal di Doha Qatar ini, namun satu hal yang juga jangan dilupakan, beliau tetap mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, di luar urusan kepentingan rumah tangga. Jadi para istri harus digaji dengan nilai yang pasti oleh suaminya. Karena Allah SWT berfirman bahwa suami itu memberi nafkah kepada istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan sekedar membiayai keperluan rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus ‘menggaji’ para istri. Dan uang gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan rumah tangga. Yang sering kali terjadi memang aneh, suami menyerahkan gajinya kepada istri, lalu semua kewajiban suami harus dibayarkan istri dari gaji itu. Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu bukan lantas jadi hak istri. Dan lebih celaka, kalau kurang, istri yang harus berpikir tujuh keliling untuk mengatasinya. Jadi pendapat Syeikh Al-Qaradawi itu bisa saja kita terima, asalkan istri juga harus dapat ‘jatah gaji’ yang pasti dari suami, di luar urusan kebutuhan rumah tangga. Perempuan Dalam Islam Tidak Butuh Gerakan Pembebasan Kalau kita dalami kajian ini dengan benar, ternyata Islam sangat memberikan ruang kepada wanita untuk bisa menikmati hidupnya. Sehingga tidak ada alasan buat para wanita muslimah untuk latah ikut-ikutan dengan gerakan wanita di barat, yang masih primitif karena hak-hak wanita disana masih saja dikekang. Islam sudah sejak 14 abad yang lalu memposisikan istri sebagai makhuk yang harus dihargai, diberi, dimanjakan bahkan digaji. Seorang istri di rumah bukan pembantu yang bisa disuruh-suruh seenaknya. Mereka juga bukan jongos yang kerjanya apa saja mulai dari masak, bersih-bersih, mencuci, menyetrika, mengepel, mengantar anak ke sekolah, bekerja dari mata melek di pagi hari, terus tidak berhenti bekerja sampai larut malam, itu pun masih harus melayani suami di ranjang, saat badannya sudah kelelahan. Kalau pun saat ini ibu-ibu melakukannya, niatkan ibadah dan jangan lupa, lakukan dengan ikhlas. Walau sebenarnya itu bukan kewajiban. Semoga Allah SWT memberikan pahala yang teramat besar buat para ibu sekalian. Dan semoga suami-suami ibu bisa lebih banyak lagi mengaji dan belajar agama Islam. Wallahu a’lam bishshawab,

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sumber :

http://djohar1962.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar