Senin, 23 Agustus 2010

menantimu

Seberkas sinar menyilaukan menusuk pupil mataku, membuatku mengerjap perlahan. Tapi tunggu! Di mana saat ini aku berada?!? Lalu kubuka mataku, namun sinar putih itu menembusnya tajam hingga membuatku kembali memejamkannya. Saatku kembali terpejam, memoriku kuputar kembali ke beberapa waktu lalu, yang kuyakin dengan begitu aku akan tahu jawaban dari pertanyaanku, di mana aku saat ini.

(flashback)

Kulihat seorang gadis dengan senyumnya yang sangat manis bergelayut di lengan kananku, sepintas aku lupa siapa dia? Aku hanya merasa bahwa dia adalah seorang yang sangat dekat denganku. Dengan manja dia terus bergelayut seolah tak ingin lepas barang sedetik pun. Lalu gadis itu merapatkan bibirnya di telingaku lalu berbisik,

“Mas, kamu tahu nggak kenapa aku jadi seperti ini?” Aku menggelengkan kepalaku.

“Karena saat ini aku bahagia, kamu tahu kenapa?” Sekali lagi aku menggelengkan kepalaku.

“Aku hamil, Mas,” ungkap gadis itu dengan memamerkan ekspresi bahagianya.

Ya Tuhan, kini aku ingat siapa gadis itu, dia adalah Rona, istriku yang sudah aku nikahi selama tiga tahun, istriku yang sangat aku cintai dan mencintai aku?!?

***

Aku kembali membuka mataku, masih silau namun aku berusaha untuk bisa menatap sekelilingku. Pertama yang kulihat hanya buram, namun lama-lama mulai nampak jelas. Aku berada di sebuah ruangan yang serba putih, dan beraroma obat-obatan, yah aku berada di kamar rumah sakit. Tapi kenapa aku berada di sini??? Sekali lagi aku mencoba mengembalikan ingatanku di peristiwa terakhir yang membawaku ke sini.

(flashback)

“Ma, aku berangkat dulu ke rumah sakit,” pamitku pada seorang wanita tengah baya. Hm, mamaku???

“Tapi ini udah malam, Ren!”

“Nggak tahu kenapa, Ma, aku kangen banget sama Rona, lagian kan udah dari dua hari yang lalu aku belum ke rumah sakit.”

“Tapi kamu kan baru aja sampai dari luar kota?!? Apa kamu nggak cape???” Aku menggelengkan kepalaku, buatku tak ada rasa capek untuk bertemu dengan istriku yang teramat aku cintai.

“Aku pergi dulu, Ma,” ucapku lalu kucium punggung jemari wanita yang telah melahirkanku itu.

“Iya, tapi hati-hati di jalan ya,” katanya. Aku mengangguk. Lalu aku pergi dengan mobil warna hitamku. Tak seberapa lama, aku mendengar bunyi ponselku. Bip… tit… dit… aku mengangkatnya.

“Kak Rendra, ini Marsha, barusan aja Kak Rona menggerakkan jarinya, cepetan ke sini ya, Kak.” Lalu aku pun segera melesatkan mobilku melebihi batas kecepatan normal. Aku ingin segera melihat Rona bangun, aku tak sabar ingin melihatnya sadar, setelah sekian lama koma. Koma???

***

Aku segera beranjak dari tempat tidurku, menyadari bahwa Rona koma, dan itu artinya aku harus bergegas menemuinya. Lalu melangkah keluar dari kamarku, anehnya aku masih mengenali koridor menuju ke kamar tempat Rona dirawat. Aku segera berlari ke sana, berharap melihat Rona telah tersadar dari tidur panjangnya.

Sesampainya di depan kamar aku berhenti lalu masuk, namun masih saja beribu kecewa kurasakan, karena Rona masih saja aku temukan terbaring lemah di sana. Lalu aku melangkah mendekatinya. Kusentuh keningnya lalu bibirnya, masih saja tak bergerak. Kuhembuskan nafasku panjang seraya menggenggam erat tangannya yang kurang lebih selama dua bulan membeku. Lalu tiba-tiba saja sepenggal ingatanku kembali lagi.

(flashback)

“Selamat, Pak, anak Anda laki-laki,,” kata seorang dokter sesaat setelah keluar dari ruang persalinan.

“Lalu bagaimana dengan istri saya, Dok?” tanyaku panik. Dokter itu diam, lalu menarik nafasnya panjang,

“Istri anda banyak mengeluarkan darah, dan sampai sekarang dia masih belum siuman, teruslah berdoa, Pak, hanya Tuhan yang bisa membantunya, sedangkan kami team dokter hanya bisa berusaha.”

Bagai petir menyambar kepala dan hatiku, hancur berkeping-keping.

***

Tanpa sadar airmatakupun meleleh untuk yang kesekian kalinya. Aku kecewa jelas kecewa karena Tuhan tak mendengarkan doa yang kupanjatkan untuk Rona. Yang aku inginkan tidaklah banyak dan sulit, aku hanya ingin Tuhan memberikan yang terbaik untuknya, entah itu sadar ataupun pergi untuk selamanya, asalkan jangan membuatnya menderita seperti ini, terjebak di antara dua dunia. Aku tak rela Rona harus merasakan semua ini!

Secepatnya kuhapus airmataku saat kulihat pintu kamar terbuka perlahan. Marsha, adik Rona, bersama seorang pria tengah menggendong tangan seorang anak berusia sekitar lima tahunan masuk ke dalam. Lalu anak itu turun dari pelukan pria itu dan berlari mendekatiku. Hm, bukan, dia mendekati Rona.

“Mama, bangun, Ma, ini Rendra,” kata anak itu sambil menyebut namaku. Namaku? Bukan?!? Nama anak itu sama dengan namaku?!? Rona membuka matanya perlahan lalu tersenyum. Demikian juga dengan pria itu,

“Maafin aku ya, aku terlambat, jadi nggak bisa nemenin kamu melahirkan, tapi aku sudah melihat anak kita kok, dia cantik seperti kamu,” katanya mengejutkanku.

“Aku yang harusnya minta maaf, San, nggak nungguin kamu datang. Kamu nggak keberatan kan? Aku ngotot untuk melahirkannya tepat di tanggal, hari, dan jam yang sama dengan waktu kematian Mas Rendra? Dan aku juga ngotot untuk ditempatkan di ruangan ini agar…” kata Rona lalu menangis.

Pria itu mengelus rambut Rona lalu berkata,

“Sudahlah, aku bisa memakluminya kok.”

(flashback)

Aku melihat traffic light berwarna merah lalu sorot lampu menyilaukan sebuah kendaraan besar muncul dari arah kanan, tampak begitu jelas di mataku, dan dengan begitu cepat mendekat!!!

***

Segera kulepaskan tanganku dari tangan Rona, tubuhkupun bergetar, shock! Dan ternyata itu membuat Rona seperti menyadari kehadiranku. Matanya lembut menembus mataku, tepat! Meski mungkin dia tak benar-benar bisa melihatku.

“…agar kamu bisa menemui aku, Mas, maafkan aku,” desisnya pelan, namun sangat jelas terdengar di telingaku.

***

Namun setidaknya aku kini bisa pergi dengan tenang, karena Rona kini telah hidup bahagia, meskipun bukan bersamaku lagi. Terima kasih Tuhan, Kau telah mengabulkan doaku untuk Rona, Kau telah memberikan yang terbaik untuknya, meski bukan yang terbaik untukku. Namun aku tetap merasa bahagia.

by;onik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar