Aku menatap lekat-lekat foto gadis berlesung pipit, Aurel. Mataku seakan tak bisa lepas memandanginya. Sama seperti otakku yang tak pernah bisa menghapus memori tentangnya. Sama seperti hatiku yang tak pernah bisa berhenti memanggil namanya. Tiga tahun ini aku menganggap Aurel sebagai masa lalu yang kini tak pernah tergapai, walaupun aku sangat mengharapkannya. Tiga tahun ini aku dan Aurel dipisahkan oleh tembok-tembok ruang dan waktu yang tak jelas batasannya. Tiga tahun ini aku tak pernah sekalipun menjenguk wajah purnamanya. Huh! slide-slide film otakku kembali memutar potongan-potongan kisah tiga tahun lalu.
* * *
“Aku nggak setuju Ndra, kamu ikut balapan itu,” kata Aurel ketus. Aku mendengus sebal. Ini yang ketiga kalinya Aurel melarangku untuk ikut balapan bersama teman-temanku.
“Nggak Rel, aku akan tetap ikut balapan itu! Sudah dua kali Rel, aku menolak permintaan mereka untuk adu balap denganku. Mereka sudah sangat kecewa padaku.”
“Oh begitu, kau lebih suka bila aku yang kecewa!” Nada bicara Aurel mulai meninggi. Aku mencoba untuk sabar.
“Bukan begitu Rel, ini cuma balapan biasa. Aku tak ingin teman-temanku kecewa. Aku pun juga tak ingin kau kecewa padaku, Rel.” Aku mencoba menyakinkan gadis yang sangat kusayangi ini, tapi nampaknya Aurel tetap pada keputusannya.
“Aku nggak suka Ndra kamu ikut balapan. Aku nggak mau sesuatu terjadi padamu Ndra. Aku nggak mau!” Aku memandang kilat di mata Aurel. Aku tahu gadis itu sangat mencintaiku.
“Aku akan baik-baik saja Rel, sekali lagi kukatakan padamu ini cuma balapan biasa!”
“Nggak Ndra! Aku nggak mau kamu ikut balapan itu.” Amarah Aurel semakin menjadi-jadi.
“Ok, kalau begitu aku akan ikut kau balapan Ndra.” Aku terkejut dengan perkataan Aurel. Selama ini dia sangat penakut, bahkan sampai sekarang gadis pujaanku ini takut mengendarai sepeda motor sendiri.
“Nggak Rel, kau jangan ikut balapan itu. Aku……” Aku tidak melanjutkan kalimatku
“Aku apa, Ndra? Kau takut terjadi apa-apa padaku? Aku akan tetap ikut. Aku akan selalu bersamamu, Ndra.” Aku hanya bisa pasrah dan mengijinkan Aurel ikut balapan. Aku yakin kami akan baik-baik saja, seperti balapan yang sudah kuikuti sebelumnya.
Minggu pagi. Alan, Danu, Rendy, dan beberapa teman mereka telah siap untuk bertempur dalam balapan motor ini. Sebenarnya jalan yang kami gunakan bukan arena balap, jalan ini hanya jalan sepi yang jarang dilalui kendaraan. Di belakang, Aurel memelukku dengan sangat erat. Aku memegang tangannya untuk menenangkan. Dingin! Tak pernah aku merasakan tangan Aurel yang sedingin ini. Semua telah bersiap-siap dan memanasi mesin.
“Ok, Man. 1….2…..3……go!!”
Motor-motor pun dipacu dengan kecepatan tinggi. Asap-asap menari-nari bersama bising kendaraan yang memekakkan gendang telinga. Kurasakan Aurel semakin erat memeluk tubuhku. Kupacu motor dengan kecepatan penuh. Dan sekarang aku telah berada di posisi terdepan. Aku memang terkenal sebagai jagoan balap di kalangan teman-temanku. Memang akulah yang paling hebat! Memang akulah juaranya!
“Brukk!!!”
Tiba-tiba sebuah mobil menyebrang jalan. Kecepatan yang tinggi membuatku tak bisa mengerem ataupun menghidari mobil hitam tersebut. Sepeda motorku oleng bersama tubuhku yang terpelanting jauh. Sempat kurasakan darah merembesi keningku. Tiba-tiba semua gelap. Aku tak sadarkan diri.
Entah bagaimana tapi aku sudah berada di rumah ketika membuka mata. Ibuku mengatakan kalau aku sudah terbaring di sini selama delapan hari.
“Aurel!! Mana Aurel, Ma? Dia baik-baik saja kan?” Aku langsung teringat belahan jiwaku itu saat aku baru sadar dari koma.
“Tenanglah Ndra, Aurel akan baik-baik saja. Keluarga Aurel telah membawanya ke rumah sakit di Jakarta untuk berobat.”
“Apa, Ma! Separah itukah keadaan Aurel, Ma? Ini semua karena Indra, Ma, harusnya Indra nggak ikut balapan itu.”
“Tenanglah Ndra, Aurel akan baik-baik saja. Sekarang kamu istirahat saja,” kata Mama menenangkanku sambil merapikan selimut dan meninggalkanku sendiri.
Aku sedih bukan main. Rasa bersalah menghimpit-himpit dan menyesakiku. Aurel kau di mana? Maafkan aku Rel. Apa kau baik-baik saja? Kenapa kau harus berobat ke Jakarta? Seberapa parah lukamu? Ini semua karena aku tak mendengarkan kata-katamu Rel. Kuraba kepalaku yang masih terbalut perban, perih. Tapi perih ini tak sebanding dengan perih dihatiku.
Satu bulan aku hidup dalam perasaan bersalah yang terus menghimpit nurani dan batinku. Siang malam aku hanya memikirkan Aurel. Sebelum akhirnya datang surat tanpa alamat dari Aurel
Ndra, kau tak perlu cemas. Aku baik-baik saja disini. Aku sekarang mengikuti ayahku yang bekerja di luar negeri. Berat memang untuk meninggalkanmu tanpa pamit. Tapi kukira inilah jalan yang terbaik untuk kita. Lupakan saja aku, Ndra. Dan aku juga akan mencoba melupakanmu, walau kutahu itu pasti akan sangat sulit.
Selamat tinggal Ndra
Aurel
BY;DUNIA UCHI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar