Sabtu, 14 Agustus 2010

AKU PULANG

Wignyo adalah seorang pria muda yang bekerja sebagai seorang porter kargo di sebuah gudang kargo bandar udara di Pulau Jawa. Sudah bertahun-tahun ia bekerja sebagai porter. Walau terasa begitu berat, namun pekerjaan ini satu-satunya yang bisa diandalkan untuk menghidupi keluarganya. Ia harus berangkat dinihari menuju gudang kargo bandar udara tempatnya bekerja. Saat itu ia harus sudah siap menerima dan mengatur setiap paket barang yang akan diberangkatkan dengan penerbangan terpagi dari lima maskapai yang ada. Hampir semua barang yang akan diberangkatkan dengan pesawat harus melalui gudang bandar udara. Jadi semua jasa kurir dan termasuk pula paket serta surat-surat yang dikirim oleh Pos Indonesia harus diperiksa dan ditimbang ulang di gudang kargo bandar udara ini. Semuanya, tanpa kecuali, baik barang yang akan diberangkatkan maupun barang yang datang, semuanya harus melalui pemeriksaan dan penimbangan ulang di gudang kargo bandar udara ini.
Konon beberapa tahun yang silam, gudang kargo bandar udara ini sempat pula bermasalah saat terjadi kasus penyelundupan emas batangan yang dimasukkan ke dalam tas koper dan dikirim sebagai barang paket melalui sebuah jasa kurir. Karena saat itu jam keberangkatan begitu mepet dan sibuk, mungkin saja koper berisi emas itu sempat lolos dari pemeriksaan. Entahlah, apa ada unsur kesengajaan atau tidak, yang jelas kasus itu sempat merebak dan bikin heboh. Kini pemeriksaan pun semakin diperketat. Tidak ada lagi tindakan mencuri-curi berat timbangan, karena itu sangat berbahaya. Maksudnya begini, setiap barang yang masuk ke gudang kargo harus ditimbang, dicatat dan diperiksa, kemudian didaftar dalam lembar manifest barang dan data itu masuk di database komputer. Gunanya supaya setiap barang yang keluar masuk bisa dideteksi dan diselidiki dari mana asal dan tujuannya, demikian pula isinya. Selain itu dengan adanya kegiatan penimbangan barang kargo, berat setiap kargo barang yang akan dimuat di pesawat bisa dikontrol agar tidak overload (kelebihan beban), sebab pesawat yang mengalami overload kargo, sangat rawan mengalami kecelakaan waktu berada di ketinggian.
Satu-satunya cara untuk mengontrol agar barang kargo yang diangkut pesawat tidak overload yaitu dengan memeriksa catatan berat yang tercantum di manifest barang dan juga melakukan cross check dengan data yang ada di komputer. Jadi yang dianggap bertanggung jawab bila terjadi kecelakaan akibat pesawat kelebihan muatan atau overload adalah pihak gudang kargo bandara. Maka dari itulah sekarang pengawasan dilakukan secara lebih ketat, supaya tidak ada lagi upaya oknum-oknum petugas bandara yang berkolusi dengan jasa kurir untuk mengurangi berat timbangan yang dicatat. Misalnya, kalau berat suatu paket setelah ditimbang mempunyai berat 100 Kg, bisa jadi kalau ada seorang oknum nakal yang berkolusi dengan oknum petugas jasa kurir, berat yang dicatat hanya sebesar 50 Kg, supaya biaya ongkos gudang yang dibayarkan bisa lebih murah. Tentu saja oknum petugas gudang kargo akan mendapat uang tahu sama tahu dari petugas jasa kurir. Memang kelihatannya sepele, namun kalau semua orang berbuat seperti itu, bisa-bisa barang kargo yang dimuat di pesawat melebihi kapasitas yang disarankan, sementara yang tercatat di dokumen manifest lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya. Bayangkan bila jumlah itu dikalikan dengan ratusan paket yang dikirim tiap harinya dengan pencatatan palsu, tentu bila pesawat mengalami kecelakaan akibat overload kargo, semua itu menjadi sulit untuk dideteksi.
Wignyo merasa bosan dan juga jengkel dengan kondisi yang itu-itu juga. Sebenarnya ada sebuah masalah yang selama ini begitu mengganjal hati dan pikirannya. Sudah bertahun-tahun sejak ia bekerja di gudang kargo ini, setiap minggunya selalu saja ada peti jenazah TKI maupun TKW yang datang di gudang kargo ini. Biasanya gudang kargo ini bakal ramai dikunjungi oleh para penjemput jenazah saat sore hari menjelang jadwal kedatangan pesawat, bila rencananya mau ada peti jenazah yang datang. Setiap minggu selalu ada saja lebih dari satu peti jenazah yang datang dari Malaysia, Singapura, Taiwan, Hongkong, Jepang, Korea hingga Arab Saudi. Melihat dari banyaknya peti jenazah yang berdatangan setiap minggunya, Wignyo sering bertanya pada dirinya sendiri, begitu burukkah perlakuan yang diterima oleh para TKI dan TKW bangsa ini yang mengadu nasib di luar negeri demi sesuap nasi. Begitu kejamkah manusia-manusia yang katanya berperadaban tinggi di negeri-negeri kaya seberang lautan sana, sehingga demikian tega berlaku kejam pada para TKI dan TKW hingga mereka pulang bukannya membawa sejumlah uang untuk keluarga, namun pulang dalam peti mati dari bahan kayu murah. Apakah derajat bangsa ini demikian rendahnya sehingga mau saja terus mengirimkan TKI dan TKW, menyetorkan nyawa anak bangsa untuk dibunuh di negeri lain ? Apakah tidak ada sedikit pun kepedulian dari pemerintah negeri ini untuk mengangkat derajat dan harkat bangsanya sendiri ? Sebegitu hinakah derajat rakyat bangsa ini sehingga tetap diam saja saat diperlakukan tak ubahnya seperti budak di jaman penjajahan, yang dengan mudah bisa dibunuh bila dianggap sudah tidak bermanfaat dan tidak produktif lagi ? Wignyo terus bertanya dalam hati. Jauh dalam lubuk hatinya ia masih dapat bersyukur bahwa walau dengan gajinya yang kecil dan pas-pasan sebagai seorang porter di gudang bandar udara, setidaknya ia tidak mengalami nasib seburuk mereka yang ada dalam peti-peti jenazah itu. Setidaknya ia masih bisa berkumpul dan hidup bahagia dengan anak istrinya, persis seperti pepatah Jawa yang mengatakan, “Mangan ora mangan sing penting kumpul”.
Wignyo merenung sejenak, kalau bandar udara ini saja setiap minggunya selalu menerima paket kiriman jenazah TKI dan TKW, yang kalau satu tahun sudah dapat dihitung berapa banyaknya, bisa dibayangkan berapa total peti jenazah berisi TKI dan TKW dari negeri-negeri asing yang setiap minggunya berdatangan di berbagai bandar udara di tanah air. Berarti begitu banyak jumlah orang Indonesia yang mati sebagai tumbal negara di luar negeri. Namun sampai saat ini sepertinya kok pemerintah tenang-tenang saja menanggapi begitu banyak nyawa warga negeri ini yang melayang sia-sia akibat perlakuan kejam para juragan di negeri asing. Mungkin penjajahan masih belum berakhir. Rakyat negeri ini masih saja terjajah secara ekonomi, lahir dan batin. Bahkan saat pulang pun mereka tetap tidak mendapatkan penghormatan sebagai seorang pahlawan devisa. Banyak diantara mereka yang pulang terbungkus oleh peti mati berbahan murah. Peti mati murahan yang terbuat dari kayu yang permukaannya kasar. Sebuah penindasan dan pelanggaran HAM terang-terangan yang tak juga mendapat perhatian lebih. Mereka-mereka yang pulang dalam peti jenazah itu, kalaulah memiliki pilihan, mungkin akan lebih memilih bekerja di negeri sendiri, tentunya dengan penghasilan yang manusiawi, tidak seperti yang terjadi sekarang.
Outsourcing begitu merajalela, seakan rakyat hanyalah buruh murah yang tidak mempunyai hak untuk hidup lebih baik. Apalagi sepertinya hampir tidak ada lagi status karyawan tetap, yang ada hanyalah status karyawan kontrak. Sejarah telah berulang, kalau dulu di jaman penjajahan Belanda ada undang-undang yang namanya undang-undang kuli kontrak, yang kalau para pekerja bekerjanya tidak becus, bakal kena poenale sanctie (hukuman badan, dengan cara dicambuk atau dipukul), sekarang sepertinya hal itu terjadi kembali dengan versi yang berbeda namun dengan motif yang kurang lebih sama. Buruh dan karyawan tidak lagi memperoleh hak untuk hidup layak, dengan gaji yang sangat minim (sementara biaya hidup terus melambung tinggi), tanpa tunjangan kesejahteraan, tanpa adanya jaminan kesehatan, tanpa adanya uang makan, tanpa adanya uang transpor, kami para buruh dan karyawan tak ubahnya seperti sapi perahan yang harus bekerja siang malam dan terus diperas sampai mati garing akibat kurang gizi dan sakit-sakitan. Jadi apa bedanya jaman sekarang dan jaman penjajahan Belanda dulu. Kami para rakyat kecil masih saja hidup dalam penindasan, tanpa kesejahteraan dan hidup dengan fatamorgana kemakmuran. Iming-iming bisa hidup kaya sepulang dari negeri seberang hanyalah fatamorgana yang mematikan. Buktinya sudah demikian banyak korban berjatuhan. Setiap minggunya selalu ada saja lebih dari satu peti jenazah yang berdatangan dari berbagai negeri seberang lautan. Mereka semua pahlawan devisa yang telah pulang ke tanah tumpah darah yang tercinta, Indonesia. Hanya terbungkus dalam peti jenazah berharga murah. Di manakah harga diri kita, wahai bangsaku ?

BY;HARYOBAGUSHANDOKO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar