Satu kata untuk menggambarkan keberadaan beliau ketika aku belum sekolah lagi adalah SUPERSTAR. Ayah, bagiku kala itu dia benar-benar luar biasa. Sehari saja beliau tak di rumah, untuk kepentingan bekerja misalnya, gundah tak terkira hati rasanya. Tidurku pasti tak tenang. Pernah suatu kali ayah ada urusan berhari-hari pergi ke Jakarta. Bulu mataku berguguran, kenang ibu. Dan pada hari terakhir ayah kan pulang, berjam-jam sebelumnya aku sudah menunggu di beranda rumah. Khawatir ibu bohong ayah tak jadi pulang. Atau bila ayah pulang telat ke rumah, ada-ada saja pikiran buruk yang aku takutkan. Biasanya aku akan mengoceh: mungkin ayah kecelakaan di jalan, atau ban mobil ayah terperosok di jembatan yang rusak, bisa juga gimana kalau ada bandit yang merampok mobil ayah. Kalau dingat-ingat itu semua aku sendiri juga heran kenapa dulu aku bisa begitu terpesonanya pada ayah.
Tapi bagaimana tidak, seingatku, semasa kecilku beliau memang sangat menyenangkan. Sangat mengagumkan ketika ia mengajari aku bermain kelereng. Sehingga suatu kali aku berhasil menang mengumpulkan banyak kelereng dari kedua abangku. Walaupun tentu saja 90 % adalah hasil jerih payah ayah. Juga ketika ia bermain sulap di rumah waktu liburan. Aku tak habis pikir bagaimana tiba-tiba ada sekeping uang duapuluh lima rupiah ada di lubang pusarnya. Pernah suatu kali aku yang dijadikan partnernya bersulap di depan abang-abang dan para sepupu. Waktu itu aku berhasil melekatkan rambutku pada sebuah penggaris plastik. Bangga sekali rasanya waktu itu.
Sebelum adik lahir aku tak mau tidur kalau tak sekamar dengan ayah dan ibu. Kupikir kalau tidur malam tak di dekat ayah pasti monster-monster yang ada di gudang akan datang mengganggu. Dan hanya ayah saja yang bisa melindungi. Tidak para satpam di ujung komplek, tidak juga si Ben, kucing hitam kami yang garang jika menangkap tikus.
Setelah adik lahir ayah berusaha membujukku agar pindah tidur ke kamar abang-abang. Aku sudah besar katanya, sudah jadi abang juga. Aku masih tak mau. Aku tetap khawatir dengan para monster. Alasan yang lain, aku tidak mau satu tempat tidur dengan abang.
Maka dibelikanlah aku tempat tidur yang baru, untuk sendirian. Di kepala tempat tidur ayah menempelkan tulisan namaku dengan tulisan yang indah sebagai rayuan. Ini baru tempat tidur pribadiku. Seprainya selalu biru, warna kesenanganku.
Ketika Taman Kanak-Kanak, ayahkulah yang mengajariku membaca. Aku masih ingat ketika naik mobil ke kota dan mulai bisa membaca, nama-nama toko di sepanjang jalan aku baca semua. Begitu pula ketika pertama kali masuk SD. Aku tak berani masuk ke kelas kalau tak diantar ayah. Untuk itu ayah terpaksa harus minta izin dari kantornya. Dan tentunya lagi-lagi aku bangga karena akulah satu-satunya murid kelas satu yang sudah bisa membaca. Bu guru jadi sayang padaku. Ah, ayah...dulu dia begitu sempurna di mataku.
***
Kalau diingat-ingat lagi, seiring bertambahnya usiaku ada masa dimana kekaguman pada ayah mulai memudar. Sosok dan karakter ayah menjadi bias dimataku. Bisa jadi karena wawasanku semakin lama semakin bertambah sehingga ayah jadi tak seideal dulu lagi.
Ketika kelas 5 SD pernah aku tak bicara padanya selama sebulan karena setiap aku akan menonton serial Keluarga Huxtable di TV pasti saat itu ayah akan memutar kaset video kungfu Cina. Sebenarnya bukan aku tak suka dengan kungfu Cina. Awalnya karena aku baca di majalah bahwa sifat dendam itu tidak baik dan menurutku film-film kungfu Cina rata-rata ceritanya pasti seputar pembalasan dendam. Tentu lebih baik nonton film serial keluarga.
Ada juga sifat ayah yang kuingat sangat menggangguku. Beliau suka menyindir dan aku sangat tak suka disindir. Dulu waktu SMP aku punya piaraan seekor burung beo. Aku yang selalu membersihkan kandang, memberi makan dan mengganti air minumnya. Pernah suatu kali aku malas mengurus si beo. Aku lupa karena apa, mungkin karena sedang musim ujian di sekolah, karena malas saja, atau karena sifatku yang terkadang memang angin-anginan.
Ayah kemudian menyindir. "Biar saja beonya mati, punya piaraan koq malas ngurusnya", begitu kata ayah seingatku.
Yang jadi masalah buatku, ayah tak langsung memberitahu didepanku. Tapi ia sengaja mengeraskan suaranya agar terdengar olehku yang sedang di dalam kamar.
Sindiran-sindiran seperti itu sering terjadi dan membuatku sakit hati. Dia kan ayahku, kalau ada yang dia tak suka dariku beritahu saja secara baik-baik langsung kepadaku, begitu pikirku. Dan yang lebih parah, kalau ada yang aku tak suka aku jadi lebih suka diam. Mungkin begitu pula dengannya. Sehingga perang dingin semakin gencar terjadi antara aku dan ayah.
Semasa SMU hubunganku dengan ayah semakin buruk saja. Dan menurutku kala itu, ini cuma terjadi denganku saja, tidak dengan abang-abang atau adik-adikku. Aku kadang berpikir, apa yang salah denganku. Ayah sengaja membangun konfrontasi terselubung denganku, itu yang aku tanamkan dalam otakku.
Waktu ibu pulang dari Makkah, ibu membelikan aku tustel otomatis. Tapi menurut ayah, tustel tipe seperti itu belum bisa aku gunakan. Sebaiknya aku belajar dulu dengan tustel lama punya abangku. Aku ikuti saja apa kata ayah. Akhirnya tustel pemberian ibu kutukar dengan milik abangku. Aku diam tapi dengan hati dongkol yang luar biasa.
Pernah pula ada kejadian ketika aku kelas dua SMU, seharusnya aku mendapat jatah dibelikan motor. Untukku ayah memberikan pilihan membelikan motor atau antena parabola. Saat itu antena parabola memang menjadi tren di kotaku. Menurut ayah, dengan parabola kita dapat menyaksikan banyak program TV dari berbagai saluran, tidak hanya dari TVRI saja. Sedangkan motor, aku kan bisa pinjam dari abang-abangku. Jadi menurut ayah membeli antena parabola lebih baik.
Aku menurut lagi. Dan aku menyesal.
Karena berikutnya setelah beberapa bulan antena parabola itu hilang dicuri orang. Seperti yang kuduga aku tetap saja susah untuk meminjam motor dari abang-abangku.
Kemudian aku punya gank di sekolah, teman-teman menjadi segalanya. Sosok ayah adalah sosok yang kesekian setelah gank, teman-teman, Indiana Jones, Phil Collins, Julia Robert, matematika, main tenis dan banyak hal asyik lainnya. Aku sangat jarang berkomunikasi dengan ayah. Begitu pula ayah. Menurutku, tak begitu peduli lagi denganku. Jadi mengapa aku harus peduli padanya. Jarak semakin lebar saja. Setiap ada acara keluarga, aku biasanya punya acara lain dengan teman-teman. Banyak saja alasan, belajar kelompok, mancing ke laut, ada pertandingan tenis, cari buku, macam-macam. Masa-masa ini terindikasi bila aku membuka-buka kembali album foto. Sedikit sekali foto yang menunjukkan ada aku dan ayah di waktu dan tempat yang sama.
Ada kejadian kecil yang membuatku sangat menyesal. Waktu itu ayah mengambilkan raport kenaikan kelasku. Seperti biasa aku tetap dapat mempertahankan peringkat 1 di kelas. Setiba di rumah ayah ingin mengelus kepalaku. Mungkin ia bangga dengan prestasiku. Tapi aku mengelak dari elusannya. Kepalaku kuhindari dari telapak tangannya. Pergi begitu saja. Aku tak tahu setan apa yang mempengaruhiku. Hanya saja waku itu aku tak merasa bersalah. Tak peduli pada perasaan ayah. Aku merasa aneh saja bila kepalaku dielus oleh orang yang berjarak denganku.
***
Kelas 3 SMU, ayah sakit-sakitan. Aku berusaha untuk acuh tak acuh. Sakit biasa pikirku. Toh sudah tua, biasalah tak kuat mengangkat beban terlalu berat lagi, cepat lelah, batuk-batuk. Lagian kenapa juga ia menghentikan kegiatannya berolah raga dan tak mau berpantang pada makanan. Salah sendiri.
Satu yang ada dipikiranku saat itu, dalam setahun ini aku akan bersiap diri untuk lulus UMPTN dan diterima di ITB. Itu saja! Aku akan buktikan pada ayah bahwa anaknya yang tak begitu disukainya ini akan lebih berhasil dari kedua abangku yang gagal masuk ITB. Aha!
Sepertinya sakit ayah bukan sakit biasa. Ayah harus masuk rumah sakit. Pernafasannya perlu dibantu dengan tabung oksigen. Ternyata ada gangguan dengan jantungnya. Aku sangat khawatir tapi tetap saja tak mau untuk menunjukkan sikap itu secara langsung. Bergantian kami menjaga ayah yang sedang di rawat di rumah sakit. Aku tak berperan terlalu banyak karena kupikir ia pun tak terlalu mengharapkan kehadiranku. Sepulang dari kursus komputer kusempatkan menjenguknya. Ah, beliau baik-baik saja pikirku. Ia masih tertawa ceria, masih kuat menggendong dan memeluk erat adik bungsuku. Beberapa hari lagi pasti dokter mengizinkannya pulang ke rumah.
Benar saja, ayah hanya dua minggu di rumah sakit, dokter mengizinkannya pulang tapi tetap harus tersedia tabung oksigen di kamarnya untuk menjaga sesekali bila dibutuhkan.
Beberapa hari sepulang dari rumah sakit. Kedua abangku masih di kampus. Aku tidur siang sepulang dari sekolah. Adik-adik ada yang masih di sekolah dan ada yang di rumah. Ibu menemani ayah. Aku ingat sekali hari itu, menjelang sore, hujan gerimis. Jalan di depan rumah sudah beberapa minggu ini diadakan proyek pelebaran. Paduan gerimis dan suara ribut orang-orang yang bekerja membuatku enggan untuk keluar kamar dan keluar rumah. Sungguh minggu-minggu yang menyebalkan.
Kudengar ibu berbicara dengan ayah. Ayah minta tolong diantarkan ke kamar mandi. Malas sekali rasanya aku bangkit dari tempat tidur.
Kemudian suara berdebam terdengar.
Tiba-tiba perasaanku menjadi sangat tak nyaman. Terdengar teriakan ibu. Sontak aku bangkit dan kulihat ayah terkapar di lantai. Degup jantungku jadi kian tak karuan, gerimis menderas, suara pekerja di depan kian bergemuruh.
Kubopong ayah ke tempat tidurnya. Nafas ayah melemah, anfal!
Ibu mulai menangis dan aku gemetar panik. Kucoba melakukan bantuan nafas dari mulut ke mulut tapi aku tak piawai melakukannya. Ayah tetap saja tak merespon apapun.
Panggil dokter, kata ibu bergetar.
Di rumah belum ada telepon saat itu. Aku berlari keluar menembus hujan, masih dengan singlet dan celana pendek. Jalanan becek dan lalu lalang para pekerja pelebaran jalan sepertinya tak jelas lagi di mataku. Aku berlari ke sebuah klinik kecil di ujung jalan. Kuceritakan kondisi ayah dengan tergesa-gesa pada seorang bapak di sana.
Saya cuma mantri, kata bapak itu ikut-ikutan panik. Tapi ia tak mau sama sekali ikut aku ke rumah. Bangsat! Pikirku, seumur hidup aku tak akan pernah mau menginjak klinik ini lagi.
Aku berlari terus, tak mampu berpikir jernih. Firasatku semakin memburuk, berlari kembali ke rumah meretas hujan. Rasanya kaki sudah tak menjejak bumi lagi. Terbayang semua masa-masa dengan ayah. Indahnya masa kecil dengannya, ia superstar bagiku, tak akan ada penggantinya. Tapi sampai saat ini tak kunjung juga aku memperbaiki hubungan dengan superstarku itu. Egois sekali aku!
Ayah! Jangan pergi dulu. Air mataku mulai berlelehan.
Tiba di rumah, ibu dan adik-adik sudah bertangisan. Abang-abang masih belum pulang. Ayah sudah tiada.
Kehilangan yang luar biasa menggerogoti setiap jengkal tubuhku. Ini tidak bisa diterima! Ayah tidak bisa pergi begitu saja. Banyak yang harus kami selesaikan berdua. Banyak yang harus dibenahi. Jurang pemisah itu masih bisa dijembatani.
Pasti hari ini bukan sesuatu yang nyata. Mungkin lebih baik aku tidur saja dan ketika bangun nanti semuanya akan normal kembali.
Tapi aku tak mungkin bisa tidur. Para tetangga mulai berdatangan. Hei, untuk apa kalian datang?! berontak hatiku. Sudah terlambat, aku tak perlu kalian lagi di sini. Ayahku sudah tak bisa dikembalikan lagi.
Orang berdatangan semakin ramai. Lebih baik aku menghindar saja. Sendiri di gudang mungkin bisa menghadang kehilangan ini. Luka dalamku menjadi semakin luar biasa. Tapi tetap saja tak percaya ayah bisa pergi semendadak ini. Aku cuma meraung tanpa suara.
***
Hari ini tujuh tahun setelah ayah wafat.
Aku berada di musholla sebuah rumah sakit. Istriku akan melahirkan anak pertama kami. Dokter menegaskan harus dilakukan operasi caesar karena posisi bayi tidak normal dalam kandungan. Aku berusaha tenang bertafakur menghadap Sang Maha Perkasa. Karena di tanganNya ada kehidupan istriku dan bayi yang kami nanti-nantikan.
Allah apapun takdir yang Kau berikan pada kami, yakinkan aku bahwa itu adalah yang terbaik dan jadikan hatiku meridhoinya. Namun aku mohon ya Allah, mudahkan proses kelahiran ini, selamatkan istri dan anakku.
Selesai sholat dan tilawah, aku beranjak ke ruang tunggu. Ada ibu yang sengaja kuundang khusus menyambut kelahiran ini. Semua rasa bercampur aduk tak menentu. Bahagia karena insya Allah sebentar lagi aku menjadi seorang ayah, ada perasaan cemas dalam hatiku karena aku tak mengerti bagaimana nasib istri dan calon anakku itu di ruang operasi.
Mengobrol dengan ibu cukup menyejukkan hati. Kami bercerita tentang almarhum ayah. Mengenang masa-masa di mana aku begitu dekat dengan ayah. "Dulu ketika kamu lahir", kenang ibu. Kamu satu-satunya anak yang lahir tanpa ayah disamping ibu. Ketika itu ayah sedang bertugas. Tapi bahagianya ayah lebih dari kelahiran anak-anak yang lain. Karena ia merasa kamu adalah hadiah ulang tahun ibu untuk ayah.
Aku ingat ulang tahunku hanya sehari sebelum ulang tahun ayah. Biasanya hari ulang tahun kami dirayakan bersama.
Ketika kau kecil, lanjut ibu. Jika ayah sakit kamu juga ikut-ikutan sakit. Biasanya kamu jadi cengeng dan tidak mau jauh-jauh dari ayah. Atau ketika kamu sakit, biasanya ayah juga jadi tak enak badan, malas ke kantor dan inginnya di rumah saja.
Menurut ibu, mungkin ini karena hari lahir kami yang berdekatan.
Aku jadi terkenang banyak hal. Pernah suatu kali tangan ayah tertusuk bambu waktu membakar sampah. Seingatku darahnya banyak sekali. Aku panik tak kepalang. Berlari tak tentu arah, semua tetangga kupanggil untuk menolong ayah. Padahal luka ayah tak begitu parah.
Juga ketika ayah mengajariku naik sepeda. Sepedaku pernah terperosok ke parit kecil karena tak menuruti komando ayah. Bekas luka di lututku masih ada sampai sekarang. Atau ketika aku mengajak adik-adik berkebun di halaman belakang. Tanaman tomat yang baru tumbuh ditanam ayah kami modifikasi dengan berbagai tehnik berkebun dalam fantasi kami. Diberi pupuk banyak-banyak yang dicampur vitamin untuk ayam agar buah tomatnya gemuk, atau disiram dengan teh manis biar buah tomatnya nanti manis. Setiap helai daun, batang hingga akar kami lap dengan kain sampai bersih sehingga perlu tahap pembongkaran tanaman untuk melakukan proses itu. Dan tanahnya, kami gemburkan setiap hari. Walhasil, dalam seminggu dengan perlakuan yang agak berlebihan dan ganjil itu semua tanaman tomat ayah menjadi mati. Kuceritaan pada ayah apa yang telah kami lakukan dan siap untuk dimarahi. Namun ternyata ayah malah tertawa dan mengajak kami untuk menanam bibit tomat yang baru bersama-sama.
Mengenang masa-masa itu bisa juga aku dan ibu tertawa ditengah penantian operasi istriku. Kembali lagi terkenang masa-masa remaja yang begitu kontradiktif dengan masa kecilku. Menurut ibu, kenapa dulu aku sering perang dingin dengan ayah? tanyaku. Mungkin karena karakter kalian mirip sekali, jawab ibu. Kamu sama-kerasnya dengan ayah. Lebih suka diam kalau ada masalah. Aku merasa ayah tak pernah bisa memahami aku, Bu ya! Karena susah sekali membuat kalian bisa saling terbuka.
Ketika remaja, rasa ingin kembali dekat dengan ayah selalu berusaha kukalahkan dengan rasa egoisku untuk tidak membutuhkannya lagi. Aku merasa bisa jalan sendiri tanpa petuah darinya. Ulang tahunku tak lagi dirayakan bersama ayah. Aku lebih suka merayakannya dengan teman-teman satu gank. Oh ayah, andai semuanya itu bisa diulang, aku akan katakan padamu betapa aku ingin terus dekat denganmu, ingin terus menganggapmu sebagai superstar.
Tiba-tiba jantungku berdebar lebih kencang, semua lamunan menjadi buyar seketika. Mungkin anakku telah lahir. Bergegas aku menuju pintu ruang operasi. Benar saja, tak lama seorang suster keluar, tersenyum mengucapkan selamat untukku. Istri dan anakku selamat. Bayinya sehat.
Subhanallah, Alhamdulilah, Allahuakbar! Anakku laki-laki. Tangis bayi itu begitu kerasnya. Seolah menggema keseluruh rumah sakit. Hanya tangis itu yang dapat kudengar, seolah suara-suara lain dapat kukesampingkan untuk mampir di telingaku. Oh Allah, begitu besar anugerah yang kau limpahkan padaku hari ini.
Anakku telah dipindahkan ke box inkubasi. Bayi mungil dan merah itu, begitu sehatnya dia. Tak kurang sedikit apapun. Dari jendela kaca kutatap lekat-lekat wajahnya. Hidung itu, pasti dia ambil milik istriku. Bangir, berbeda dengan hidungku yang sempat membuat aku kurang percaya diri. Tapi lihat alis matanya, lebat! Itu tentu punyaku. Cerdas sekali dia, memilih dan mengambil yang bagus dari ayah ibunya. Begitu menakjubkannya Engkau ya Allah.
Aku dan ibu menuju ruang recovery. Istriku sudah ada di sana menantiku dengan senyuman. Senyuman itu lebih manis dari biasanya. Dia masih terlihat lemas. "Abang!", katanya lirih.
Pssst, jangan panggil Abang lagi. Sekarang aku sudah jadi Abi, kataku bangga.
Kukecup keningnya dan kupegang tangannya, mengajaknya memanjatkan doa syukur bersama. Jazakillah, Umi! lembut kubisikkan ditelinganya.
***
Suara azan kukumandangkan di telinga anakku.
Berikan kekuatan pada kami, Ya Allah! agar kami dapat menjaga amanah berharga yang kau titipkan pada kami ini.
Kudekap lembut anakku, kukecup keningnya.
Ya Rahman, ya Rahim!
Karuniakan aku dengan cinta darimu agar aku dapat mencintai anak ini dengan terus terang, dan anakku mencintaiku dengan terus terang pula. Agar kami saling memahami satu sama lain, saling percaya satu sama lain dan saling menghargai satu sama lain. Anugerahkan pada kami keberanian untuk saling jujur, tidak malu dan ragu untuk mengungkapkan apa yang ada di hati kami, baik itu cinta, sayang, kesal, marah, apapun. Biasakan kami untuk mau mengkomunikasikan segala hal dan yakin bahwa Engkau telah menyatukan hati-hati kami dengan cinta dariMu, tanpa lekang di makan usia. Dengan cinta yang bersahaja saja ya Allah. Karena cinta kami yang hakiki, hanya untukMu.
BY: Aini el-Hady
Tidak ada komentar:
Posting Komentar