Perlahan Anisa memasukkan kerudung merah ke dalam kardus. Hatinya hancur berkeping – keping. Semangat hidupnya kini memudar. Air matapun tak henti berderai. Jengkerik malam meringkik perlahan mengiringi jatuhnya buliran air dari pelupuk matanya. Malam itu begitu sunyi, sesunyi hatinya yang sangat terluka. Jam di dinding baru menunjukkan pukul 11 malam. Mata Anisa tak bisa diajak tidur. Hatinya sangat sakit. Dia merasa menjadi wanita yang paling malang di dunia. Selalu dicampakkan oleh lelaki yang dicintainya. Ada sejuta tanya bergayut di hatinya. Mengapa dalam percintaan selalu dia dicampakkan oleh pria yang dicintainya? Rasanya dia sudah tidak kuat menanggung derita dihatinya, hingga beberapa kali dalam sholat tahajutnya dia mohon pada Allah untuk dicabut saja nyawanya. Dia tahu itu tidak pantas dilakukannya, namun hatinya serasa tlah patah, remuk redam.
Dua bulan sudah sejak Handoko memutuskan pertautan cinta dengannya, lebih tepatnya perselingkuhan, karena status Handoko yang sudah beristri. Perpisahan yang begitu tiba – tiba, karena istri Handoko yang nekat ingin bunuh diri, mengetahui suaminya berbagi cinta dengan wanita lain.
Walau Anisa sudah memperkirakan cepat atau lambat perpisahan itu pasti akan terjadi, tetap saja hati Anisa terasa sakit. Hanya Handoko yang bisa membuka kembali pintu hatinya sejak tujuh tahun kepergian suami Anisa yang tiba–tiba, karena sakit jantung. Handokolah yang memberi keyakinan bahwa masih ada cinta sejati untuknya, cinta sejati yang tidak akan menyakiti, yang berjanji akan selalu membuat bahagia hidupnya. Cinta sejati Handoko yang terpendam selama puluhan tahun sejak perpisahan mereka di SMA. Ya itulah Handoko teman SMA Anisa yang dikirim Allah untuk mengisi hari–harinya dengan sapa mesra dan kasih sayang. Yang memberi harapan kembali untuk Anisa akan sebuah cinta yang takkan pudar oleh waktu.
Teringat kembali bagaimana Handoko menyapa mesra setiap pagi ketika Handoko berangkat dan pulang kerja. Jarak yang jauh antara mereka tidak mengurangi intensitas kasih sayang diantara dua insan yang sedang dimabuk asmara, walau hanya lewat telpon.
“Pagi, Cinta,” sapa Handoko pagi itu.
“ Pagi juga, Sayangku.”
“ Dah mandi belum, Cintaku.”
“Udah dong, kan sampeyan jam segini pasti nyapa aku, jadi aku dah mandi dari tadi.”
“Coba dengerin lagu ini.” Handoko membesarkan volume tape recorder yang ada di mobilnya. Terdengarlah lagunya Ungu yang berjudul cinta selamanya.
“ Yuk nyanyi bareng, Say.”
“Ayuk.”
Begitulah sapa Handoko tiap pagi. Banyak lagu kenangan yang mereka nyanyikan bersama – sama. Pertautan cinta itu sudah berlangsung selama 8 bulan. Kadang Handoko menemui Anisa di waktu–waktu libur dengan berbagai alasan kepada istrinya. Rasa cinta itu terjalin sejak Handoko mencari Anisa di rumah kakak Anisa di kota tempat kelahiran Anisa. Entah apa gerangan yang membawa Handoko berusaha mencari–cari Anisa. Sejak itu Handoko selalu intensif telepon dan berkunjung ke rumah Anisa walau jarak yang jauh memisahkan mereka berdua. Dengan kelembutan dan kesabaran Handoko, akhirnya Anisa mau membuka hatinya untuk kehadiran lelaki lain setelah kematian suaminya tujuh tahun yang lalu. Anisa sendiri tak habis pikir mengapa dengan beberap kali pertemuan saja hatinya bisa menerima Handoko. Apa mungkin karena Handoko adalah teman SMA Anisa dan tahu sifat – sifat Handoko yang sepertinya tidak mungkin akan tega menyakitinya seperti yang pernah dilakukan oleh suaminya.
“Aku janji takkan tinggalin kamu, aku akan selalu mencintai kamu tidak ada batas waktu untuk menghapus cintaku padamu, semoga kau mengerti, Sayang.” Begitulah janji Handoko kepada Anisa di suatu siang lewat SMS.
Masih terkenang pertemuan terakhir di suatu siang di stasiun Jatinegara. Mereka berdua bergandengan tangan, melepas rindu. Handoko tampak malu–malu ketika Anisa menyuapi bakso yang mereka pesan.
“Rasanya seperti mimpi ya, kok bisa ya kita seperti ini?” ucap Handoko saat itu.
“Gak tahu ya, aku juga gak mengerti kenapa dengan mudah aku bisa menerimamu di hatiku, padahal aku tahu kau sudah beristri,” jawab Anisa.
“Tahu gak, kadang aku punya pikiran jahat. Kenapa istriku gak mati saja,” kata Handoko kemudian.
“ Lho kok gitu,” sahut Anisa.
“Iya, soalnya istriku gak mau diduain, pusing deh,” kata Handoko lagi.
“ Yah, kita pasrah aja pada Allah, bermohon pada Allah agar kita diberi jalan keluar yang terbaik untuk kita,” lanjut Anisa.
“ Sayaaang, Cintaaa,” panggil Handoko sambil mencium tangan Anisa.
“Honey,” sahut Anisa.
Anisa merasa jengah, karena Handoko melihatnya terus, mengelus pipinya. Ah rasanya dag-dig dug berkecamuk dihati Anisa. Takut ada temen Anisa yang mengenalinya.
Siang itu mereka boncengan pakai motor Anisa. Rasanya indah sekali bisa memeluk Handoko era-erat. Meskipun pertemuan itu hanya sesaat namun sangat berkesan dalam hati Anisa. Saat Handoko mau pulang ke kotanya Anisa mencium tangan Handoko. Bak seorang istri mengantarkan suaminya berangkat kerja. Itulah yang dilakukan Anisa kepada suaminya dahulu. Ternyata itu adalah pertemuan terakhir mereka berdua.
Dua minggu kemudian setelah istri Handoko mengetahui bahwa suaminya masih menjalin hubungan dengan Anisa, istri Handoko mengancam akan buuh diri. Saat itu Handoko sangat panik. Sambil menangis di telepon Handoko, menyatakan tak sanggup lagi melanjutkan hubungan itu.
“Istriku melapor ke ibuku, kini semua keluargaku sudah mengetahuinya. Istriku menangis terus, dan anak–anakku pun akhirnya mengetahuinya. Maafkan aku gak bisa memenuhi janjiku. Meskipun kita gak berkomunikasi lagi, bukan berarti aku nggak mencintaimu, kita pasrah saja pada Allah. Kita tunggu hikmah apa di balik ini semua,” begitu ucapan Handoko terakhir kali.
“Jadi kau putusin aku begitu saja?” tanya Anisa.
“ Kita pasrah saja pada Allah, ya! Maafkan aku ya,” isak Handoko pagi itu.
Hati Anisa hancur, Anisa tak bisa berkata apa–apa. Baru kemarin siang mereka bernyanyi bersama, mengucapkan kata–kata cinta yang indah, tiba–tiba kata–kata perpisahan keluar dari mulut Handoko. Air mata meleleh dipipi Anisa seketika. Rasa sakit yang menyeruak tiba–tiba, menyesakkan dada kirinya. Anisa mengambil air wudhu untuk sholat Dhuha. Dia tumpahkan kepedihan hatinya kepada Sang Pencipta. Hari–hari Anisa selanjutnya terasa hampa. Ingin rasanya Anisa mati saja. Muncul pertanyaan dalam hati Anisa, mengapa percintaannya selalu berakhir dengan dirinya yang dicampakkan. Tidak adakah laki-laki di dunia ini yang tulus mencintainya dan sanggup memperjuangkan cinta sejati untuk Anisa. Mengapa harus Handoko yang datang untuk menyakiti hatinya. Anisa sudah tak ingin memikirkan rencana hidup kedepan, ia ingin mengalir saja sebagaimana hidup akan membawanya terus berjalan. Mungkin inilah takdir yang memang sudah digariskan untuk Anisa dan Handoko, bertemu kembali, saling mencintai untuk kemudian dipisahkan oleh keadaan.
Pelan–pelan Anisa menutup kardus yang berisi barang-barang Handoko. Kardus yang berisi buku-buku, kerudung, dan segala macam barang pemberian Handoko. Inilah cara Anisa untuk melupakan Handoko, mengubur dalam–dalam cintanya untuk Handoko. Anisa berharap dengan cara itulah Anisa bisa melanjutkan perjalanan hidupnya yang entah akan berwarna seperti apa. Besok pagi kardus itu akan ia paketkan ke alamat kantor Handoko. Anis juga harus mempersiapkan persyaratan-persyaratan untuk berangkat keluar negeri. Minggu depan Anisa akan melakukan penelitian ke Jepang selama sembilan bulan. Sejak berpisah dari Handoko Anisa mengikuti saran atasannya untuk mengikuti penelitian ke Jepang. Anisa berharap dengan meninggalkan Indonesia, dia akan bisa mengubur kenangannya bersama Handoko.
by;nia mulya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar