Kalau kita mengaku sebagai bangsa Timur, yang berbudaya Timur, apakah yang kurang pada diri kita? Kenapa topangan etis yang selalu kita dengung-dengungkan “bangsa yang bermoral”, “bangsa yang menghargai jasa pahlawan” tidak mampu mensejahterakan bangsa ini? Budaya timur yang kita junjung –kalau kita kritis, hanya di Indonesia sajalah yang tidak terimplementasi dengan baik. Kasus Cina, Malaysia, Singapura, bisa bangkit dengan begitu cepatnya ketika terlanda krisis, kenapa Indonesia tidak?. Jawabannya adalah karena kondisi pendidikan mereka yang maju. Namun jawaban inipun melahirkan pertanyaan; bagaimana kondisi pendidikan mereka bisa maju?
Penghargaan terhadap profesi guru inilah yang selama ini menjadi pemicu utama kemorosotan dunia pendidikan kita. Padahal profesi ini begitu mulia dan terhormat, sebab bagaimanapun ketika seseorang menjadi guru atau dosen berarti dia memiliki potensi yang berbeda dengan orang lain yang tidak menjadi guru. Guru berbeda dengan profesi lain, tetapi kenapa guru dan dosen sering kali disama-ratakan dengan profesi lain? hanya dianggap sebagai pengemudi dan pengendali anak didik agar terhindar dari kebodohan? Setelah si anak didik mencapai tujuan (pandai dan lulus) lalu mereka (guru dan dosen) hanya diberi ucapan terima kasih dengan gaji (ongkos) yang begitu minim, dan karena saking minimnya gaji ini tersemat “Guru adalah pahlawan tanpa tanda Jasa”.
Harus disadari bahwa antara guru dan dunia pendidikan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, pendidikan akan hidup ketika guru mampu menciptakan suasana belajar (learning situation) yang humanis dan demokratis dengan orientasi visi yang jelas. Guru-pun akan memberikan performa yang baik dan akan menjalankan proses instruksional yang optimal ketika eksistensinya betul-betul ‘dihargai’ dalam institusi pendidikan. Sebab, bagaimanapun guru merupakan salah satu pilar utama keberhasilan dunia pendidikan yang bakal melahirkan out put yang berkualitas, bahkan guru pula-lah yang dapat menentukan maju dan hancurnya sebuah negara.
Kita dapat menjumpai pelajaran sejarah dunia yakni kasus yang terjadi pasca peledakan Herosima dan Nagasaki di Jepang, Kaisar Jepang saat itu, tidak mengeluhkan luluh-lantahnya dua propinsi Jepang tersebut. Karena ia sadar sikap “cengeng” tidak menyelesaikan masalah. Ia mengevaluasi dan menemukan jawaban bagi bangsanya, bahwa kuncinya ada pada keberadaan guru; masih adakah guru yang tersisa untuk mendidik bangsa? Di sanalah sebuah bangsa akan bangkit. Profesionalisme Guru dan Sertifikasi.
Lahirnya UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003. dan UU RI No 14 tentang Guru dan Dosen dan Sertifikasi merupakan anggitan awal peningkatan mutu dan penghormatan terhadap guru. Anggitan awal ini disertai dengan implementasi uji sertifikasi yang telah dilaksanakan oleh baik DIKNAS ataupun Depag 6 bulan yang lalu. Sertifikasi sendiri apabila diperoleh adalah sebagai wujud peningkatan gaji guru dan dosen, juga demi profesionalisme guru dan dosen. UU Guru memberikan perlindungan hukum dalam hal; profesi, kesejahteraan, jaminan social, hak dan kewajiban. UU ini juga dilengkapi tentang prasyarat sebagai guru bahwa guru harus memiliki, kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik.
Melihat idealisme yang hendak dicapai yakni peningkatan mutu pendidikan dengan kompetensi Isi, Proses dan Kelulusan, sesuai dengan UU SISDIKNAS 2003 dan membandingkan dengan peliknya profesionalisme guru ini diperoleh, sekilas pikir, kita akan mengatakan Indonesia layak menjadi macan Asia 2030 mendatang. Namun ketika kita korek ke dalam, bahwa uji sertifikasi dilaksanakan dengan model uji Portofolio, harapan ini patut dipertanyakan.
Pertama, guru yang memproduksi kita, bahkan yang mendidik mereka yang saat ini menelurkan UU guru dan dosen, juga Tim Sertifikasi Guru, adalah murid dari Guru produk masa lampau, yang saat itu tradisi dokumentasi sangat jarang, yang berimbas pada kemungkinan lolos untuk sertifikasi mereka minim.
Kedua, dengan portofolio, mempermudah guru-guru muda mendapatkan sertifikat ini, dengan pemikiran bahwa saat ini IT adalah hal yang sepele, dan berbagai dokumen yang dibutuhkan untuk mendapatkan sertifikat adalah hal sangat mudah. Tidak adanya pembedaan uji sertifikasi antara guru lama (yang hampir pensiun) dengan guru muda adalah permasalahan pertama peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Permasalahan kedua dari peningkatan mutu pendidikan Indonesia adalah Standar pendidikan Indonesia masih kebingungan mencari pola. Standar isi dan kelulusan yang ada sampai saat ini masih mengkopi tradisi negara Orang (Barat), model kelulusan akhir UAN yang melulu kognitif dan standar isi kurikulum yang masih menganut domain Bloom (pengembangan kognitif, psikomotorik, dan afektif siswa), secara praksis tidak aplikable dalam kondisi pendidikan Indonesia. Indonesia adalah negara kepulauan yang rata-rata penduduknya mendiami daerah pedesaan. Konsekuwensi dari standar isi model bloom ini adalah pelapukan desa, warga terdidik lebih senang mencari penghidupan di kota dari pada di desa karena memang mereka hanya dibekali model keilmuan yang seuai dengan perilaku dan paradigma kota, hingga potensi desa tidak dapat dikembangkan.
Memikirkan Indonesia maju adalah memikirkan bagaimana mengembangkan potensi yang ada di desa menjadi tenaga pendorong kemajuan bangsa. Kalau setiap desa di Indonesia mampu mengembangkan diri, maka Indonesia tidak lama lagi bersanding sebagai negara maju yang dapat turut mangatur tata-kehidupan dunia.
Mamajukan desa, berarti mencegah pelapukan desa terjadi, menjadikan semua warga terdidiknya mampu mengembangkan potensi yang ada di sekitarnya. Bagaimanakah mengembangkan warga terdidik yang sadar tentang potensi yang ada di sekitarnya? Jawabannya adalah perombakan Isi kurikulum pendidikan di Indonesia.
Kalaupun telah kita temui muatan lokal dalam kurikulum pendidikan Indonesia, hal ini belum memberi jalan cukup. Isi kurikulum pendidikan Indonesia harus mencerminkan kepribadian bangsa, salah satu jalannya adalah tawaran standar isi kuikulum yang berbeda dengan yang ada, tidak cukup dengan mengganti model, dari CBSA, KBK ke KTSP. Pendidikan ini butuh perubahan revolusioner. Kita dapat memulai berpikir tentang menjadikan sistem pendidikan pesantren sebagai model pendidikan Indonesia.
Berbeda dengan paradigma pendidikan umum, di dalam sistem pendidikan pesantren selain mengembangkan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik, lembaga pendidikan pesantren adalah gabungan antara penguasaan sumber ilahi dan persemaian sinergis dengan masyarakat. Menurut penelitian M. Dian Nafi’, di pesantren mengenal tiga paradigma berbeda dengan pendidikan umum, yakni ranah faqaha’ (pemahaman terhadap agama), thabi’ah (pembentukan karakter) dan Kafa’ah (kecakapan operasioanal). Proses pembentukan ranah faqaha’ adalah dengan ta’lim (pembelajaran) yang akan menghasilkan kecakapan kognitif (tadlil / mampu menunjukkan alasan), ranah thabi’ah dilalui dengan model belajar taslik (pencarian dan pembuktian), model belajar ini akan menghasilkan uswah (contoh) yang baik, yang selama ini tidak kita miliki. Paradigma Kafa’ah terbentuk melalui tasfiq (mengalih bentukan/praktek) dari ilmu teoritis ke dalam kondisi real masyarakat. Model paradigma ini akan menghasilkan keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan (syahadah).
Pemikiran tentang peralihan model pendidikan umum ke pesantren ini dengan standarisasi dan kompetensi kelulusannya, untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia ini bukanlah kajian melangit. Mengingat di samping keunggulan di atas, pesantren telah lama memelopori eduacation based comunity, juga aducation based liffe skill. Juga dengan menjamurnya sistem full day school adalah padanan sistem pesantren dalam bentuk lain.Kalaupun ini tidak memberi solusi, setidaknya tawaran menjadikan Indonesia maju melalui pengembangan desa, telah dirintis dari awal oleh pesantren. Terakhir dengan UU SISDIKNAS dan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Setidaknya dengan itu akan mampu memajukan pendidikan di Indonesia, setidaknya dengan UU tersebut guru lebih dihargai.
sumber http://de-kill.blogspot.com/2008/11/pandangan-mengenai-profesi-guru.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar