Bagai katak di ujung tanduk. Itu adalah keadaanku sekarang. Berjuta pikiran melayang dalam angan tanpa bayang. Antara racun, obat, caci maki, dan duri-duri tajam yang menyerang. Entah kapan ini akan berakhir. Atau akankah memang bisa berakhir. Tapi mungkin saja akan segera berakhir jika aku mengakhirinya sekarang. Haruskah ada strategi utama dan paling berbahaya? Sungguh, hari panjang yang melelahkan. Aku harus memutuskan satu hal yang akan merubah seluruh kehidupan. Hari ini ulang tahunku ke-13. Tapi siapa peduli. Jangankan kado, ucapan selamat saja tertutup rapat dari mulut orang-orang yang mengenalku. Bukan hal aneh bila itu terjadi. Mana ada orang dengan ikhlas memberikan hadiah, meski sebenarnya sangat kuharapakan, begitu saja melemparkannya ke arahku. ”Anak cacat tak pantas mendapatkannya ”, bisa jadi mereka akan mengatakan itu.
Lagi-lagi suara menggelegar, ”To, mbok ya ngamen sana! Cari duit yang banyak! Jangan jadi anak males!”
Seperti biasa sambil membawa sapu lidi, ibu menakutiku, mungkin juga siap memukulku jika aku membantah. Bahkan, untuk menatapnya saja aku malas. Malas karena bosan dengan segala ocehan yang menyurutkan setiap langkahku..Aku menelusuri jalan-jalan. Menerobos keramaian kota Yogyakarta. Dengan lagak pengamen, aku bernyanyi lagu tentang keceriaan seorang anak bersama orang tuanya. Aneh, semua lagu bertemakan dunia bahagia. Sedangkan keadaanku sebaliknya. Ini bukan pekerjaan. Tapi derita keseharian. Lihat saja penampilanku. Baju kumal yang jarang dicuci. Kalau pun sampai dicuci, tidak dengan air kran atau air sumur. Air sungai keruh telah menjadi tempat laundry bagiku dan teman-teman seperjuangan. Memang bajuku dicuci, tapi malah semakin kumal akibat lumpur sungai yang melekat menutupi pori-pori kain. Lain lagi dengan tubuhku. Badan kurus kering bagaikan anak kekurangan gizi. Tak khayal, banyak julukan untukku akibat bentuk tubuh ini. Kadang teman-teman memanggilku Cungkring, Garing, atau Krempeng. Aku menerima saja. Kalau dibilang marah. Aku sungguh terhina dengan julukan itu. Akan tetapi, jika dilihat dari keadaanku, memang begitu keadaannya.
Temanku banyak mengamen di bus-bus yang lewat. Berbeda denganku. Aku hanya keliling sehingga uang yang kudapat lebih sedikit. Bagaimana mungkin aku akan naik bus. Berjalan saja sudah sulit apalagi pakai tangga segala. Aku tahu pasti ada orang yang membantu. Tapi apakah kita harus selamanya bergantung pada pertolongan orang lain. Padahal, kita masih sanggup mengerjakannya sendiri. Sepreman-premannya orang pasti mereka punya rasa kemanusiaan bagi sesama. Apalagi untuk anak sepertiku.
Tibalah aku di depan rumah mewah. Menyanyi semerdu mungkin agar orang yang mendengarnya merasakan apa yang ingin kusampaikan. Meski sebenarnya lagu itu hanya untuk menyemangati hidupku yang sedang galau.
Hidupmu indah
bila kau tahu,
jalan mana yang bena…ar
harapan ada
harapan ada
bila kau percaya
17agustus,2010 by;yurna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar