Meski sudah bisa berdiri atau bicara, bayi belum paham jenis kelamin apa itu perempuan atau laki-laki. Anak baru mengerti setelah ia mampu mempelajari perilaku maskulin dan feminin dari lingkungan sekitarnya, seperti teman-temannya.
Menurut Albert Bandura dan Bussey dalam buku Children seperti dikutip Minggu (20/2/2011) perkembangan identitas gender anak terjadi melalui observasi dan imitasi perilaku yang dilakukan oleh orang lain, serta melalui perilaku yang disukai atau tidak disukai oleh individu dari jenis kelaminnya.
Seiring bertambahnya usia, anak mulai bergaul dengan teman-teman seusianya dan ia akan mulai mempelajari perilaku maskulin dan feminin dari teman-temannya.Anak-anak perempuan akan asyik bermain rumah-rumahan atau boneka bersama dengan teman perempuan lainnya, sedangkan anak laki-laki bergerombol bermain perang-perangan, berlarian kesana kemari sambil membawa pistol-pistolan.
Dan biasanya, ketika anak-anak mulai tahu arti jenis kelamin mereka enggan untuk bermain bersama teman yang berbeda gender. Hasilnya, terkadang sulit untuk menyatukan anak-anak ini untuk bermain bersama karena mereka cenderung lebih suka bermain sendiri jika tidak ada teman sesama gendernya.
Jika dibiarkan, maka anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang kurang supel, pemilih, bahkan, kurang bisa berempati pada orang lain di luar gank bermainnya.
Laurence Kohlberg, dengan teori kognitifnya yang dikenal sebagai Cognitive Developmental Theory of Gender, menyatakan bahwa pembelajaran anak mengenai gender terjadi setelah anak mampu berpikir dan menyadari jenis kelaminnya, apakah ia perempuan atau laki-laki.
Ketika mereka telah menyadarinya, anak akan cenderung memilih aktivitas, benda, dan perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya. Sebagai hasilnya, seorang anak akan berpikir, ‘Aku adalah anak perempuan, jadi Aku akan melakukan hal-hal yang disukai oleh teman-teman perempuanku’.
Menurut Kohlberg, anak mencapai tahap yang disebut dengan identitas gender pada usia 2 tahun. Pada masa ini seorang anak mampu menyebutkan jenis kelaminnya sendiri, apakah ia disebut perempuan atau laki-laki.
Ketika anak berusia sekitar 4 tahun ia telah mampu menyadari bahwa jenis kelaminnya tidak akan berubah, kondisi ini masuk tahap stabilitas gender. Akan tetapi, pada masa ini kemampuan anak masih terbatas pada fitur eksternal seperti pakaian dan rambut. Anak laki-laki pada usia ini mungkin berkata, ‘Kalo aku pakai rok, berarti anak perempuan. Aku nggak mau jadi perempuan!’.
Baru pada tahap ketiga, yaitu tahap konstansi gender terjadi ketika anak berusia sekitar 6-7 tahun. Pada tahap ini anak akan mampu memahami bahwa jenis kelaminnya akan tetap sama sepanjang hidupnya, meskipun gaya berpakaian, potongan rambut, atau kegiatan yang dilakukan berubah.
Peran orangtua sangat dibutuhkan anak dalam membimbing perkembangan gender anak. Yang bisa dilakukan orangtua antara lain:
1. Ajarkan anak mengenai perilaku feminin dan maskulin yang pantas dan cocok dilakukan oleh anak sesuai jenis kelaminnya, serta atribut-atribut fisik yang sesuai dengan jenis kelamin tertentu (misalnya rambut panjang lebih cocok untuk anak perempuan, sedangkan rambut cepak lebih cocok untuk anak laki-laki).
2. Kenalkan dan ajak anak untuk bersosialisasi dengan teman-teman sebaya dari kedua jenis kelamin, dan biarkan ia untuk bermain dengan teman-teman sejenisnya. Anak akan belajar mengenai peran masing-masing jenis kelamin dari anak-anak seusianya.
3. Ajarkan anak untuk tidak bersikap agresif dan kasar. Seringkali anak laki-laki didorong untuk bersikap lebih berani dan agresif secara fisik. Sebenarnya cara yang lebih positif adalah dengan mendorong mereka bersikap lebih asertif tetapi tidak agresif secara fisik, baik dengan teman sejenis ataupun teman dari lawan jenis.
sumber http://deltapapa.wordpress.com/2011/02/20/saat-anak-paham-jenis-kelaminnya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar