Selasa, 17 Agustus 2010

masih adakah pelangi untukku

Aku hanyalah seorang wanita yang rapuh dan berusaha tegar. Tapi apa daya bagaimanapun aku hanyalah wanita yang butuh kasih sayang, dan bukan untuk disakiti. Dari awal memang aku yang salah. Aku menikahi seseorang karena rasa kasihan. Aku benar benar menyesal. Tak ada kebahagiaan yang aku dapatkan, hanya tangis dan rasa sakit.

“Kamu cinta sama aku gak?” tanya Joan, suamiku.

“Gak sama sekali, aku cuma kasihan sama kamu,” seruku. Hatiku kacau, aku lelah.

“Kamu tahu tidak, aku tidak betah satu rumah dengan orang yang tidak punya hati seperti kamu, aku menyesal menikah sama kamu.”

“Aku capek, aku berusaha membuat kamu bahagia tapi apa? Kamu tidak pernah bisa mengerti aku,” tangisku meledak, aku tidak tahu lagi seberapa sering air mataku jatuh.

“Kalau kamu mau maksa mengajak cerai pun aku tidak akan menceraikan kamu,” suara angkuh suamiku.

“Kamu mau lihat aku kembali seperti dulu lagi?” ancam suamiku.

Dasar orang tidak pernah mau kalah. Aku pun diam, dia memang selalu mengunakan ancaman itu saat kita cekcok seperti ini. Dia selalu memanfaatkan rasa tidak tegaku.

Aku pun berlalu dengan hati yang remuk. Mungkin tak berbentuk lagi. Aku lelah dan aku pun terlelap dengan air mata yang menetes dipipiku.

Riak air danau bergerak gerak senada dengan angin yang berhembus lembut, mengusik daun-daun Akasia, menyapu lembut wajahku dan memainkan rambutku. Aku duduk sendiri di tepian danau menanti datangnya pelangi. Karena hujan baru saja reda dari tengah danau muncul lengkungan berwarna-warni yang sedari tadi aku tunggu. Aku begitu menikmatinya seraya ku berucap, “Tuhan, beri satu pelangi untukku,” karena aku percaya selalu ada pelangi setelah hujan badai.

by;banny

Tidak ada komentar:

Posting Komentar