Selasa, 07 Juni 2011

hapus riba,suburkan sedekah

Mungkinkah hidup kita saat ini terbebas sama sekali dari riba? Pesimisme tersirat dari pertanyaan seorang rekan dalam sebuah diskusi warung kopi sepenggal waktu lalu. Wajar jika tanya itu muncul. Betapa tidak, infiltrasi riba begitu kentara di sekeliling kita. Kadang halus, hingga tak terasa sakit sebelum waktunya.

Yang paling sederhana, saat pinjaman bisa cair begitu cepat, untuk menutup keterdesakan hidup. Di muka, bunga minimal nol koma sekian persen seperti biasa-biasa saja. Belakang hari, baru mulai terasa, hidup ini seperti diburu bayangan diri yang ingin membunuh jasad sendiri.

Boleh jadi, horor riba-lah yang menginspirasi tabloid Alhikmah edisi Februari 2009 lalu, sehingga menjuduli Headline Sajian Utama-nya, “Balada Riba, si Hantu Penghisap Darah.” Di dalamnya, terselip laporan pandangan mata tentang derita seorang ibu yang terpaksa menjual rumah tinggalnya, untuk membayar bunga pinjaman dari seorang rentenir.

Fakta lain, seperti dikutip Alhikmah dari Portal berita8.com 22 Desember 2008, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) Provinsi Banten, M. Hasan Basri mengatakan, sekitar 80 persen dari 873 ribu UMKM di Banten disinyalir terjerat rentenir. Sebelumnya, data tahun 2007 yang dirilis di situs incubator-bisnis.com, 50 Persen pelaku UMKM terjerat utang pada rentenir.

Kasus lain, tentu tak sedikit datanya di lembaga seperti Dompet Dhuafa. Yang tercatat di Lembaga Pelayanan Masyarakat (LPM) DD Bandung sepanjang tahun 2008 sampai tulisan ini dibuat, medio Juli 2009 saja, sekitar 1655 kasus, atau 25 persen dari total layanan. Artinya, jika dirata-ratakan, dalam satu hari, tiga orang terancam kehabisan darah akibat hisapan keji si hantu riba.

Motif korban rata-rata karena keterdesakan ekonomi, dan kelangkaan akses solusi sesuai syar’i. Rentenir bak dewa penolong di saat kritis. Tak perlu memakai tetek bengek persyaratan, apalagi jaminan. Yang penting perlu dan mau. Mengalirlah pundi-pundi rupiah, tanpa berpikir panjang akibat yang kelak dirasakan.

Lalu?

Gerakan Sedekah. Tentu saja kita, umat Islam sudah mafhum tentang istilah ini. Sedekah (Shadaqah) wajib, itulah yang sohor dikenal Zakat. Yang sunnah, dinamai Infak.

Sedekah yang bukan semisal asap. Muncul, lalu ‘menghilang’ di peraduannya. Pasti berguna, tapi belum tentu berkesinambungan.

Dengan potensi sedekah yang luar biasa di negeri ini, salah satu solusi yang mengemuka untuk melawan riba adalah dengan Keberadaan Baitul maal wat tamwil (BMT) dan Baitut Tamwil (BT), misalnya.

BMT bertugas menghimpun, mengelola dan mendistribuskan dana Zakat, Infak dan Sedekah. BT lebih menitikberatkan pada aspek komersial hingga sumber pendapatannya berasal dari pihak ketiga, berupa pinjaman, investasi, atau sekedar titipan. Kedua Institusi keuangan bukan bank dengan konsepsi bagi hasil (non bunga) ini memang sudah dimulai sebelum Dompet Dhuafa lahir, 1993 silam.

Dalam buku Catatan dan Refleksi Dompet Dhuafa, “Pemberdayaan tak kenal Henti”, saat itu produk-produk BMT masih dipandang asing, bahkan melawan arus. Keinginan yang sama untuk menguatkan perlawanan terhadap arus ekonomi ribawi pun dirasakan oleh para personil DD.

Dikirimlah personil DD untuk menimba ilmu ke BMT Insan Kamil (BIK) yang lebih dulu berdiri, dengan para pelopornya antara lain: Zainal Muttaqien, Aries mufti, dan Istar Abadi. Pun ke BT Binama, Semarang, yang digawangi Basuki, Mujahid, dan Kartiko.

Usai berguru, DD pun mulai terjun mengembangkan BMT. Diklat BMT pun digelar, yang kelak menjadi embrio jejaring pemberdayaan ekonomi kaum dhuafa.

Dari Mimpi Ekonomi Berkeadilan

Pakar Ekonomi Syariah, Yusuf Wibisono, dalam artikelnya “Membangkitkan Ekonomi Berkeadilan” di Jurnal Pemberdayaan, Horizon, menyebut tujuan ekonomi Islam diturunkan dari tujuan syariah Islam (Maqashid syariah) itu sendiri yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akherat.

Sebagai sebuah sistem, secara umum berdiri di atas lima pilar utama. Dua diantaranya adalah Sistem Finansial non-riba, non maysir dan non-gharar, dan Sistem Fiskal khas yang berbasis pada zakat (Sedekah wajib). Melalui Zakat yang dipungut langsung dari Muzakki, fungsi alokasi, distribusi, sekaligus stabilisasi ekonomi akan terwujud.

Pelarangan riba, menurut dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini, termasuk fitur terpenting dari sistem finansial Islam. Riba berimplikasi pada perlakuan yang tidak sesuai bagi hak milik orang lain. Riba terkait erat dengan perilaku pengambilanharta orang lain secara tidak sah (bathil) dan merupakan bentuk kejahatan serius (QS: 160-161).

Mimpi besar Dompet Dhuafa menjadi lokomotif pemberdaya, bagi tumbuh kembangnya jiwa dan kemandirian masyarakat, yang bertumpu pada sumber daya lokal, menuju sistem ekonomi berkeadilan, insya Allah tengah dalam proses perjalanan. Sukses tidaknya bergantung banyak hal. Dengan sinergi, dan atas restu sang Pemberi, mari bersama, “Hapus Riba, Suburkan Sedekah!” (***)

sumber http://nuepoel.wordpress.com/2009/08/31/hapus-riba-suburkan-sedekah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar