Kamis, 30 September 2010

detik detik terakhir dari sini menuju kesana

Sejauh matanya memandang, yang terlihat hanyalah tumpukan mayat tentara yang berseliweran. Rasa ketakutannya tidak bisa ia sembunyikan atau ia tutup-tutupi lagi. Jauh di dalam hatinya ia berharap mayat-mayat ini akan hidup kembali untuk membawa kabar gembira bahwa perang telah usai dan dia berada di pihak yang menang. Bayangkan betapa kabar tersebut akan berdengung kencang bila dibisikkan di kedua telinganya. Karena itulah do’anya selama ini, yang dengan rajinnya ia senandungkan di pagi, siang, dan malam. Hanya kemenanganlah yang akan membawanya kembali pulang ke rumah dan keluarganya tercinta. Namun, sekuat apapun ia menggosokkan kedua matanya, yang terlihat tetaplah tubuh-tubuh para serdadu yang tergeletak tak lagi bernyawa. Dan dirinya menghirup napas seorang diri dengan jantung yang lelah.

Susah payah ia mencoba menggerakkan tubuhnya yang terhimpit oleh tiang listrik yang rubuh menimpa kepalanya. Ia merasakan darahnya menyatu dengan keringat yang mengalir menuruni pipi kanannya. Tentu saja ia harus berterima kasih pada helmnya - yang kini penyok – karena ia terhindar dari gegar otak. Entah apa jadinya bila ia tidak dapat lagi mengingat sesuatu. Tentang masa kecilnya yang indah, tentang kehidupannya yang tenang di pedesaan, tentang dinginnya air merasuki pori-pori kulitnya, dan tentang masa depan yang selalu setia menantinya. Alangkah beruntungnya ia memiliki helm yang cukup kuat walaupun goresan di sekitar dahinya tak berhenti mengeluarkan darah. Aku masih hidup, begitu pikirnya, setidaknya sampai saat ini.

Kemudian ia bersandar pada seonggok daging punggung manusia yang cukup empuk untuk dijadikan bantal. Itu adalah mayat rekannya sesama tentara. Dari struktur tubuhnya dan posisi badannya yang tengkurap menghadap tanah, ia tahu bahwa itu adalah tubuh Hektor yang diterjang oleh belasan peluru. Hektor yang dulu sempat berkelahi dengannya di barak gara-gara permainan kartu yang mereka mainkan, kini diam tak bergerak. Hektor yang perkasa kini telah mati. Ia menolehkan wajahnya ke arah lain, mencoba mengawasi alun-alun pembantaian ini dengan seksama, berusaha untuk mendapatkan harapan lain yang lebih baik, tak peduli sekecil apapun itu. Matanya berpapasan dengan wajah Letnan Simon yang matanya mendelik lebar dengan mulut yang kering terbuka disertai dahinya yang bolong ditembus sebutir peluru besi. Letnan Simon terlihat pucat dengan kedua bola matanya yang keabu-abuan. Ia telah ditinggalkan oleh arwahnya sendirian. Letnan Simon yang bijaksana kini telah mati.

Ia memutar lehernya 180 derajat dengan sangat perlahan. Dari tiap inchi gerakan lehernya ia dengan segera mengenali setiap mayat yang tertidur dengan mengenaskan di sini. Temannya yang lain, Freddo, terlentang di ujung sana di dekat sebuah bangunan rumah sakit yang hancur dengan baju dilumuri darah. Badannya terus-menerus menyemburkan darah merah segar seperti pipa air yang bocor. Leon mati dalam kondisi hangus layaknya kue yang terbakar. Kulitnya menghitam dan tampak sangat mengerikan. Henrik yang malang, ia tak tahu apa-apa, ia anak baru yang datang dari desa untuk terjun ke dalam perang ini demi kecintaan akan tanah airnya, dan sekarang ia harus mati. Semoga Henrik diberi kekuatan untuk melihat dari atas sana kondisi tubuhnya dengan usus-usus terburai berantakan, berceceran di sisi pinggang kecilnya. Dan ia tak bisa menahan kepedihan menyaksikan Ivan yang duduk tanpa daya dengan lengan kirinya yang putus. Sambungan sendinya terlihat menyembul keluar diselimuti darah dan lalat-lalat terbang mengitarinya. Semua orang telah mati. Semuanya yang ia lihat tak lagi bernyawa. Perang ini telah memakan korbannya lagi.

Tak bisa dipungkiri bahwa ia harus menanggung kejamnya pemandangan ini sendirian. Penderitaan yang tidak tertahankan di relung hatinya, terus menekan dirinya dengan kuat. Tentu saja ia sangat menginginkan pertolongan walaupun menurutnya hal seperti ini tak akan bisa disembuhkan oleh siapapun sampai kapanpun. Entah apakah ini memang suatu kebangaan yang diimpikan oleh semua temannya untuk mati dengan terhormat membela negara, karena menurutnya mereka semua seharusnya berhak mendapatkan kematian yang lebih layak dari ini. Ia memang tidak menginginkan dirinya mati di medan perang, tapi ia juga tak ingin hidup sendiri di tengah kematian teman-temannya. Dibayangi ketakutan, ia berdo’a di dalam hati memohon kekuatan pada Tuhan yang telah ia percayai.

“Tuhan, dimanapun Engkau berada, aku mohon berikanlah aku kekuatan. Selamatkan mereka, teman-temanku yang telah mati, semoga mereka mendapatkan tempat terhormat di sisi-Mu.”

Ia setengah berteriak sambil dihujani oleh terik sinar matahari pagi di tengah kota yang mati.

“Berikanlah aku petunjuk akan pertolonganMu, Tuhan, kumohon jangan biarkan aku mati di sini. Aku ingin pulang, aku ingin pulang, bawa aku pulang ke tempatku.”

Kicau burung bernyanyi dari balik gedung-gedung bertingkat. Asap hitam bermekaran ke angkasa tertiup lembutnya angin. Gemeretak suara api menemani tangisannya yang terekam dalam nada yang murung. Dunia ini membisu di hadapannya.

Kesunyian terasa begitu menghantui. Ia begitu resah dibuatnya dan mulai memikirkan untuk memadamkan semangat hidupnya segera. Kepalanya terasa begitu berat akibat rasa pusing dari benturan keras yang ia terima sebelumnya. Sejauh ini ia hanya bisa menggerakkan lehernya, sedangkan anggota badannya yang lain terhimpit oleh tiang listrik yang berkarat.

“Nikolai…itu kamu?” seseorang memanggilnya entah dari mana. “Nikolai?”

“Y-y-ya.”

“Nikolai, itu kamu yang berdo’a tadi?”

“Ya, itu aku. Siapa kamu?”

“Syukurlah, setidaknya kita masih selamat. Ini aku, Henry.”

“Puji Tuhan, Henry, kau masih hidup. Kamu terluka, Henry? Di mana dirimu?”

“Aku tak bisa bergerak. Punggungku tertindih sesuatu, berat sekali. Ini seperti tiang listrik.”

Henry berada tak jauh dari Nikolai, jaraknya terpisah sekitar dua meter. Terdapat tiga mayat yang berjejer yang menghubungkan jarak di antara keduanya. Mereka berdua terjepit oleh tiang listrik yang sama dan masih dinaungi keberuntungan untuk tetap bertahan hidup.

“Apa yang terjadi, Nikolai? Aku tidak ingat apa-apa, tiba-tiba saja aku terbangun dan melihat ini semua. Aku tidak percaya, ini sangat mengerikan. Leon dan Theo telah mati.”

“Ya, Henry semuanya telah mati. Letnan Simon juga. Hanya tinggal kita berdua yang masih tersisa, bertahanlah Henry. Sepertinya kita berdua tertimpa oleh tiang listrik yang rubuh ini dan pingsan.”

“Bagaimana dengan musuh kita?”

“Mereka semua juga mati. Tidak ada yang tersisa. Kota ini benar-benar sunyi.”

“Siapa yang akan menolong kita? Bagaimana kalau musuh tiba-tiba datang?”

“Aku tak tahu, Henry. Kita hanya bisa berharap Tuhan berada di pihak kita. Kepalaku pusing sekali. Aku haus.”

“Sepertinya tulang punggungku retak. Rasanya sakit sekali bila badan ini kugerakkan.”

“Setidaknya kita masih hidup. Kita masih bisa selamat.”

Nikolai menyandarkan lagi kepalanya di atas punggung Hektor. Ia tak dapat melihat sosok Henry yang juga terbaring, hanya suaranya saja yang terdengar yang telah setidaknya sedikit membantu dirinya. Ia senang mengetahui bahwa seorang temannya masih hidup dan ia tidak lagi harus memendam pengalaman horor ini seorang diri. Tapi ia tidak tahu harus berbuat apa selain terus berbaring untuk jam-jam berikutnya menanti pertolongan datang.

“Aku ingin merokok di saat-saat seperti ini”, ujar Henry, “agar aku bisa lebih santai. Aku tak tahan melihat tubuh Leon yang hangus seperti ini, kau tahu dia adalah orang yang sangat baik.”

“Aku tahu. Tapi ini adalah perang. Siapapun bisa mati. Semoga teman-teman kita beristirahat dalam damai di surga.”

“Aku tidak ingin mati, Niko. Bagaimana dengan anakku nanti?”

“Kau masih hidup, Henry. Yang bisa kaulakukan saat ini hanyalah terus bertahan. Aku tahu punggungmu sakit, tapi jangan menyerah.”

“Sampai kapan?”

“Entahlah, mungkin sesaat lagi.”

Mereka berdua menunggu dengan tenang. Nikolai menyadari bahwa mereka sedang mengharapkan sesuatu yang tak pasti. Pertolongan tentunya tidak akan dengan mudahnya turun dari langit dan menghampiri mereka. Namun, apa lagi yang bisa ia lakukan dengan badan yang tak bisa digerakkan? Bila bisa mendapatkan sebungkus rokok, saat ini Nikolai pasti akan satu per satu menghabiskan setiap batang yang ada.

“Niko…aku benci semua ini. Aku benci perang ini. Seharusnya dari awal aku tahu akan seperti ini jadinya.’ Isak tangis terdengar dari tempat Henry berada. ‘Aku tidak mengerti tentang perang ini. Mengapa…kita yang harus melawan mereka? Bukan aku yang berdosa, bukan aku yang menginginkan perang ini, benar ’kan Niko?”

“Sabarlah Henry.”

“Anakku masih kecil. Dia membutuhkan aku saat ini. Aku harus berada di rumah sekarang, seorang ayah yang baik seharusnya berada di rumah mendampingi anaknya dengan baik, bukan di sini!”

“Aku tahu Henry. Tapi ini sudah menjadi tugas kita.”

“Persetan! Aku tak peduli dengan siapa musuh kita. Lihatlah ini, mereka semua mati. Pikirkan bagaimana nasib keluarga yang mereka tinggalkan. Istri mereka. Anak-anak mereka yang masih kecil. Bagaimana juga dengan keluargamu, Niko? Perang ini sia-sia. Satu hal yang bagus mengenai perang adalah ketika itu tidak terjadi. Seharusnya kita tak di sini. Aku benci perang ini!”

“Sudahlah, Henry, jangan habiskan energimu. Aku tahu yang kau rasakan. Kau pikir aku juga tidak memikirkan nasib keluargaku di sana? Aku berdo’a untuk kebaikan mereka tiap hari.”

“Dan kemana perginya do’a-do’a untukmu, Nikolai?”

“Semuanya akan baik-baik saja, Henry. Jangan menangis lagi, bersabarlah.”

“Aku tak tahu, Niko, aku tidak menyukai ini semua.’

Dari kejauhan yang ditebali oleh asap terdengar suara jejak langkah sepatu yang menggema ke langit-langit kota. Suara itu melangkah dengan santai dan cepat menuju ke arah tempat mereka berada. Nikolai berjudi dalam hatinya, apakah ini musuh atau kawan yang akan menolongnya. Namun sosok tersebut belum jua terlihat dan suara langkah kakinya mengisyaratkan bahwa orang ini datang seorang diri. Nikolai mendadak panik.

“Siapa itu, Niko?” Henry berbisik dengan tegang.

“Aku tak tahu. Jangan berisik, Henry.”

“Apa yang harus kulakukan?”

“Berbaring saja di sana. Pura-pura mati. Aku tak tahu siapa yang datang. Tetap tenang.”

Derap langkah sepatu itu semakin mendekat. Nikolai setengah memejamkan matanya, berusaha mencari tahu siapa yang datang, sementara Henry diam tak bersuara. Suara itu perlahan mengeras menggetarkan gendang telinga Nikolai, ia terus meneriakkan do’a-do’a di dalam hatinya.

Dari balik asap kemudian muncullah sosok lelaki dengan kulit putih terang mengenakan setelan jas berwarna hitam yang berjalan dengan gaya yang angkuh. Rambutnya disisir ke belakang dan tertata rapih. Mukanya pun terlihat bersih dan cukup terawat. Ia memakai dasi berwarna merah. Secara keseluruhan, orang ini berpenampilan sangat formal dan jauh dari kesan menakutkan layaknya para musuh-musuh perang. Tetapi Nikolai tidak berani mengasumsikan siapa sebenarnya pria yang datang mendekat itu. Kali ini ia memejakan matanya dengan rapat, mencoba untuk terlihat seperti mayat teman-temannya.

Dari balik kegelapan, Nikolai merasakan pria berjas hitam itu kini sudah berada dekat dengannya. Pria itu berhenti melangkahkan kakinya dan mengambil posisi duduk di atas reruntuhan bangunan yang berserakan lalu menyilangkan kakinya dengan begitu elegan. Detak jantung Nikolai berpacu tak beraturan. Ia semakin penasaran karena pria itu tampak diam saja dan sepertinya sedang memperhatikan dirinya dengan teliti.

“Ah! Kalian berdua menyusahkan aku saja.” Pria itu berteriak. Kali ini Nikolai diliputi lautan kebingungan dan bertanya-tanya dengan siapa lelaki itu berbicara? Apakah ada orang lain yang datang ke sini selain dia?

“Hei, ayo bangun! Aku tahu kalian cuma pura-pura.” Pria itu kembali berteriak lantang. Mata Nikolai masih terpejam, ia semakin berhati-hati dan terus berdo’a. Apakah mungkin pria ini mengawasi dirinya dan Henry dari sejak tadi?

“Ayolah, Henry, Nikolai, buka mata kalian!” Nikolai terhenyak begitu dahsyat, jantungnya seakan naik-turun dengan kecepatan tinggi. Pria tersebut mengenali dirinya dan Henry. Pelan-pelan ia membuka matanya dan langsung menatap ke arah pria itu yang wajahnya tampak begitu bersih dan cenderung mengkilat. Ia tidak tahu siapa sosok lelaki ini, apakah berada di pihaknya ataukah mungkin adalah seorang musuh? Atau mungkin saja dia ini orang yang akan memberikannya pertolongan. Nikolai tampak semakin tegang.

“S-s-s-siapa kamu?” tanya Nikolai dengan gugupnya.

“Aku? Hahaha…Aku adalah malaikat,” ujar pria tadi.

“Siapa itu, Niko?” ujar Henry penuh keingintahuan. Ia tak bisa melihat pria itu karena punggungnya terhimpit tiang listrik.

“Dia ini… malaikat,” jawab Nikolai.

“Kamu serius?” Henry kebingungan.

“Kamu serius?” Nikolai menanyakan pertanyaan yang sama pada pria itu.

“Tentu saja aku serius. Justru kalian yang dari tadi bermain-main, pura-pura mati segala. Aku adalah malaikat penguasa daerah ini. Dan maksud dari kedatanganku ke sini adalah untuk membawa kalian berdua pergi dari tempat ini ke alam lain.”

Nikolai berhenti sejenak. Ia meresapi arti kalimat yang baru saja terucap dari bibir pria itu.

“Apa maksudnya alam lain? Maksudmu akhirat? Jadi, kamu ini malaikat maut? Malaikat pencabut nyawa?” tanya Nikolai lagi dengan tergesa-gesa.

“Terserah kau mau menyebutku apa. Yang jelas tugasku adalah membawa kalian berdua pergi dari sini dengan damai.”

Nikolai terdiam sejenak. Ia menyadari bahwa kematian telah berada di dekatnya. Tak disangka hidupnya akan berakhir sesaat lagi. Diam-diam Henry membiarkan air matanya turun membanjiri wajahnya. Ia harus rela menerima kenyataan ini dengan penuh keikhlasan, karena ia tahu tak akan ada yang bisa menghentikan malaikat maut untuk mencabut nyawanya. Suasana menjadi begitu sunyi, keduanya diam dalam perenungannya masing-masing.

“Tak perlu takut seperti itu. Memangnya apa yang salah? Semua orang pasti akan mati ’kan? Lihat saja, teman-teman kalian, mereka semua sudah mati. Jadi, apa yang perlu dikhawatirkan?”

Henry dan Nikolai tidak menjawab. Mereka kembali diam membisu seperti sebelumnya. Nikolai berusaha untuk tetap tenang dan menyandarkan kepalanya dengan nyaman di atas punggung Hektor, walaupun ia sadar bahwa ia sedang mengalami ketakutan terbesar sepanjang hidupnya. Pikirannya berpencar menyusuri setiap kenangan dari masa-masa hidupnya yang telah lewat. Tanpa terasa semuanya berlangsung dengan begitu cepat. Bayangannya tertuju pada saat-saat indah dalam hidupnya yang lalu bercampur dengan pengalaman-pengalaman buruk yang telah membuat jiwa dan mentalnya semakin kuat dan semuanya menyatu dalam memorinya kini. Hidupnya yang bergelombang itu akan segera menemui garis akhirnya. Dan mau tak mau ia harus siap untuk menjalani kehidupan lain yang baru. Ia terus memikirkan mengenai tanah kelahirannya. Ia bahkan tidak sempat untuk berpamitan kepada kedua orang tuanya di desa.

Malaikat itu menengok ke arah jam tangannya lalu berkata, “Baiklah, semuanya sudah disiapkan. Aku harus memenuhi jadwal. Yang pertama adalah kau Henry,” ujar malaikat itu dengan santainya. Ia lalu bangkit dari duduknya dan melangkah melewati mayat-mayat tentara menuju ke tempat Henry berada.

“Tunggu dulu!” Henry berteriak keras, “Apa maksudnya aku yang pertama? Aku masih kuat untuk bertahan. Aku masih sehat. Tidak mungkin aku mati hanya gara-gara ini. Lagipula, nanti pertolongan akan segera datang, benar ’kan Niko?”

“Ssst jangan berisik!” sang malaikat membalas. “Jangan cengeng, kamu adalah seorang prajurit. Semuanya sudah diatur dengan rapih dan aku harus mengikuti jadwal yang ada. Sebaiknya kau tenang, karena kau tidak akan merasakan apapun.”

“Tapi bagaimana dengan kedua anakku? Mereka masih kecil,” ujar Henry sambil menangis dengan sedih. “Aku tak rela bila harus meninggalkan anak dan istriku begitu saja. Berilah aku kesempatan lagi, kumohon!”

“Aku tahu, tapi tugas adalah tugas. Aku tetap akan melaksanakannya sampai beres.” Sang malaikat lalu mendekatkan telapak tangan kanannya ke atas punggung Henry dan mulai mengucapkan sesuatu.

“Nikolai! Apa yang harus kulakukan?” teriak Henry.

“A-a-a-aku tak tahu, Henry, aku tak tahu. Cobalah untuk berdo’a”

“Aku tak bisa berdo’a, apa yang harus kuucapkan?” Henry menjadi semakin panik.

“Ucapkan saja hal-hal yang baik,” kata Nikolai dengan perasaan iba.

Dari tangan malaikat itu muncullah seberkas cahaya terang yang begitu menyilaukan dan menyinari seluruh isi kota ini. Nikolai hanya bisa melihat dengan pasrah. Cahaya itu mengantarkan arwah Henry terbang ke langit luas dan melesat dengan secepat kilat. Badannya terkulai lemas bersamaan dengan percikan jejak-jejak jiwanya yang menghilang. Kini Henry telah tiada. Ia telah menjadi mayat seperti teman-temannya yang lain. Nikolai mengeluarkan air matanya, ia bersedih melihat satu-satunya teman yang masih tersisa harus pergi untuk selamanya.

“Selamat jalan Henry,” ucapnya seraya tersedu-sedu. Sekarang dirinya hanya tinggal berdua ditemani maut. Sang malaikat berbalik dan berjalan ke arahnya sambil menyunggingkan senyuman pada Nikolai.

“Dia sudah pergi sekarang. Semuanya berjalan lancar,” ucap sang malaikat sementara air mata terus menetes dari kedua mata Nikolai. “Jangan menangis, kau akan segera menyusul.” Malaikat itu kembali melihat jam tangannya lalu kembali duduk, “Kau punya waktu dua menit lagi sebelum lepas landas.”

Perasaan Nikolai mulai bercampur aduk. Ia berusaha keras melawan rasa takutnya dan terus mengucapkan do’a-do’a di dalam hati. Perang telah berakhir dan semuanya telah ditakdirkan untuk mati. Namun, setidaknya ia memiliki sedikit rasa bangga, karena dialah yang mati terakhir, walaupun ia harus menanggung penderitaan di kala harus menyaksikan semua temannya yang telah mati.

“Apa permintaan terakhirmu?”

“Aku ingin merokok.”

“Sayang sekali, aku tidak punya.”

“Mungkin temanku yang lain punya.”

“Hei, aku tak berhak menggeledah satu per satu temanmu. Aku tak punya izin untuk melakukan itu.”

“Aku haus.”

“Kau tidak akan bisa menemukan air minum di sekitar sini.”

“Kalau begitu, apa yang bisa kauberikan padaku?”

“Mmm…entahlah, beberapa nasihat mungkin.”

“Contohnya?”

“Manfaatkanlah sisa hidupmu dengan melakukan hal-hal yang berguna.”

“Sudah terlambat!”

“Oh ya?”

“Mungkin Henry benar, seharusnya kita tidak terlibat dengan perang ini. Seharusnya aku berada di rumah, membantu kedua orang tuaku dan melakukan hal-hal yang berguna lainnya. Aku menyesal ada di sini.”

“Hahahaha, dasar manusia! Selalu menyesali keputusannya sendiri.”

Matahari bergerak perlahan-lahan. Hari sudah mulai siang namun suasana masih tampak sunyi. Burung-burung berhenti bernyanyi dan terbang tinggi menuju arah utara. Lambat laun keringat di wajah Nikolai menguap. Badannya masih terasa sakit dan sulit digerakkan. Rasa pusingnya belum juga sirna. Nikolai berjuang sendirian menghadapi rasa takutnya yang begitu kentara. Sang malaikat terlihat begitu santai sejak tadi. Ia bersiul-siul menyenandungkan irama lagu yang riang. Sesekali ia tersenyum ramah ke arah Nikolai. Detik-detik sedang berlalu memantulkan kegelisahan batin Nikolai berkali-kali.

“Sebentar lagi,” malaikat itu beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Nikolai yang terbaring sejak tadi. Ia duduk di sebelah kanan Nikolai sambil terus memperhatikan jam tangannya. Sebentar lagi waktu Nikolai akan segera habis. Siap atau tidak ia harus merelakan hidupnya berakhir, karena dua menit adalah waktu yang sangat singkat.

“Tak bisakah ini dipercepat? Aku mulai bosan harus menunggu seperti ini.” Nikolai menatap ke langit dengan pandangan kosong melihat jalur yang akan ia tempuh saat arwahnya dicabut nanti.

“Sabar, aku harus melakukan segalanya sesuai dengan jadwal.”

“Apa yang harus kulakukan begitu aku sampai di sana?”

“Mmm…mungkin bersikaplah seperti saat kau hidup.”

“Lalu?”

“Yaa hiduplah seperti biasanya.”

“Apa yang akan aku temui di sana?”

“Orang-orang seperti biasanya.”

“Maksudmu seperti Henry dan yang lainnya? Bukan semacam monster atau peri-peri atau setan atau bidadari atau lainnya?”

“Kamu ini bicara apa? Semuanya akan berjalan seperti biasanya.”

“Aku tidak percaya. Pasti ada sesuatu yang berbeda, kau hanya tidak mau memberitahuku saja ya ’kan?”

“Sebaiknya kamu siap-siap, waktumu sudah tiba.”

Sang malaikat menaruh telapak tangannya di atas perut Nikolai. Ia sedikit menekannya namun tidak terasa sakit, justru Nikolai tidak merasakan apa-apa, syarafnya seakan telah mati rasa. Berkas cahaya kembali muncul dari tangan malaikat itu, kali ini lebih terang dari yang sebelumnya. Perlahan Nikolai merasakan tubuhnya mulai terangkat-angkat dengan lembut seperti benda yang terombang-ambing dipermainkan ombak laut. Dirinya berada di antara dua fase yang sangat aneh bila dirasakan.

Nikolai menggenggam tangan malaikat itu lewat cengkraman lemah tangan kanannya,”Bila ini yang diinginkan Tuhan untuk terjadi padaku, maka biarkanlah semuanya berjalan dengan lancar.”

Mendadak setiap suara yang berada di sekitarnya menjadi sunyi senyap. Lubang telinganya seolah tertambal secara otomatis, karena ia sama sekali tidak dapat mendengarkan apapun. Ia berteriak, namun tidak ada bunyi yang keluar. Badannya bergetar hebat, kulit di tubuhnya tampak berkerut-kerut. Cahaya terang itu mulai merambat menyelimuti dirinya dari atas ke bawah.

Tiba-tiba saja ia menyadari bahwa ia tengah melayang keluar dari tubuh asalnya yang terbaring tak bernyawa. Sekarang ia terperangkap dalam bentuk arwah manusia yang dingin dan ringan. Angin bertiup pelan menembus partikel-partikel tubuhnya yang transparan. Sesuatu menghisapnya dari langit dengan kekuatan mesin penghisap debu. Ia melesat kencang menabrak awan-awan di atas kepalanya. Masa kanak-kanaknya terproyeksikan dalam bentuk mosaik, saat ketika ia sedang berada di puncak sebuah pohon tua yang tinggi, dengan sehelai kain terbentang di punggungya, dan dengan gagahnya ia merentangkan kedua tangannya, ia berteriak bahwa ia akan terbang menuju ke bulan. Dan sekarang yang sedang ia lakukan adalah terbang menuju tempat yang tak terjangkau.

Ia bergerak masuk menuju sebuah lubang besar di atas langit.

***

Lubang itu membawanya ke sebuah tempat di mana ia bisa kembali mendengar suara berisik di sekitarnya dan segalanya tampak seperti langit yang biasa ia lihat di dalam hidupnya. Entah mengapa, kini ia berada di atas langit dan tengah meluncur dengan deras ke bawah. Bukankah tadi ia justru sedang terbang, tapi kenapa sekarang ia seperti sedang jatuh? Hukum gravitasi kembali mengambil alih. Jantungnya seperti sedang naik dan angin memuluskan dirinya yang terjun bebas.

Awan demi awan ia tembus. Kecepatan gerak tubuhnya semakin meningkat. Ia melihat ke bawah dan apa yang ia saksikan adalah kota yang sama seperti ketika dirinya tergeletak tadi. Tempat yang sama di mana teman-temannya dibantai. Dan tempat yang sama di mana ia dicabut nyawanya oleh sang malaikat. Bagai anak panah, ia terus melesat. Tak ada yang mampu memperlambat lajunya. Sampai akhirnya, ia menghujam bumi, menabrak masuk kembali ke dalam tubuhnya yang tergeletak lemah.

Seketika ia terbatuk-batuk. Sekarang ia merasa seperti semula, dengan sakit di badannya dan goresan di dahinya yang cukup dalam. Syaraf-syarafnya kembali bersambungan satu sama lain. Begitupun dengan jantungnya, kini telah berhenti naik-turun. Sinar matahari tepat mengenai wajahnya, menggoda kedua kelopak matanya untuk terbuka.

Dan saat ia membuka matanya, ia mendapati seseorang sedang menekan-nekan perutnya. Ia telah terlepas dari himpitan tiang listrik, badannya tidak lagi sulit untuk digerakkan, namun rasa sakit menyerang dirinya dengan hebat. Ia meringis menahan rasa perihnya lalu orang yang menekan perutnya itu berkata, “Nikolai? Syukurlah! Nikolai kau sudah siuman!”

“H-H-Hek…tor?”

“Letnan Simon! Nikolai sudah siuman!”

“Bagus! Tetap lindungi dia di sana. Tetap waspada di sana Hektor sepertinya musuh coba mengepung kita. Telepon perbatasan! Kita membutuhkan setidaknya 3 pleton tambahan!” Letnan Simon berteriak sambil merunduk di tengah dentuman suara bom dan letupan senjata api yang melatarbelakangi suasana di kota ini. Hektor meraih senjatanya dan berlindung mencoba menghindari peluru yang berdesing kencang. Sesekali ia mengintip keluar dan menembakkan senjatanya ke arah musuh.

“Tetap berbaring Nikolai, kau akan segera diobati.”

Nikolai hanya menatap Hektor. Ia heran karena kawannya masih dalam keadaan bugar dan hidup. Begitu juga dengan Letnan Simon yang tampak begitu bersemangatnya di seberang sana. Api berkobaran di mana-mana. Suara gaduh menggema di telinganya. Perang masih berlangsung. Semuanya masih hidup, dan perang belum berakhir.

Dirinya telah kembali berada di dunianya, di alam di mana seharusnya ia berada, yaitu kenyataan. Perang adalah hidupnya dan ia harus menjalaninya sampai benar-benar selesai. Nikolai mencoba untuk mengambil posisi duduk. Di tengah usahanya itu secara tak sengaja ia berpapasan mata dengan Henry yang juga tengah terbaring tak jauh dari tempatnya. Keduanya saling berpandangan. Kemudian Henry menyunggingkan senyum ke arahnya, dan Nikolai membalasnya dengan kedipan mata.

by;arki atsema

pahlawan khayalan

Merekalah pahlawan dunia khayalan
Melawan segenap kejahatan yang ada
Tak peduli luka yang selalu menyerangnya

Aku tahu mereka tak nyata
Tapi, bagiku, mereka nyata seutuhnya di buku
Menuruti kemauan si pengarang
Walau sesakit apapun

Aku ingin tahu………
Bagaimana rasanya bila dunia tergantung padamu
Bagaimana rasanya bila ribuan nyawa berada pada genggamanmu
Bagaimana kejahatan bisa punah dengan adanya kamu
Semua orang menganggapmu pintar, jenius, pemberani
Semua memandang tinggi padamu, memujamu, dan tunduk padamu

Tapi… apalah dirimu bagimu
Kau anggap dirimu kain polos, rendah, tak berguna, bodoh
Karena begitulah kamu
Yang berhasil karena setiap orang disampingmu membantu
Bantuan besar yang tak mungkin kau selesaikan sendiri
Tanpa menyadari, bahwa bantuan itu datang dalam dirimu sendiri

Hati mereka, para pahlawan, kacau
Melihat keluarga mereka dibunuh
Melihat rumah mereka dirampas
Melihat ribuan orang berjatuhan

Bagaimana bila itu terjadi padamu?

Kau harus bertindak
Kau tidak boleh tinggal diam
Melawan segala rayuan para kejahatan
Membimbing mereka yang lemah
Dan kau akan bertanya dan berteriak
KENAPA HARUS AKU……..?

Kewajiban merekalah untuk menolong kebaikan
Karena itulah sebab mereka diciptakan
Mereka rela meninggalkan desa mereka yang aman
Demi menghapus kejahatan.


by;erri

bulan untuk kekasih

Maya yang kukasihi,

kutulis surat ini pagi segera setelah mataku terbuka. Semalam memang melelahkan. Semoga Tuhan berkenan atas apa yang telah aku lakukan. Kupastikan kau melihat bulan saat kau buka amplop surat ini. Sentuhlah dia. Rasakan hangatnya.

Maya yang kudambakan,

kuharap kau mau mendengarkan sedikit kisah-kisahku. Kupikir aku terlalu mengabaikanmu. Aku berani bertaruh kau merasa kesepian di saat ini, saat kujauh darimu. Itulah yang selalu memenuhi kepalaku. Lembaran-lembaran kata-kata yang saban waktu kukirim padamu tak akan cukup menghapus rindumu. Begitu juga diriku, tak cukup puas hanya membaca kata-kata balasan yang kau tulis.

Jadilah aku merenung semalam dan bulan menemaniku. Aku di sana sendiri namun aku tidak merasa sendiri. Aku tahu jawabannya, bulanlah yang membuat rasa sepi menghilang sirna. Kuputuskan untuk mengirimkan sebuah bulan khusus untukmu agar rasa sepi yang ada di hatimu ditepisnya. Namun bukankah bulan bisa dilihat setiap orang, bahkan yang ada di pelosok negeri sana? Mungkin saja tadi malam kau melihat bulan. Masalahnya adalah tidak setiap malam bulan akan hadir untukmu. Ada kalanya ia tertutup mega-mega mendung atau memang bukan tanggalnya untuk bersinar dan kutakut hatimu kembali terkoyak rindu di saat-saat itu. Karena bulan macam ini tidak dijual di toko-toko bahkan mall, maka aku harus mengambil sendiri dari tempatnya.

Saat itu bulan masih berbentuk sepotong. Kutunggu ia merangkak ke barat dan berbentuk bulat sempurna sampai tengah malam. Bagaimana cara aku mengambil bulan? Itu teramat sangat sulit, juga mudah. Malam itu aku menaiki atap rumahku lalu menjulurkan tanganku. Ternyata tidak semudah itu, ini masih kurang. Aku harus berada di tempat yang lebih tinggi dari ini. Akhirnya kupanjat pohon kelapa yang paling tinggi di kampungku. Angin semilir malam menusuk dingin namun itu tak cukup kuat menggoyahkan niatku. Tetapi dalam ketinggian itu pun tetap tak tersentuh, bahkan dengan galah super panjang yang turut kubawa memanjat.

Maya penyejukku,

aku tak menyerah. Kukeluarkan sepeda ontel-ku dan mengayuhnya ke kota. Di sana ada gedung bank swasta yang berdiri kokoh. Tingginya sekitar sepuluh kali pohon kelapa tertinggi di kampungku. Mungkin cukup. Setelah membayar administrasi gelap kepada satpam yang sedang berjaga agar aku bisa masuk, aku menggenjot otot menaiki tangga yang berputar-putar—lift tidak bisa dipakai di luar jam kerja. Angin di atas sana jauh lebih dingin, lebih keras, dan lebih banyak polusi, aku tetap tak gentar.

Yang kulihat adalah, tidak ada bedanya aku berdiri di atas gedung itu atau pun aku berdiri di tanah lapang yang lebih rendah dari lantai rumahku, bulan itu tetap sangat tinggi. Aku tidak melihat adanya perubahan.

Akhirnya aku pulang dengan peluh keringat dingin. Apakah aku menyerah? Atas nama cinta tentu saja tidak. Kalau ya, ceritanya hanya sampai di sini.

Sesampai di rumah kubuka ensiklopediaku yang paling tebal, mencari daftar menara-menara paling tinggi di dunia. Eiffel menarik perhatianku. Bukankah dulu kita berdua pernah merencanakan untuk berbulan madu di tempat-tempat fantastis di dunia? Menara megah ini adalah salah satunya, ingat? Memang, menara ini tidak lebih tinggi dibanding gedung pencakar langit yang terkenal lainnya namun pastinya berkali-kali lipat lebih tinggi dari pada gedung bank tadi. Kupikir itu sudah cukup

Saat itu juga aku memesan tiket penerbangan namun teller maskapainya bilang tidak ada pesawat lepas landas selarut ini. Akhirnya aku menyewa secara pribadi sebuah pesawat kecil canggih beserta pilotnya. Kami lepas landas.

Pesawat sewaan ini punya sistem anti radar. Jadi, masa bodoh dengan peraturan penerbangan Eropa yang bilang pesawat Indonesia tidak boleh terbang di atasnya. Aku akan aman-aman saja. Terlintas dalam benakku untuk membuka pintu pesawat lalu mengambil bulan. Namun si pilot bilang hal itu berbahaya. Kuurungkan niatku.

Ternyata pesawat ini sangat nyaman. Yang menyenangkan adalah pilotnya sangat supel. Ia membuat perjalanan itu tidak membosankan. Ia tanya untuk apa aku ke Paris. Kubilang ingin ke Louvre, museum seni termegah di dunia. Ternyata ia pernah ke sana dan menawarkan diri untuk menemaniku. Aku menolak.

Maya yang baik,

pendek kata, kami mendarat secara ilegal di areal pertanian di luar kota. Aku menyewa sedan tua dari seorang petani bule gemuk yang tinggal di sana, bahasa Indonesianya payah. Sedan ini sulit digunakan, kemudinya ada di sebelah kiri. Meski sulit, aku sampai di Paris, kota yang mengagumkan. Tidak ada sampah, apalagi pemulung. Menara itu bisa dilihat dari sudut mana pun di kota ini, begitu juga dengan bulan kuning terang di langit. Aku berlari di sepanjang jalan menuju menara itu, tak peduli bule-bule yang tinggi itu memelototiku.

Menara Eiffel menjulang tinggi, jauh lebih mengagumkan dari pada kota Paris tempatnya bercokol. Aku tak sabar mengajakmu ke sini. Aku menatap ke atas berusaha melihat puncaknya namun hanya tampak kehitaman bercampur dengan langit. Pasti di atas sana banyak kabut. Aku berlari menuju loket tempat mendaftar untuk bisa naik ke atas. Ternyata sudah tutup. Kuutarakan maksudku pada seorang pria yang berdiri di dekat loket itu tetapi ia tak mengerti bahasa Indonesia. Lalu kupakai bahasa Inggrisku yang berantakan. Orang itu masih geleng-geleng. Karena kesal aku menggunakan bahasa Jawa, akhirnya orang itu mengomel dengan bahasanya sendiri dan beranjak pergi.

Bukan diriku jika berputus asa sesampai di sini. Berbekal keahlian memanjat kelapa di kampung, aku memanjat menara megah ini. Besi-besi yang membentuk menara ini sangat dingin, membuat telapak tanganku mati rasa. Semua menjadi dingin. Hanya rasa cinta kepadamu-lah yang membuat tubuhku tetap terasa hangat. Bulan masih di sana. Tergantung angkuh, tapi aku pasti akan merenggutnya.

Maya yang sayangi,

alhasil, sampailah aku di atas sana. Agak susah bernafas di sini. Yang membuatku terkejut adalah bulan masih sama tingginya seperti sebelum aku memanjat menara ini. Seketika tubuhku lemas total. Aku berbaring di sana. Tak ada tenaga lagi untuk maksud ini. Aku sudah putus asa.

Waktu itu aku meminta maaf padamu karena tak bisa mencarikan penghilang sepi untukmu. Meminta maaf betapa bodohnya aku mengambil bulan hanya untuk kepentingan cintaku sendiri. Aku sampai menangis. Angin malam dengan cepat menghapus air mataku, seolah bilang lelaki tidak boleh menangis.

Aku tersentak kaget ketika ponselku bergetar keras. Ternyata dari si pilot, menanyakan kabarku. Dia tanya bagaimana lukisan-lukisan di Louvre. Kubilang kalau aku belum ke sana, Louvre sudah tutup.

“Bagaimana di atas sana?” tanyanya

Aku tersentak lagi. Bagaimana dia tahu? Dia bilang dia mengikutiku. Dia ada di bawah. Aku merangkak ke pinggir dan menoleh ke bawah. Tentu saja aku tidak bisa melihatnya sebagaimana aku tidak bisa melihat puncak menara ketika di bawah.

“Mau ambil bulan, eh?” tanyanya lagi.

Aku tersentak untuk ketiga kalinya. Rupanya ia serba tahu.

Maya yang kucintai,

tidak menyesal aku menyewa pilot macam dia, sangat profesional. Dia banyak menasehatiku. Ternyata mengambil bulan dari langit sama mudahnya mengambil ponsel dari kantung celanaku sendiri. Seharusnya aku bisa mengambil bulan dari jendela kamarku, bukan di sini. Aku masih berbaring di sana menghadap langit, mendengarkan si pilot.

Aku mengulurkan tangan ke atas. Kuhilangkan segala emosi negatif, kukeluarkan segala hasrat cintaku padamu, kemauan, ambisi, bahkan khayalanku. Akhirnya tanganku menyentuh bulan. Rasa hangat menguasai tanganku, menjalar ke seluruh tubuh. Membuat senyum tersungging di wajahku. Kubiarkan diriku menyerap sinar kebahagian bulan. Semua begitu indah.

Tiba-tiba si pilot berteriak dari ponselku.

“Saya ditangkap polisi. Go on without me!”

Aku terkejut bukan main. Kami orang ilegal di sini, penyelundup, pelanggar peraturan penerbangan, dan pencuri bulan milik masyarakat dunia. Ada satu peleton DCPJ—Direction Cepurtale Police Judiciaire—FBI-nya Prancis, menunggu di bawah sana. Bisa kudengar suara sirine bersaut-sautan. Kurenggut dan genggam bulan. Rupanya ia sangat fleksibel, berubah ukuran semau penyentuhnya. Waktu itu ia seukuran bola kasti—kalau kau mau, tekan bulan itu sampai sebesar kelereng. Setelah memastikan bulan aman dalam kantungku. Aku bergegas menuruni besi-besi yang tak lagi dingin untukku. Lewat keberuntungan satu banding seribu aku berhasil menghampiri sedanku dan meluncur pergi diikuti para polisi profesional di belakangku. Aku bermain kejar-kejaran bak dalam film Hollywood. Semua terasa mimpi dan berjalan begitu cepat.

Maya yang cantik,

tak usah kuceritakan bagaimana mobil-mobil polisi Prancis itu dibuat meledak oleh orang Indonesia macam aku. Yang jelas aku selamat tanpa cacat, berhasil lepas landas pulang ke negeriku. Lalu kembali ke rumahku, ke kamarku.

Aku duduk menggigil dan kelelahan, kemudian kukeluarkan bola bulan dari kantungku. Seketika aku teringat si pilot. Aku meminta maaf sebesar-besarnya karena tidak menyelamatkannya juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuannya.

Maya yang kurindukan,

dari semua yang kualami semalaman. Aku jadi tahu, perasaan cintalah kekuatan yang paling kuat yang ada di dunia. Dengan cinta semuanya jadi mungkin. Cinta menimbulkan emosi positif lain yang berperan besar mengendalikan tindakan kita yang selalu berhasil. Dalam hal ini, dirimulah yang membuatku bisa melakukan apa saja. Dirimulah yang mengendalikanku. Dirimulah cinta itu—bagi diriku. Terserah orang lain bilang gombal, ini kata hatiku sungguhan.

Maya kekasihku,

semoga bulan ini cukup untuk menghapuskan sepi dan rindumu hingga kita kembali bersua—mungkin tahun depan. Bila aku tiada lebih dulu dariku, kenanglah bulan itu sebagai diriku. Kalau kau mau—aku akan bersedih—kau bisa kembalikan bulan itu kembali pada tempatnya agar bisa dilihat milyaran manusia di bumi. Mungkin pula kau ambil kembali kalau kau bisa, dengan cinta tentunya. Satu hal lagi, kita tidak akan berbulan madu di Paris, pastinya aku sudah jadi buronan.



by;piko aguno

semua bayi tidur disini

Biasanya, di tempat pembuangan sampah seperti ini, dimana bungkus kemasan dan sisa makanan menggunung disertai bau yang menyengat, suara-suara yang terdengar hanyalah suara hewan liar seperti anjing yang sedang mengeruk makananannya yang terkubur. Ada pula suara kaleng-kaleng yang bergemerincing dan bergelindingan karena tertiup angin malam. Dan tak jarang pula kepakan sayap kelelawar yang melintas dengan gesitnya memecah kesunyian yang kental. Tapi malam ini lain, karena di antara lautan sampah ini sayup-sayup terdengar suara tangis seseorang. Bukan seperti suara manusia yang telah akrab di telinga para hewan liar itu, tapi ini adalah suara tangisan yang nyaring, tanpa daya, dan tersendat-sendat, persis seperti bayi yang sedang menangis. Karena memang malam ini, di tempat pembuangan sampah ada seorang bayi yang merengek kehausan.

Dengan suaranya yang keras diiringi oleh nada-nada kepolosan yang tinggi, bayi itu menangis dan menancapkan eksistensinya di lingkungannya yang baru. Ketika langit berubah menjadi kanvas hitam dengan bintik-bintik bintang dan cipratan warna pudar biru laut, anak manusia yang lemah itu justru terbaring di antara rongsokan tak berharga yang selalu mengundang segerombolan lalat kotor untuk datang. Ia seperti tak lelahnya menangis entah kepada siapa. Mungkin ia sedang menangis untuk angin atas hawa yang menyelimutinya dan bau yang terbawa masuk ke hidungnya. Mungkin pula ia menangis untuk pohon-pohon besar di sekitarnya atas gemerisik dedaunan yang besentuhan dan bising yang menakutkannya. Atau mungkin saja ia menangis karena menyadari takdir dirinya sebagai buah cinta yang tak diinginkan oleh siapapun yang terlanjur meluncur ke muka bumi ini.

Botol susu yang dari tadi bergerak-gerak itu mungkin adalah jawaban tangisnya yang paling benar. Tepat di sebelah kiri bayi yang menangis itu, rupanya ada bayi lain yang sedang menikmati malam lewat botol plastiknya. Entah siapa dari mereka berdua yang pertama kali datang ke tempat ini, yang jelas mereka baru datang malam ini. Namun perlahan keduanya mulai menyadari kehadirannya satu sama lain, lewat cara yang hanya dimengerti oleh kaum bayi walau mereka sama sekali tak mengerti apa yang sedang terjadi dan untuk apa mereka berada di sini.

Bayi yang pertama hanya bisa menangis. Ia merasakan kerongkongannya yang kering dan ia sangat membutuhkan air namun ia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Seingatnya, sebelum malam ini, ketika ia terbiasa dengan menangis keras, dalam hitungan detik ia sudah menelan cairan susu dengan lahapnya. Ketika haus maupun lapar, dengan menangis ia mendapatkan apa yang ia mau dengan mudah. Tapi malam ini bukan seperti malam-malam lain yang telah ia lewati. Ia tidak menyadari bahwa kini ia adalah seorang manusia yang sendiri di tempat di mana susu tidak akan datang dengan sendirinya ketika ia menangis.

Bayi yang kedua tampak sibuk dengan botol susunya. Ia masih terlalu muda untuk peduli terhadap hal lain di luar dirinya termasuk suara tangis yang berasal dari sebelahnya. Ia terlihat begitu tenang dan damai. Kedua matanya setengah terpejam seakan tak kuasa menahan kenikmatan yang melenakan yang mengandung kalsium dan kaya vitamin. Tubuhnya lebih mungil dari bayi yang pertama. Kepalanya dilindungi oleh penutup kepala biru muda yang lembut sementara tubuhnya dibalut oleh selimut halus disertai baju hangat yang nyaman dan ia berbaring di dalam keranjang yang dibeli dari toko perlengkapan bayi. Kulitnya lebih halus, mukanya lebih segar terpancar, dan pipinya tampak lebih menyembul. Tapi bagaimanapun juga ia berada di tempat yang sama dengan bayi pertama, sehingga perbedaan-perbedaan tadi hanya muncul sementara untuk kemudian memudar kembali.

***

Malam telah beranjak larut. Air susu telah ditelan oleh bayi kedua sekitar seperempat botol sedangkan bayi pertama masih menangis setelah kira-kira seperempat jam berlalu. Kelelawar satu persatu muncul di langit, mendarat di antara tumpukan sampah untuk menggigit apa yang ingin mereka gigit. Binatang malam kini bangun dari tidurnya untuk mencari makan. Keadaan tak berubah, hanya saja bayi pertama mulai kelelahan dan mengecilkan suara tangisnya serta dinginnya udara semakin menyengat. Misteri masih berkeliaran di dalam benak bayi pertama mengenai apa yang ia butuhkan hingga ia menangis seperti ini. Ia mulai resah karena lalat-lalat kini mendatangi dan mencicipi kulit mudanya berkali-kali.

Tak lama kemudian, ia berkeringat, ia merasakan badannya seperti terbakar. Hawa hangat menguasai dirinya seiring dengan rembesan keringat yang menembus pori-pori kepalanya. Dadanya terlihat bagaikan ombak besar yang bergerak naik meninggalkan bumi lalu turun melepaskan semuanya dalam gerak lambat yang tenang. Seseorang seperti sedang memaksa untuk merangkak keluar dari dalam tubuhnya ketika dadanya naik untuk menghirup napas. Tangan kecilnya mengepal, bergerak-gerak dan meninju udara sepoi-sepoi yang membangkitkan syaraf perasanya yang juga masih hijau dan baru. Sesekali ia menendang-nendangkan kakinya berharap pada kekuatan kecil yang ia miliki walaupun semuanya tak ada yang berubah selain dari rasa hausnya yang kini ditemani oleh sahabat karibnya, yaitu rasa lapar.

Bayi kedua kini terlelap. Perutnya telah kembung terisi, dan dengan lemas ia melepaskan pegangannya terhadap botol susu yang berguling-guling menjauhi dirinya. Alam mimpi telah menarik tubuhnya ke tempat yang jauh dan tak tergapai, meremas indera kesadarannya sampai kering, serta menyamarkan kenyataan yang ia miliki dengan sebuah fatamorgana yang terlalu menyenangkan untuk dilewatkan. Betapa gerak kelopak matanya saat pertama kali menutup mempertontonkan sikap ketidakpedulian yang anggun dan pada saat bersamaan, rasa pasrah yang tanpa dosa. Tidak ada yang mengganggunya lagi sekarang, walau malam telah semakin gelap, udara dingin semakin hebat, dan jerit tangis yang semakin tak tertahan.

Kedamaian nampak makin menjauh. Samar-samar, bayi pertama menyelami ketidaknyamanan dalam bentuk tubuh kecilnya. Suaranya mulai serak dan beranjak menghilang, mungkin pita suaranya kini telah kempis. Ia berhasil mengusir lalat-lalat lewat gerakan-gerakannya yang memercik sebagai ekspresi pemberontakan pertamanya terhadap para pengganggunya, terhadap apa yang ia hadapi, dan bisa jadi, terhadap hidupnya.

Angin lalu berhembus kencang, seakan ditiupkan oleh raksasa, menghempaskan lalat-lalat di udara, menggerakkan kaleng-kaleng bekas, menerbangkan serpihan kertas dan plastik ringan. Seisi tempat pembuangan itu berhamburan kesana-kemari. Hawa dingin tentunya menjadi semakin pekat dan menyerang bayi pertama tanpa ampun, atau mungkin bayi kedua juga ikut merasakannya walaupun ia tidak bereaksi terlalu banyak. Hanya bayi pertama yang menggigil, merapatkan kedua tangannya dan mendekap tubuhnya sendiri. Lewat intuisinya, ia menutup kedua mata dan berhenti menangis. Tak ada yang lebih jauh bisa ia perbuat terhadap udara dingin. Jadi, ia hanya diam dan bersembunyi di balik matanya.

Rambut-rambut tipisnya masih terangkat oleh angin yang melintas. Lambat laun, kecepatan angin itu semakin berkurang. Anjing-anjing saling menyalak, saling menyahut satu sama lain dengan nada yang berbeda-beda. Kebisingan ini membuat rasa takutnya memuncak dan hampir melumat rasa haus dan laparnya. Ia berlindung dalam kegelapan, seperti saat-saat ketika ia berada di dalam tempat hangat dan sempit yang dinamakan perut manusia. Angin kencang itu berlalu, menyisakan ekornya yang tipis. Ia pun membuka kedua matanya dengan hati-hati.

Tidak terlalu banyak perubahan. Ia melihat tempat yang serupa, kesunyian yang sama, dan perasaan kosong yang menghantui. Ia masih harus menjalani kenyataan hidupnya lagi. Namun, rasa dahaga dan laparnya itu seakan sirna sementara. Sesuatu telah menarik perhatian kedua matanya, sehingga ia lupa akan penderitaan yang tadi bersamanya. Ditemani oleh hawa dingin yang keluar masuk merayapi tubuh, ia memandangi dengan paras polos dan bibir tipis mengatup, sesosok wanita dengan jubah putih kusut, tersenyum dari balik rambut panjangnya yang menggantung di sekitar wajah.

Mereka saling bertatap muka. Sang bayi diliputi oleh rasa keheranan yang diikuti dengan sikap diamnya. Bola matanya bergerak-gerak, ia mengawasi dan mengamati seakan ini pengalaman pertamanya melihat sesuatu. Walaupun samar, tetapi ia menangkap kesan tak biasa dari tamunya ini, sesuatu yang sebelumnya tak pernah ia temui dalam hidupnya yang masih singkat.

Wanita itu berwajah putih keabu-abuan. Sekeliling tubuhnya sedikit memancarkan sinar yang pendek dan redup. Ia tersenyum dan terus tersenyum sementara matanya tak beranjak dari si bayi dan sesekali ia memainkan rambutnya yang menjuntai. Ada garis hitam di bawak kedua matanya, sepertinya ia sedang terserang semacam demam. Bersama bayi pertama, mereka berdua menyatu dalam bentuk kesunyian yang lain.

Tiba-tiba, dalam sekejap mata, wanita itu menghilang. Ia pergi begitu saja tanpa jejak. Bayi pertama menggerakkan lehernya, matanya mencari-cari dalam kegelapan malam. Wajahnya memahatkan kebingungan sementara air liurnya menetes melewati dagunya. Setelah merasa yakin bahwa pencariannya sia-sia, ia kembali mengistirahatkan lehernya dengan tenang. Ia berbaring lagi menatap langit dan mungkin, ia juga melamun. Betapa bintang-bintang terlihat berhamburan dan bersinar terang mengitari bulan purnama di malam ini.

Di tengah imajinasinya yang melambung, wanita itu muncul kembali sekitar 10 cm di depan mukanya. Bola mata mereka saling berhadap-hadapan, dan wanita itu kembali menyunggingkan senyumnya. Awalnya bayi pertama terkejut. Ia tak habis pikir wanita itu akan kembali dan muncul tepat di depan mukanya di saat sedang menikmati pemandangan di langit. Ini kali pertama ia mendapatkan kejutan di mana hentakan jantungnya begitu kentara ia rasakan. Namun, tak beberapa lama, setelah ia menyadari kembali kehadiran wanita itu, bayi pertama membalas senyumannya. Kali ini ia tertawa kecil, memperlihatkan barisan giginya yang belum tumbuh, lalu mengeluarkan suara tawa khas bayi yang menyejukkan di telinga. Ia menanggapi kejutan tersebut sebagai hal yang menurutnya sangat lucu. Tangannya membentang, ia berusaha menggapai wajah wanita itu untuk sekedar menyentuhnya, tapi wanita itu menjauh tiap kali jemari mungilnya hendak mengenai wajahnya. Sang bayi tertawa lagi seakan ia telah melupakan tangisannya tadi.

Sambil memainkan bibir tipisnya, bayi pertama mencoba berbicara pada wanita misterius itu. Tapi yang keluar dari mulutnya lagi-lagi adalah gelembung liurnya yang meletus saat menyentuh dagunya. Wanita itu hanya tersenyum menyaksikan tingkah lakunya, lalu ia kembali menghilang. Sang bayi tak sempat menangkap ke mana kiranya wanita itu pergi, karena ia selalu menghilang dengan cepat.

Adegan yang sama terulang kembali. Bayi pertama sibuk mencari-cari wanita itu. Ia menggerakkan semua organ geraknya seolah-olah ia sedang mencoba untuk berdiri, namun yang dapat ia lakukan hanyalah menolehkan lehernya ke setiap arah yang ia kuasai. Hasilnya tetap saja nihil. Tak ada tanda-tanda kemunculan wanita itu yang dapat ia tangkap.

Matanya memandang ke depan, ke arah barisan pepohonan rimbun yang bergoyang-goyang oleh embusan angin. Daun-daunnya saling bergesekan dan terus menimbulkan suara. Dari tanah yang kering, tiba-tiba saja wanita itu menyeruak ke permukaan. Pertama-tama wajahnya yang ditutupi rambut muncul. Lalu, lambat-laun seluruh badannya muncul sampai pada keadaan utuh seperti semula. Bercampur oleh rasa takjub dan terkejut sang bayi pertama merasa sangat terhibur. Ia kembali tertawa bahkan hingga terbahak-bahak dan tersedak oleh tawanya sendiri. Ini pertama kalinya ia melihat seseorang muncul dari dalam tanah dan menurutnya, itu sangat lucu.

Seperti biasa, wanita itu kembali tersenyum. Ia menikmati tawa terbahak-bahak sang bayi seolah ia baru saja melakukan suatu hal yang berarti. Dari wajahnya terpancar gurat-gurat kerinduan dan kasih sayang yang tulus. Wanita itu seperti menemukan kembali sesuatu yang telah lama menghilang dari hidupnya, sesuatu yang telah lama kabur dari kedua matanya. Ia melambaikan tangan kanannya ke arah sang bayi. Dengan lembut, pergelangan tangannya bergoyang ke kiri dan kanan. Semakin lama gerakannya bertambah cepat. Sampai pada akhirnya, pergelangan tangannya putus dan jatuh ke bumi.

Bayi itu tertawa lepas. Lalu, dengan tangan kirinya, wanita itu mencabut kepalanya sendiri dengan cara menarik rambut panjangnya. Bayi pertama terdiam sejenak, kemudian ia kembali tertawa. Pertunjukan tidak berhenti, wanita itu melepaskan kaki kanannya dan kaki kirinya, dan terakhir tangan kirinya memisahkan diri dari badannya. Dan kini, wanita itu tinggal potongan tubuh yang tergeletak di tanah. Tentu saja, sang bayi tak henti-hentinya tertawa.

Tak lama kemudian potongan-potongan tubuh itu terbang, tercerai berai ke berbagai arah dan menjauhi sang bayi, sampai akhirnya menghilang dari pandangan. Bayi itu tertawa karena menurutnya itu sangat lucu. Ia terus tertawa sampai puas, hingga ketika ia berhenti, ia baru menyadari bahwa wanita itu menghilang untuk yang ketiga kalinya. Dan ia tahu ia tak bisa berbuat apa-apa dalam keadaan seperti ini.

Ia hanya menunggu. Wanita itu menghilang lebih lama dari yang sebelumnya. Ia mulai bosan dan merasa kesal dan kesepian karena di dalam hatinya, timbul perasaan betah di saat ia bertemu wanita itu. Sesuatu dari dalam diri mereka berdua seperti telah terhubung satu sama lain. Ia membuka mulutnya dan menguap dengan lebar.

Angin kembali bertiup, kali ini lebih kencang dan membawa serta udara dingin dalam jumlah tiga kali lipat. Mulut bayi pertama bergetar dalam gigilan yang kuat. Kulit-kulitnya bersentuhan dengan udara yang melesat dan terasa sampai ke dalam tubuhnya. Ia kembali menutup kedua matanya dan rasa kantuk mulai merayapi dirinya pelan-pelan. Malam telah larut dan mulai menunjukkan tanda-tanda datangnya pagi dalam beberapa jam ke depan.

***

Wanita itu kembali! Ia membuka matanya dan menemukan wanita itu telah berada di hadapannya lagi. Bayi pertama tersenyum lega lalu mengeluarkan sedikit tawanya, ia berusaha mengatakan bahwa ia merasa senang melihat wanita itu. Namun, kali ini wanita itu tidak datang sendirian, ia bersama dengan beberapa orang yang berbaris di belakangnya. Sayup-sayup terdengar kerumunan itu berbicara dan berbisik pelan. ”Untung wanita gila itu menemukan kita, kalau tidak kita tersesat dan terlambat datang untuk pertunjukan berikutnya.”

”Sudah kubilang kita tidak bisa mempercayakan arwah pelacur itu sebagai penunjuk jalan kita.”

”Dia yang mengundang kita. Sudahlah! Bayangkan saja ketika kita sampai ke tempat mereka di mana kita akan dikelilingi oleh para wanita cantik dan seksi. Mmmmhh…!!”

Tentu saja bayi pertama tidak memahami sepatah katapun yang terdengar di telinganya itu. Pada posisi terbaringnya kini, ia bahkan tidak bisa melihat dan memastikan siapa sosok yang tengah berbicara barusan. Ia hanya diam dengan mimik muka polosnya dan memandangi wanita itu yang berdiri di dekatnya dalam kondisi tubuh normal.

Wanita itu lalu mengarahkan telunjuk kanannya ke depan. Ia menoleh ke arah rombongan yang berbaris di belakangnya, dan berkata, ”Lurus saja ke depan. Kalian duluan saja, biar aku belakangan.”

”Ya, ya, tapi jangan sampai tersesat lagi. Kita tak mau terlambat datang”, seru sebuah suara dari ujung belakang.

Maka diikuti dengan hembusan angin rombongan itu berjalan satu per satu melewati bayi pertama. Mereka semua tampak begitu putih dan dikelilingi oleh sinar-sinar yang redup. Mereka berjalan tanpa diiringi bunyi-bunyian, tidak ada suara kaki yang melangkah menginjak tanah, mereka hanya berlalu seolah sedang melayang. Bayi pertama merasakan gigilan dingin tiap kali orang-orang itu melintas. Dari matanya, ia memandangi mereka dengan bentuk ketakjuban yang berbeda-beda.

Dan dimulailah sebuah rangkaian parade absurditas. Yang pertama kali melewati bayi itu adalah seorang anak berusia kira-kira 8 tahun dengan ukuran batok kepala yang besar. Besarnya kira-kira setara dengan tiga kali buah semangka. Ia memainkan bola matanya dan menjulurkan lidah ke arah bayi pertama dan bayi pertama pun tertawa.

Di belakangnya muncul seorang dewasa dengan badan yang dililit oleh lembaran kain putih keruh dari ujung rambut hingga ujung kuku kakinya. Yang terlihat hanyalah matanya saja yang tampak besar dan menyeramkan dengan bola matanya yang berwarna kehijauan tengah memelototi bayi pertama saat ia melewatinya. Orang inilah yang kelak apabila bayi pertama sempat membaca buku mengenai kebudayaan dunia, maka ia akan memanggilnya mumi. Walaupun ia terlihat begitu angkuh dan tidak peduli, namun penampilannya tetap mengundang bayi pertama untuk mengeluarkan tawanya.

Kemudian setelahnya, datanglah seekor kambing yang memiliki dua buah kepala. Keduanya mengembik dengan nada yang berbeda, yang satu mengambil nada do rendah sedangkan yang lainnya mengambil nada do tinggi. Awalnya bayi pertama sedikit ketakutan, namun saat mendengar mereka mengembik dengan suara yang berlainan, akhirnya ia tertawa juga. Tidak hanya itu, kambing tersebut juga masing-masing memiliki janggut yang panjang hingga menyentuh tanah dan saat berjalan janggut itu selalu terinjak oleh kaki-kakinya sehingga kambing itu selalu mengembik karena kesakitan. Kali ini bayi itu tertawa terbahak-bahak hingga tersedak.

Ada seorang kakek tua dengan keriput yang banyak luar biasa dan kedua matanya hampir tertutup oleh kelopaknya yang terlihat lembek sehingga hanya menyisakan bagian putih saja. Ia berjalan sedikit membungkuk dengan ukuran tubuhnya yang cukup kecil sekitar 30-40 cm. Tangan kanannnya menggenggam tongkat kayu yang lebih tinggi dari tubuhnya, sedangkan tangan yang lain terlipat di atas punggungnya. Caranya berjalan membuat bayi pertama tertawa. Langkah kakinya pendek dan tertatih-tertatih sementara pinggulnya bergoyang-goyang ke kanan ke kiri dengan pelan.

Dan begitulah seterusnya rentetan komedi menghibur yang mengundang gelak tawa dan decak kagum bayi pertama tanpa henti. Ia melihat dan melihat lagi lalu tertawa dan tertawa lagi. Wanita tadi berdiri tak jauh di samping sang bayi, mempersilahkan kawan-kawannya untuk berjalan mendahuluinya. Ia terus tersenyum sambil memandangi kelakuan sang bayi yang tampak begitu senang dan bersemangat. Ia tahu ia tidak dapat menyembunyikan keinginan di dalam hatinya untuk sekedar menyentuh tubuh bayi itu atau menimang-nimangnya barang beberapa menit. Betapa tangannya bergetar saat pertama kali menemukan bayi itu. Ini seperti sebuah kerinduan lama yang bertemu dengan pelampiasannya dalam seketika dan ia merasakan sesuatu dari dirinya telah hidup kembali. Malam ini telah ditakdirkan untuk dilaluinya dalam sebentuk gairah kemenangan jiwa yang memuncak.

Rombongan itu berjalan melewati sang bayi dalam barisan yang cukup panjang. Ada dua orang anak lelaki plontos yang bertelanjang dada dan memakai semacam celana pendek. Mereka menarik tali tambang yang juga dikalungkan di lehernya yang terikat pada sebuah papan beroda empat yang mengangkut sebuah tong. Tong tersebut berlubang di bagian atasnya di mana dari sana menyembul kepala seorang pria. Pria ini berkumis dan berjanggut berantakan, begitu juga rambutnya, dan terus menggeram sambil mengekspresikan raut wajah marah. Sesekali ia menunjukkan barisan giginya yang putih dan berteriak tak karuan. Bayi itu diam ketakutan, namun kemudian melebarkan sedikit senyumnya.

Semua orang-orang ini terus melewatinya seakan tak ada habisnya. Lambat laun rasa kantuk mulai mendera bayi itu. Ia melihat yang terakhir kalinya, barisan belakang dari rombongan itu, adalah sebuah akuarium raksasa berisi ikan paus biru yang ditarik oleh puluhan anak laki-laki plontos. Ikan paus itu menyemburkan air dari hidungnya tepat saat melewati sang bayi.

Dan yang paling terakhir adalah seekor dinosaurus berleher panjang, Brontosaurus, yang berjalan dengan mulut sibuk mengunyah sesuatu. Binatang ini dipandu oleh dua astronot yang meloncat-loncat dalam gerak lambat di belakangnya. Saat berada di samping sang bayi, kedua astronot itu berhenti.

Astronot I: ”Heran sekali. Kenapa tiap kali kita lewat sini, selalu saja ada bayi yang tergeletak.”

Astronot II: ”Semua bayi memang selalu tergeletak.”

Astronot I : ”Tahun lalu kalau tak salah ada juga bayi yang berbaring di sini dan menangis.”

Astronot II: ”Semua bayi pasti menangis.”

Astronot I: ”Temanku bilang, bayi-bayi ini ada di sini dan tertidur sangat lama.”

Astronot II: ”Semua bayi tidur di sini.”

Lalu mereka kembali meloncat dan pergi.

***

Dan begitulah, satu malam kembali dilewati oleh bayi pertama. Ia masih diberi kesempatan untuk dapat menikmati rasa kantuk dan rasa lelahnya. Wanita itu menghampirinya dan memandangi dengan lekat sebuah wajah yang kesepian. Ia tersenyum dan bayi itu pun membalas senyumnya lalu bersin. Matanya sudah tak dapat bertahan lagi untuk terus membuka.

Maka wanita itu memberanikan diri untuk mengecup dahinya. Ia tahu ini tidak akan terasa seperti sebuah kecupan biasa. Dan ia tahu bayi itu sudah terlelap begitu ia menyentuhkan bibirnya. Namun, bagaimanapun juga ia tetap melakukannya untuk sekedar melengkapi kepingan perasaan bahagianya yang kini mulai menyatu kembali.

Astronot I: ”Hei! Kenapa masih di sana? Ayo cepat tunjukkan jalannya, kita tak ingin terlambat!”

Astronot II: ”Semua orang akan terlambat!”

Wanita itu: ”Iya aku datang! Dasar rombongan sirkus brengsek!”

Ia pun pergi meninggalkan sang bayi di belakangnya. Untuk kali terakhir, ia menolehkan lagi wajahnya untuk memandanginya sekali lagi. Kemudian, ia merelakannya terbaring dan terlelap dengan pulas di bawah naungan rasi bintang Orion.


by;arki atsema

kelak

Kini aku mengerti

Hidup sungguh berarti

Walau kau jauh dinanti

Akan berdiri takkan mati

Kau berdiri atas beranda

Jauh mungkin dari mata

Namun kau dekat akan dada

Kan terpandang walau hati buta

Kita terlampau buana

jauh tak dapat dinyana

Mencari hidup mengelana

Memikirmu seakan terpana

Kita harus sadar

Agar hati tetap tegar

Walau antara kita tiada mendengar

Namun teriakan jiwa kan didengar

Menuntun semua ke depan

Semoga kita berjumpa kelak di pelaminan………

by;agus

kekuasaan sampah

Katanya—menurut cerita yang turun temurun—dulu, semua orang di kampung ini tidak ada yang suka sampah. Muka mereka sudah pasti dibuang kalau lewat dekat-dekat tumpukan sampah. Hidung segera disumbat dengan sapu tangan atau dipencet dengan telunjuk dan ibu jari, agar bau busuk sampah tak menusuk. Ludah pun kadang muncrat sebagai ekspresi ketidaksukaan terhadap sampah. Pokoknya tidak ada sampah kecuali di tempat sampah. Sampah selalu dibakar setiap saat. Lingkungan kampung menjadi steril dari sampah.Pernah seorang ibu mendamprat anaknya gara-gara sang anak menumpuk bungkus rokok sebagi hiasan di rumahnya.

“Ya ampuuun…jorok sekali kamu!! Masak sampah ditumpuk di sini. Sampah…tempatnya ya di tempat sampah. Bukan di rumah kita. Cepat buang sampah-sampah ini ke tempat sampah. Jangan sampai rumah kita jadi tempat sampah!!” Si anak pun segera menuruti titah sang Ibu. Menempatkan sampah di tempat pembuangan sampah.

Konon juga, puluhan tahun sebelumnya lagi, kampung ini pernah diamuk banjir gara-gara sungai yang membelahnya meluap saat musim hujan. Beberapa gubuk hanyut dilahap air. Rumah-rumah tergenang air. Padi keemasan yang pernah menabur mimpi indah di imaji petani pun lenyap ditelan air bah. Berbagai penyakit seperti ditabur dari langit. Malaria dan disentri semakin menyukseskan program bencana alam. Ujung-ujungnya, bencana ini ternyata juga disebabkan sampah yang mengendap di dasar sungai. Membuatnya dangkal. Tak mampu menampung aliran air saat turun hujan dengan derasnya, meluber ke sekitaran sungai, menyuplai bencana bernamakan banjir.

Karena bencana ini, Pak Lurah ketika itu berinisiatif untuk mengadakan Gerakan Anti Sampah yang kemudian disingkat GAS. Berbagai cara dilakukan untuk memperlancar program ini. Dengan menempel tulisan-tulisan seruan di tempat strategis ‘SAMPAH MUSUH KITA’, ‘CINTA SAMPAH = CINTA BENCANA’, ‘AWAS!! SAMPAH!!!’, ‘KAWASAN BEBAS SAMPAH’ dan masih banyak tulisan senada yang biasa terlihat di tepi jalan dan sudut-sudut pasar kampung. Ada juga beberapa pemuda yang menyablon kaos mereka dengan tulisan-tersebut atau mencetaknya menjadi stiker yang bisa ditempel di depan pintu rumah-rumah penduduk. Penyuluhan dilaksanakan dengan gencar agar para penduduk tidak suka melihat sampah.

“Saudara-saudara…sampah itu sumber malapetaka. Sumber penyakit. Makanya, jangan biarkan sampah berkeliaran di depan mata kita. Enyahkan sampah!! Bakar sampah!! Bebaskan kampung kita dari sampah!!” kata seorang penyuluh yang khusus didatangkan dari Dinas Kebersiahan Lingkungan (DIKERLING) dari kota dengan muka berapi-api. Semua hadirin mendengarkan penyuluhan itu dengan seksama, sambil berikrar dalam hati ‘akan menjadikan kampung ini terbebas dari sampah.”

Konon juga, setelah itu kampungku benar-benar terbebas dari sampah. Penyakit yang diakibatkan sampah tak lagi menghantui kehidupan warga. Jalan-jalan menjadi bersih. Pemandangan menjadi asri. Suasana menjadi sejuk. Pertanian menjadi sukses. Semuanya menjadi lancar.

***

Tapi beberapa hari terakhir ini aku mulai resah dengan kampungku sendiri. Ada fenomena yang aneh tampak dari perilaku warganya. Sangat kontras dengan cerita yang konon dan katanya itu. Sampah kini memenuhi setiap pemandangan. Jalan-jalan. Rumah-rumah. Pasar. Kantor kelurahan juga.

Ibu-ibu tak lagi melarang anak-anaknya untuk tidak bermain-main sampah. Bahkan, ada beberapa ibu yang memomong anak kecilnya di tempat sampah. Membiarkannya mengunyah-ngunyah sampah lalu menelannya. Membiarkannya berguling-guling dan menyusup di atas tumpukan sampah. Seakan sampah itu telah menjelma ibunya, dan si kecil sedang menyusup di antara ketiak atau dua buah payudaranya. Anehnya lagi, tiba-tiba ibu-ibu itu ikut berguling-guling di atas sampah. Ada yang bergumam,

“Enaknya…menjadi sampah di zaman ini, aku ingin kelak anak-anakku kelak menjadi sampah.”

Bapak-bapak juga kerap kali mengajak anak-anaknya mengunjungi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah kota yang terletak di kampung sebelah. Ia bangga kalau anaknya dapat mengenal sampah kota. Lalu menyuruhnya untuk menjilatinya.

“Biar kamu dapat berkah,” katanya.

Aku bahkan sempat mengusap dada ketika melintas di depan sebuah gubuk seorang tetangga dan mendengar seorang bapak menasihati anaknya.

“Nak…!! Sekolah ya sekolah. Tapi harus banyak bergaul dengan sampah-sampah. Atau kalau perlu kamu harus menjelma sampah. Sebab belajar setinggi apapun, tak akan membuatmu sukses kalau tidak kenal baik dan akrab dengan sampah.” Ah…orang tua gila, pikirku. Pasti otaknya tak waras!! Sinting!!

Lebih terkejut lagi, ketika saat yang lain aku lewat belakang sebuah SD, kudengar Ibu Guru sedang berkata kepada anak didiknya, “Menjadi sampah adalah pangkal kesuksesan. Ayo bilang bersama-sama!!”

“Menjadi sampah adalah pangkal kesuksesan,” demikian murid-murid menirukan perkataan Ibu Gurunya.

Edan!! Pelajaran apa itu?!!

***

“Mas…bangun!!” Suara istriku yang lembut itu menyapa telingaku pagi ini. Suara lembut itu yang dulu selalu mengisi ruang telingaku saat usiaku menginjak dua puluhan.

Kutatap mukanya. Dia masih cantik, tak banyak berubah. Muka itu yang membuat aku dulu mabuk kepayang kepadanya. Mukanya sudah tampak segar, menyaingi kesegaran pagi ini.

“Mas…bangun dulu! Ada undangan dari Pak Lurah. Semua warga diminta berkumpul di balai kelurahan pagi ini.”

“Jam berapa?”

“Tujuh”

“Sekarang jam berapa?”

“Setengah tujuh lewat lima”

“Memangnya ada apa??”

“Entah!”

“Kok tumben ya?!”

“Gak tahu!!”

“Baiklah aku cuci muka dulu, tunggu sebentar!!”

Aku segera bergegas ke belakang. Mencuci muka dengan air yang mengalir. Wah…airnya mulai berwarna pekat dan berbau busuk. Pasti ini karena sampah-sampah yang dibuang warga ke sumur umum. Air di sini tidak segar lagi.

Selesai mencuci muka, aku keluar dan segera mengajak istriku berangkat.

Kami berjalan menyisiri jalan-jalan kampung yang mulai penuh dengan sampah-sampah. Kotor. Beberapa warga tampak berjalan beriring-iringan di depan dan belakangku. Sama-sama menuju balai kelurahan.

Tanpa terasa aku dan istriku sudah sampai di balai kelurahan. Kami pun segera memasukinya.

Suasana di dalam balai begitu riuh. Asap rokok menyembur dari mulut beberapa laki-laki, bergerombol di udara, sebelum kemudian menyebar, menipis dan memenuhi ruangan. Pengap pun semakin terasa.

“Jam berapa Bang?” tanyaku pada warga yang kebetulan duduk di sampingku.

Ia melirikku, lalu menatap arloji di tangannya.

“Delapan kurang tujuh.”

“Walaah…katanya jam tujuh.”

“Biasa, molor sedikit, kayak nggak tahu saja.”

Aku alihkan pandanganku ke depan. Pak Lurah telah berdiri di atas podium. Matanya menyapu seluruh ruangan. Mulut-mulut warga yang mulai tadi mengeluarkan suara gaduh, kini mulai terkunci.

“Saudara-saudara, warga kelurahan X yang saya hormati. Saya tahu, saudara sekalian banyak kesibukan di pagi ini. Tapi demi hal yang sangat penting, terpaksa saya mengumpulkan saudara sekalian di balai ini.” Pak Lurah berhenti sebentar, membetulkan kacamatanya.

“Ada apa ya Mas?” Kata istriku sambil melihatku.

“Mana kutahu.”

“Saudara sekalian, saya tahu saudara sekalian sangat cinta sampah. Saudara-saudara suka menjilati sampah. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini saya akan mengumumkan pengangkatan aparat kelurahan yang baru, yang semuanya adalah penjelmaan dari sampah-sampah. Jadi kantor kelurahan ini akan dipenuhi oleh sampah-sampah pilihan.”

“Bagus!! Pak Lurah,” teriak seorang pemuda di pojok belakang, sambil setengah berdiri malu-malu.

“Ya terimakasih!!”

“Itu yang kami harapkan.”

“Baiklah,” lanjut Pak Lurah, “untuk menyingkat waktu, langsung saja saya perkenalkan satu persatu. Bagi yang saya sebut namanya harap maju dan berdiri di depan saya.”

Pak Lurah diam. Tangannya meraba sakunya, mengeluarkan secarik kertas.

“Sekretaris Lurah Nak Bangkai, harap maju!”

Seorang laki-laki muda dengan muka bersih dan baju rapi maju ke depan Pak Lurah. Ia tersenyum. Tepuk tangan menggema.

“Saudara-saudara, Nak Bangkai ini alumni luar negeri. Jadi kalau masalah ilmu, dia itu jagonya. Kalau soal koneksi dan negoisasi, dia bisa rajanya. Semua pasti lancar!”

Tepuk tangan bergemuruh. Pemuda itu masih tersenyum.

“Selanjutnya Pak Buah Busuk sebagai Bendahara Lurah, Nasi Basi sebagai Pembantu Umum.”

Yang disebut namanya segera maju. Menebar senyum. Sama dengan sebelumnya.

“Demikian tadi aparat saya yang baru. Silahkan saudara sekalian mengucapkan selamat pada mereka!”

Aku dan istriku diam saja. Sementara warga yang lain merangsek maju. Tapi mereka bukannya mengucapkan selamat, tapi menjilat-jilat Pak Lurah dan aparat yang baru diperkenalkan itu. Menjilat-jilat kakinya. Tangannya. Pantatnya. Dengkulnya. Sekujur tubuhnya.

Aneh, tiba-tiba tubuh Pak Lurah menjadi tong sampah yang sangat kotor. Aparat-aparat barunya menjelma sesuai dengan namanya: Bangkai, Buah Busuk dan Nasi Basi. Orang-orang masih berebut giliran untuk menjilati orang-orang yang telah menjelma sampah itu. Satu-satu, mereka pun mulai berubah menjadi sampah juga. Daun busuk. Kardus busuk. Kayu lapuk. Tong bekas. Plastik bekas.

“Mas…aku takut!!”

“Edan!! Ayo kita pergi saja!!”

Aku dekap istriku yang mulai gemetaran. Bergegas membawanya ke luar balai.

“Siapa yang tak mau menjilati kami, akan kami hisap darahnya sampai mati.” Tiba-tiba terdengar suara tong sampah penjelmaan Pak Lurah menggelegar.

“Mas…bagaimana?”

“Jangan!! Jangan ikut-ikutan mereka.”

“Tapi, aku takut.”

“Biar kita mati, asal jangan menjilat sampah.”

“Mas…aku takuut!”

“Jangan ta…”

Belum sempat aku selesaikan kata-kataku, istriku sudah lepas dari dekapanku. Maju. Ikut merangsek ke depan. Berebut kesempatan menjilat sampah-sampah.

Dengan susah payah kulihat istriku berhasil melaksanakan niatnya. Menjilat sampah-sampah itu satu-satu, bergiliran. Ia kemudian melihat ke arahku. Tersenyum. Tapi, apa itu di balik senyumnya? Taring! Ya…ia bertaring.

“Kurang ajar!! Apa yang kau lakukan kepada istriku, Lurah tengik!! Kubunuh kau!!” aku berlari menyeruak ke depan. Akan kubasmi sampah-sampah itu.

Tiba-tiba aku terpental di atas lantai. Ada yang begitu keras menghalangi langkahku dan sekarang menindihku. Aku terlentang di atas lantai. Sebelum aku sadari semua yang terjadi, aku merasa ada yang menggigit pangkal leherku. Menghisap habis darahku. Lalu melepaskannya.

Kubuka mataku. Kulihat istriku yang sedang duduk di atas perutku. Tersenyum dengan darah masih menetes-netes dari mulutnya yang kini bertaring.

“Yun…Kau…??”

Semua gelap. Aku tak ingat apa-apa.


by;achmad darwis sutejo

monster pun menangis

Di gudang ada monster marah dengan taring-taring panjang meneteskan darah, dengan cakar-cakar runcing menghitam. Ada bekas codet pada bibirnya yang lebar. Ia tersenyum lebih serupa seringai yang menakutkan sebab gigi-giginya kuning besar-besar. Peluhnya bercucuran dari dahinya yang lebar tetapi bolong di tengah, di antara ke dua mata yang mencelat keluar. Memperlihatkan rongga bernanah beraroma amis busuk.

Wajahnya merah mengerikan. Bopeng-bopeng mengisi seluruh permukaan kulitnya yang merah mengkilat. Telinganya digunting runcing. Pada daun telinganya mengkilat minyak lemak. Rambutnya gimbal hitam, keriting kusut dan membentuk bulatan-bulatan besar di kepalanya yang juga besar. Pakaiannya rombeng kebesaran dan berbau busuk bangkai. Dengan hidungnya yang besar, ia mengendus aku disertai seringai dan tawanya teredam. Bau busuk melayang di udara. Ia serupa raksasa. Lidahnya yang kasar berterutul dan berlendir menjilat-jilat udara. Mendekatiku, dadanya yang terbuka dan berbulu hampir menempel pada tubuhku. Aku jadi menggigil, panik dan tak bisa lebih takut lagi.

Aku teringat untuk berdoa Salam Maria tapi tak bisa, lidahku kelu. Aku mencoba doa Bapa Kami tak jua bisa, hatiku telah membatu. Sempat terlintas Aku Percaya, tapi itu tak lagi mempesonaku. Berdoalah! Ayo berdoalah! Doa apa saja. Ia makin dekat. Makin dekat. Dan aku takut. Sepertinya doa tak mempan untuk mengusirnya pergi.

Ia mendekatiku. Busiknya terlihat jelas dan ia marah. Telapak tanganku berkeringat sementara ia mulai memperhatikanku dengan cermat. Aku harus bisa mengontrolnya dalam pikiranku. Harus! Harus bisa! Tapi aku ngeri bila dia menghunjam tubuhku dengan cakarnya yang runcing dan menyayat dagingku dengan taringnya yang tajam. Lagipula dia marah. Tanganku sudah tremor ketika tiba-tiba ia duduk di sampingku, memandangku sayu lalu menggenggam tanganku erat. Ia menciut. Badannya seketika bersih dan wangi, pakaiannya pun rapi. Ia tersenyum lebar, senyum persahabatan yang ramah. Aku tak jadi takut. Aku membalas senyumnya.

Tak disangka ia berubah lagi menjadi monster, tapi aku tak lari, diam di tempat. Ia terkulai lesu. Ternyata ia sepertiku juga, merana. Ia ingin menjadi manusia tetapi takdir mengharuskannya tetap menjadi monster untuk menyebarkan teror dan trauma. Kami berbagi cerita, berbagi duka. Ia ingin menjadi manusia. Aku manusia tapi tak ingin menjadi manusia. Ia tak menggubrisku, teguh pada keinginannya. Lalu ia merebahkan diri, melingkar, bergelung di dekat kakiku. Sepertinya ia ingin dibelai. Ia menangis. ”

Kukira monster tak bisa menangis sebab ia membuat orang lain menangis,” ujarku. Ia sesenggukkan.

“Aku menangis sebab ingin menjadi manusia.”

“Mengapa?”

“Sebab aku tak perlu lagi menanggung beban ini, sedih ini, kamu pasti tak tahu bagaimana rasanya berbeda. Aku ingin menjadi manusia. Lebih enak menjadi manusia.”

Aku seperti ditampar, seakan ia sedang menyindirku yang memang tak pernah diharapkan keberadaannya. Aku tertawa sinis.

“Aku bukan monster tapi aku sepertimu, percayalah! Menjadi manusia tidak semenarik dugaanmu.”

Ia langsung bangun dan menatapku lekat-lekat. Aku jadi merinding. Tatapan matanya membuatku lemas. Pandangannya menembus kelopak mataku bagai bara api yang menjilat-jilat panas. Aku kumpulkan keberanian yang tersisa, lalu hati-hati berbicara.

“Menjadi manusia itu sulit,” ujarku.

Ia tersenyum getir seperti ingin berujar, benarkah? Aku menggangguk, memberi jawaban dari pertanyaan yang tak ia ajukan. Ia terdiam.

“Ya sudah kalau begitu, ini khayalanku,” ujarnya tiba-tiba. Airmata masih bertengger di pelupuk matanya. Aku ingin mengejeknya karena ia menangis, tapi tidak jadi. Aku tak tega.

Monster pun boleh menangis, apalagi manusia.

Ia berdiri.

“Kalau begitu, mari kita bermain,” ajaknya dengan senyum yang menenangkan hati meskipun pada sudut bibirnya terdapat sayatan yang menganga. Ia baik, ia tidak jahat. Yang jahat ibuku.

Ia pecah menjadi kepulan asap.

Gudang berdebu. Aku terduduk di antara tumpukan kardus barang pecah belah dan majalah bekas. Bau kencing dan taik tikus, juga kecoak mengambang di udara. Ada cermin buram di situ. Kudekati, ternyata hanya sebelah. Pecahannya berhamburan di lantai melukai telapak kakiku.

Kulihat wajahku di sana. Pantulannya mengabur. Aku jadi ngeri sebab wajahku berantakan, tak utuh. Ingin kusangkal itu bukan aku, namun itu diriku. Aku ingin pergi. Tapi seperti terpaku, memaksaku memandangi diriku yang kubenci.

Aku jadi resah, mungkin marah. Kepada siapa ku harus marah? Inikan diriku sendiri. Tapi aku jadi resah, tak nyaman. Maka kupejamkan mata rapat-rapat berharap bayang itu mengabur, lalu menghilang. Tapi sebuah wajah yang tak terlupa hinggap dalam benakku. Wajah ibuku. Sialan! Aku lupa manusia tidak melihat dengan matanya, melainkan dengan otaknya. Sebab seperempat otak kami memiliki sistem untuk mengendalikan penglihatan seperti kamera. Aku jadi makin membenci ibuku. Sebab kutukannya terbukti padaku. Aku buruk rupa.

Monster pun boleh menangis, maka aku menangis.


by;gamutz

dititik nol kilometer

Titik nol kilometer tidak berupa sebuah menara.

Juga tidak berwujud sebuah tugu peringatan, dengan papan nama yang dipancang permanen, tempat orang-orang bisa berfoto bersama. Dimana nanti mereka bisa memajang foto mereka yang berbingkai perak dengan rasa bangga di ruang tamu, demi bisa menepuk dada dan berkata kepada setiap pengunjung temporernya “Oh ya, saya pernah kesana. Ke titik nol kilometer dunia.” Berusaha sekuat tenaga mengundang decak kagum dan antusiasme basa-basi di sela-sela dentingan cangkir teh dan kopi.

Bukan itu.

Karena sebenarnya, titik nol kilometer lebih berupa sebuah hutan. Atau tepatnya, sebuah rimba yang demikian luasnya, dimana akar-akar pohon tertua di dunia terurai seperti lebatnya rambut yang tumbuh di kepala. Sementara pohon-pohon berdaun lebar berlomba mencapai angkasa, saling sikut, saling dorong, saling sandung, saling libas, saling tebas, saling gilas, saling lindas, saling tepuk, saling tindih, saling tumpuk. Tapi juga sekaligus saling taut, saling pagut, saling rangkul, saling tarik, saling peluk.

Yang membuat kegelapan menjadi begitu pekatnya di titik nol kilometer. Karena setiap lembar daun yang lebar kelewat sibuk berkutat dalam hubungan cinta-benci mereka, tanpa pernah sekalipun bisa beranjak untuk pergi. Atau setidaknya menyingkir, menyilakan sedikit sinar matahari untuk mampir, agar bisa memerahkan permukaan tanah yang lembab, dan menghangatkan tulang-tulang yang bergemeletukan dari bibir-bibir yang tanpa henti mengepulkan uap.

******

Titik nol kilometer bukanlah satu objek wisata.

Orang tidak suka cita pergi ke sana untuk tamasya, dengan menumpang kapal feri di akhir pekan, menenteng keranjang piknik berisi setumpuk sandwich isi daging asap diolesi mustard, ditemani sebotol besar limun dingin.

Pada kenyataannya, justru banyak orang yang lupa bagaimana caranya mereka bisa mencapai titik nol kilometer. Sebagian mengaku, mereka sedang menyetir hidup mereka dengan kecepatan rata-rata—sekitar 60-70km/jam—untuk kemudian seketika tiba di titik nol kilometer. Sebagian bercerita bahwa mereka sedang menyetir hidup mereka dengan kecepatan tinggi—mungkin sekitar 270-300km/jam—dan wush!, mereka terbang ke sana. Ke titik nol kilometer, dimana kisah ngebut-nekat-rayakan-hidup-hari-ini milik mereka disimak dengan tekunnya oleh sekelompok orang yang bahkan tak punya kendaraan pribadi untuk mengendarai hidup mereka sendiri. Yang membuat kelompok ini terpaksa berdesakan setiap pagi dan petang dalam angkutan umum, bermandi peluh dan letih, dengan penghiburan mengenyangkan diri dengan sepiring makan malam hangat, berlaukkan secuil mimpi dan sebutir harapan.

Ya, mereka semua tersesat disana.

Tanpa satupun juga bunyi alarm peringatan, atau sedikitnya beberapa rambu petunjuk jalan. Sehingga mereka setidaknya bisa melakukan antisipasi dini dengan melunasi semua tagihan dan hutang, menutup rekening di bank, menyumbangkan pakaian dan beramal. Atau, menulis sejumlah kartu ucapan terima kasih pada orang-orang terkasih.

Tidak.

Karena saat orang tersesat di titik nol kilometer, tak pernah tersedia fasilitas berupa sedikit waktu untuk pamit. Well, lebih tepatnya, tidak tersedia layanan fasilitas apapun di titik nol kilometer. Tidak ada restoran atau kafetaria. Tidak ada toilet. Tidak ada internet. Tidak ada apotek. Tidak ada klinik. Tidak ada motel. Tidak ada wartel.

Bahkan kalaupun kamu kebetulan bawa ponsel, tetap saja tak ada hal berguna yang bisa dilakukannya selain dilempar sebagai rongsokan usang. Karena tak ada sedikitpun juga sinyal kehidupan di titik nol kilometer. Jadi, sampai baterai ponsel kamu kosong, silakan bersumpah serapah sampai puas. Dan saat nanti kehabisan suara, kamu bisa duduk manis, menikmati alunan rekaman musik, iklan, dan serial pendek yang terekam dalam ponsel kamu. Mencoba mencecap sedikit kenikmatan hidup yang seketika terasa begitu mahal dan langka, karena kini hanya tinggal berumur sekian jam saja.

Dalam situasi yang nyaris membuat gila seperti ini, apalagi yang bisa dilakukan selain belajar bicara? Jadi memang itulah cara yang dilakukan semua orang yang tersesat di titik nol kilometer ini demi mengisi hampa.

Dimulai dengan memecahkan es keheningan yang licin, menggunakan satu sapaan sederhana. Kemudian berlanjut dengan sesi tanya jawab dan sharing pengalaman. Dan setelah beberapa jam melayang, voila!, setiap jiwa yang tersesat ini seketika merasa punya teman senasib sepenanggungan.

Lalu mereka pun mulai berburu makanan bersama. Bahu-membahu mempelajari tumbuhan mana yang bisa dimakan, menyiapkan jebakan, mengumpulkan kayu bakar untuk menyulut api unggun, mematok tenda sederhana dari dedaunan.

Merasa aman.

******

Waktupun menguap ke udara.

Sebagian orang telah sukses beradaptasi. Sebagian orang yang sudah merasa kelewat nyaman, bahkan sampai mendirikan pondok permanen dan mencoba menyambung hidup dengan bercocok tanam. Mereka tebasi dedaunan lebar yang menghalangi sinar matahari selama ini. Dengan rajinnya, mereka membolak-balik tanah agar gembur. Tak lupa mereka sirami setiap benih agar nantinya bisa tumbuh subur.

Yang membuat orang-orang ini belajar untuk kembali menyunggingkan sebuah senyuman. Sekaligus juga belajar untuk kembali punya ambisi, agar bisa makan sesuap mimpi waktu panen nanti.

Tak hanya itu, mereka juga menikahi satu sama lain. Dan setelah melewati sejumlah pesta pernikahan dan perayaan kelahiran bayi, kamu mulai berpikir bahwa kehidupan kembali bernafas di titik nol kilometer. Meski denyutnya masih kelewat lemah, tapi toh setidaknya sudah cukup stabil. Dan kamu mulai punya gagasan, bahwa mungkin, mungkin orang-orang ini tak lagi perlu diselamatkan.

Toh bertahun-tahun telah lewat. Toh mereka juga kini sudah tampak bahagia dan menikmati kehidupan mereka yang sekarang. Toh mereka juga mungkin sudah terlupakan, terhapus dari kenangan semua orang yang telah ditinggalkan. Jadi buat apa repot-repot menghubungi polisi dan regu penyelamat?



*****

Well, kabar baiknya adalah, kamu bukan yang pertama punya gagasan cemerlang itu, percayalah. Tapi kabar buruknya adalah, bahwa kamu salah. Kamu sama sekali salah.

Karena jauh di belantara pikiran dan keinginan mereka, orang-orang yang tersesat ini tetap rindu untuk pulang. Pada masakan Ibu yang masih hangat. Pada empuknya kasur. Pada nikmatnya membasuh diri di bawah pancuran.

Pada pelukan yang sudah bertahun-tahun lamanya diakrabi oleh bahu, lengan, dan dada sesak mereka yang resah. Pada ciuman mendamaikan di petang sepulang kantor. Pada cinta dari orang-orang terkasih, yang telah mereka tinggalkan. Pada dunia kumal dan usang, yang meski terus-menerus berotasi dengan porosnya yang aus dan karatan, ternyata tetap menjadi satu-satunya tempat yang paling mendekati ideal untuk sebuah bentuk kehidupan.

Jauh tersembunyi di belantara pikiran mereka, orang-orang yang tersesat ini sadar sepenuhnya bahwa mereka hanya sekedar berpura-pura betapa kehidupan mereka kembali berputar seperti sebagaimana mestinya.

Ya, mereka kembali bekerja. Ya, mereka kembali punya keluarga. Tapi betapa suami dan istri yang telah mereka nikahi ini tetap saja orang-orang asing. Bahwa pada dasarnya, diantara mereka hanyalah ada dua persamaan. Kebutuhan akan seks dan ketakutan akan ditinggalkan sendirian.

Jauh tersembunyi di belantara pikiran mereka, orang-orang ini tahu pasti rasanya hampa. Betapa pahitnya mencoba untuk tersenyum dan mengaku bahwa diri mereka baik-baik saja. Seperti satu ekspresi kaku dari topeng yang dipaku permanen di wajahmu. Dimana kamu masih bisa merasakan ujung-ujung paku yang karatan menggoresi bibir dan tulang pipi.

Sama getirnya dengan mencoba terdengar riang. Seolah-olah ada kaset lama yang diputar berulang-ulang di dalam kepalamu. Dimana pita kaset mulai keriting dan setiap 3 menit mengeluarkan suara melengking yang membuatmu seketika ingin mengiris-iris kuping.

Maka, jauh tersembunyi di belantara pikiran mereka, orang-orang inipun mulai bermimpi untuk mati. Betapa setiap malam, mereka akan pergi tidur dengan harapan agar tak terbangun lagi keesokan pagi.

Karena jauh tersembunyi di belantara pikiran mereka, ada gema yang berjalan mondar-mandir. Terus-menerus berucap dan mencacat betapa titik nol kilometer bahkan tidak pernah tercatat di skala ordinat peta kehidupan. Betapa semua orang di dunia normal menggunjingkannya, membuat asumsi, melakukan penelitian, menulis buku, membuat film, membuat talkshow.

Tapi tetap saja, hasilnya nihil. Tak pernah ada bukti otentik. Tak pernah ada petunjuk spesifik. Titik nol kilometer adalah satu titik kehidupan yang tak pernah teridentifikasi.

Karena itu, jauh tersembunyi di belantara pikiran orang-orang yang tersesat ini, diantara setiap jalinan cabang yang demikian rumitnya, mereka sadar bahwa kali ini, harapan sungguh-sungguh telah pergi.

Dan bahwa di titik nol kilometer, mereka semua, tersesat selamanya.

Tanpa pernah bisa kembali lagi.


by;retnadi

rumah sakit macam apa ini !

Petugas kesehatan berkata,
“Untuk orang miskin di bangsal itu.”
Sambil menunjuk sebuah ruang kosong

Terlihat ruang pengap dengan bau pesing
Para pasien duduk berhimpit-himpitan
Dan mereka harus menahan diri untuk tidak buang hajat
Sanitasi mati…

Seorang bapak tua tergeletak tak berdaya
Ditemani istrinya yang setia
Sama-sama menerawang, putus asa
Hampir setengah bulan tidak ada perubahan
Ada yang hanya didata dan ditinggal pergi begitu saja
Dokter punya alasan yang tepat, dinas ke luar kota.
Kapan mereka akan sembuh!?

“Tidak akan…!” kata sebuah suara.

Aku terhenyak dan bernapas lega
Kejadian itu hanya mimpi
Yang (semoga tidak) menjadi kenyataan.

by;wastatama

pintu yang tidak terkunci

Hujan deras mengguyur kota sepanjang hari, mengurung aku sendirian di dalam kamar ini. Dari jendela bisa kulihat jeruji perak yang berkilau muram di luar sana, dan dari sela-selanya terlihat pemandangan dunia sebatas yang bisa ditangkap bingkai jendela kecil itu.

Aku duduk murung, memandang kosong dunia kelabu dalam pigura jendela. Hidup ini terasa begitu sepi, sebab aku terpenjara oleh perasaan bernama ‘cinta’ yang selama dua tahun tak pernah bisa kuungkapkan. Setiap hari kurindukan perempuan yang sama; berharap ia berada di sampingku sehingga kami bisa bercerita tentang dunia terindah yang pernah ada. Namun itu hanya angan-angan kosong. Rasa rinduku takkan pernah terobati.

Masih kulayangkan pandang ke luar sana, dan saat itu baru kusadari aku melihat sesuatu. Seorang laki-laki di seberang jalan di depan rumahku, berdiri dalam hujan. Baru kuingat bahwa dia telah berada di sana sejak pagi, ketika hujan baru mulai turun. Dan bukan hanya itu, ia adalah laki-laki yang sama yang kulihat di hari-hari sebelumnya, setiap hari selama dua tahun belakangan ini.

Laki-laki itu berdiri memandangi pintu rumah di depannya, rumah yang berada tepat di depan rumahku.

Dia berdiri bagaikan patung, tetap tidak bergeming walau hujan deras menerpanya. Aku mengambil payung lalu ke luar dan menghampirinya. Bahkan dia sama sekali tidak mempedulikan aku yang datang di sampingnya.

“Pakai ini!” ucapku memberikan sebuah payung lain yang kubawakan buatnya.

Cukup lama waktu berjalan sebelum dia akhirnya berpaling padaku, menatapku walau tetap dalam diam. Diambilnya payung itu kemudian dipakainya, lalu dia melanjutkan memandangi pintu rumah itu.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku. Dia tidak menjawab.

“Kuperhatikan kau berada di sini setiap hari, dari pagi hingga malam, memandangi rumah yang sama, memandangi pintu yang sama. Tidakkah aku boleh mengetahui alasan di balik itu semua?” tanyaku lagi.

Dia tertunduk, lalu berkata, “Aku mencintai seorang perempuan, ia tinggal di rumah itu. Tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan rasa cintaku padanya. Ia seperti embun yang mengisi cawan cintaku, sehingga aku bisa meminumnya dan melepaskan dahaga jiwaku akan cinta selama-lamanya. Aku berada di sini karena mungkin dia tidak tahu sebesar apa cintaku padanya. Ingin kuberitahu dirinya tentang rasa ini.”

“Lalu, kau sudah memberitahunya?”

Dia semakin tertunduk lesu. “Belum,” jawabnya.

“Kenapa?” tanyaku lagi.

“Setiap hari aku datang ke sini untuk mengobati rasa rinduku padanya. Awalnya aku ingin mengetuk pintu itu dan mengatakannya, tetapi setiap kali tinggal beberapa langkah dari dari pintu itu, aku tidak jadi melakukannya. Aku ragu apakah dia juga mencintai aku? Apakah dia benar-benar adalah pelepas dahaga jiwaku? Maka aku hanya berdiri di sini.”

Mendengar jawabannya, aku berkata, “Begitu ya… Sayang sekali aku tidak bisa membantumu.”

Aku lalu melangkah meninggalkannya sambil berkata, “Ambillah payung itu. Sekarang sedang musim hujan, mungkin lain kali kau membutuhkannya lagi, gawat kalau kau jatuh sakit.”

Malamnya, sebelum tidur aku melihat ke luar jendela, dan laki-laki itu masih berdiri di sana.

****

Keesokan hari ketika aku bangun pagi, aku mengintip lagi ke luar jendela, dan kulihat di sudah ada di sana. Meskipun hari itu tidak hujan, dia memakai payung yang kemarin kuberikan, berdiri dalam diam dengan mata tertuju ke satu arah. Tak bisa kubayangkan sebesar apa cintanya pada perempuan itu.

Hari itu aku tidak menyapanya seperti hari sebelumnya; kubiarkan dia menyelami diri untuk menemukan keberanian walu hanya setitik. Aku berusaha untuk tidak memedulikan dirinya, namun rupanya itu sulit sekali. Setiap kali melewati jendela mataku otomatis melirik ke luar dan menangkap bayangannya. Malahan aku selalu memikirkannya setiap saat. Dia selalu mengisi kepalaku. Entah bagaimana, secara perlahan aku seperti bisa merasakan apa yang dirasakannya. Rindu yang menumpuk, dan cinta yang tak bisa terucap.

Hari berikutnya tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Hanya saja perasaan aneh yang menghantuiku menjadi semakin besar. Seolah aku benar-benar menghayati perannya, dan bahkan menyatu dengannya. Hal itu benar-benar sangat mengusik hati dan pikiranku.

Lalu suatu hari ketika aku sudah tak tahan lagi dengan perasaan itu, aku menghambur ke luar dan bermaksud menemui laki-laki itu. Tetapi yang kutemukan di tempat dia biasanya berdiri malah seorang laki-laki tua. Dia membawa payung.

Saat melihatku, dia berkata, “Dia memintaku untuk menyerahkan ini padamu,” seraya memberikan payung yang dipegangnya, “tapi aku tak tahu yang ini untuk siapa.” Lanjutnya memperlihatkan sebuah buku tebal dengan sampul cokelat. Halaman-halaman buku itu banyak yang hanya dijejalkan di antara halaman-halaman lain dengan asal-asalan. Ada kesan antik pada buku itu.

Aku mengambil payung dan buku itu. Kemudian aku bertanya, “Apa yang terjadi pada laki-laki ini?”

Orang tua itu menjawab, “Dia telah meninggal. Sebuah truk menabraknya pagi tadi. Dia terpental sampai sepuluh meter dan jatuh menghantam aspal. Saat aku menghampirinya untuk menolong, dengan kata-kata terakhir yang dimilikinya dia memintaku membawa kedua benda itu ke sini dan memberikan payung itu padamu. Tetapi dia tidak mengatakan untuk siapa buku itu.”

Kulihat sampul buku itu; warnanya cokelat tua dan ada bercak-bercak merah mungkin karena darahnya, sebab di payung juga terdapat bercak yang sama. Entah apa yang tertulis di dalamnya.

“Kalau begitu aku permisi dulu,” ucap orang tua itu, lalu ia pun beranjak pergi.

“Terima kasih,” ujarku.

Sungguh malang nasib laki-laki itu, betapa hidup yang dilaluinya selama ini menjadi sia-sia. Setiap hari berdiri di tempat yang sama, hanya untuk mati membawa kata yang tak sempat terucap. Adakah kisah yang lebih menyedihkan daripada kisah cintanya?

Kini akulah yang berdiri di tempat ia setiap hari berdiri membeku bersama lidahnya, menghabiskan waktu yang dimilikinya. Kupegang buku yang mungkin memuat seluruh catatan perasaannya pada seseorang, yang ditorehkan oleh tangannya sendiri. Lalu kuputuskan untuk melangkah menuju pintu yang selalu berada di pelupuk mata laki-laki malang itu. Kuketuk tuga kali, dan pintu itupun terbuka.

Seorang perempuan membukanya dengan wajah berseri-seri gembira, namun raut itu sekejap menghilang ketika dia melihatku. Sedikit tertunduk, dia bertanya, “Maaf, kupikir kau orang lain. Ada apa?”

“Aku ingin menyampaikan apa yang tak sempat tersampaikan oleh waktu, “ jawabku, “tentang perasaan seseorang yang kini telah pergi.”

Mendengar jawabanku, perempuan itu memintaku untuk masuk dan duduk menjadi tamunya. Setelah itu, dia berkata pelan, “Selama dua tahun aku menyimpan perasaanku di balik sebuah pintu, pintu itu tidak pernah terkunci, tetapi ia selalu tertutup. Aku menunggu pintu itu dibuka oleh orang yang mencintaiku dengan sungguh-sungguh, dengan sepenuh hatinya. Setiap hari, sampai larut malam aku terjaga di balik pintu itu, menunggu apa yang hingga kini tidak jua datang. Kuharap seseorang akan datang pada akhirnya, tetapi ternyata tidak.” Perempuan itu mengucapkan setiap kata diiringi linangan air mata.

Sungguh kisah itu menjadi berkali-kali lipat menyedihkan. Kubendung sekuat tenaga air mata yang ingin mengalir, dan karena tak tahu berapa lama lagi bisa kutahan tangisku, maka kuserahkan buku itu padanya dengan ucapan, “Kurasa semua yang ingin diungkapkannya ada di sini. Walaupun ia kini telah tiada. Ambillah, ini untukmu!”

Setelah itu aku langsung pergi dari hadapannya.

Berjam-jam aku mengurung diri, menangisi kisah cinta memilukan itu. Air mataku bercucur deras seperti hujan yang turun ketika pertama kali aku bicara pada laki-laki itu. Saat kuseka mataku yang basah di hadapan cermin, kulihat laki-laki itu berdiri di hadapanku, menatapku dari dalam cermin.

Saat terbangun, di luar hujan turun dengan derasnya. Dunia benar-benar kelabu. Kuusap wajahku, lalu aku bangkit. Kuhampiri jendela kamarku dan kulihat dunia abu-abu yang kosong dalam terpaan hujan.

Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Kuraih gagang telepon dan kutekan nomor yang sudah kuhapal mati di dalam kepalaku. Kutunggu jawaban dari ujung telepon.

“Halo!” sahut sebuah suara perempuan.Aku menarik nafas, lalu berkata, “Yun! Aku mencintaimu sejak bertahun-tahun lalu ketika untuk pertama kali kulihat wajahmu, dan kau tersenyum padaku.”Dia terdiam.

.

Dan, di bagian ini kau terbangun dari tidur…


by;uki

aku jatuh cinta pada sesosok lelaki yang belum aku jumpai

Menurut sebuah buku yang kubaca, kita harus pandai memvisualisasikan segala sesuatu yang kita inginkan. Semakin jelas gambaran tersebut, semakin besar kemungkinan untuk mencapai apa yang kita inginkan. Misalnya, jika akan berpidato di hadapan orang banyak, sejak jauh hari visualisasikan saat kita melakukan hal tersebut. Bayangkan apa pakaian yang kita kenakan, bagaimana penampilan kita, apa isi pidato yang disampaikan, kemana mata kita memandang, gerakan tubuh kita, siapa saja orang yang hadir, pakaian yang mereka kenakan, ekspresi wajah mereka, apa yang kira-kira ditanyakan pada sesi tanya jawab, hingga detail kecil lainnya. Gambarkan dengan sangat rinci dalam pikiran bahwa kita mampu memberikan pidato dengan sangat baik

Semakin jelas visualisasi itu terbentuk, kita akan terbiasa dengan kondisi itu. Pikiran akan menerima seolah-olah hal tersebut adalah pengalaman yang sebenarnya. Seakan-akan kita sudah melaksanakannya. Ketika tiba saat untuk berpidato, kita akan merasa sangat siap untuk melaksanakannya karena sudah terbiasa berlatih secara mental. Kegugupan-kegugupan dapat diminimalisir dan tidak ada masalah lagi. Singkat kata, hasilnya akan sangat baik.

Berangkat dari pendapat pakar cybernatics dari buku yang kubaca itu (itupun tidak kubaca hingga habis, hanya bab-bab awal saja) dan wejangan dari teman diskusiku, yaitu seorang atlit anggar profesional yang sangat mendukung teori tersebut -dia adalah perempuan yang bila berbicara terdengar cerdas dan berpengetahuan luas (sering membaca Intisari, Reader’s Digest dan buku apapun), diselingi hembusan-hembusan nafas panjang seakan ketika berbicara pun, dia sedang bermeditasi- maka aku pun terdorong melakukan hal serupa untuk kehidupan cintaku. Oh, kehidupan cintaku yang merana, kering, kerontang. Ya, di usiaku yang sudah seperempat abad ini, aku belum benar-benar merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya pada lawan jenis (maksudku cinta yang benar-benar menjeratku dan membuatku merasa senang karena terjerat tentunya).

Aku tidak pernah berpacaran. Aku memang sangat pemalu dalam membina hubungan romantis dengan lawan jenis. Atau lebih tepatnya, aku sering bersikap memalukan dalam menghadapi seseorang yang kusukai. Dulu aku juga merasa bahwa ritual berpacaran seperti bertemu di malam minggu atau saling menelpon hingga berjam-jam akan menyita waktu. Ketimbang merasa tidak nyaman, kupikir kutunda saja masalah cinta-cintaan ini sampai benar-benar menemukan seorang lelaki yang tampaknya adalah jodohku. Di samping itu, aku terinspirasi dengan kisah ibuku yang hanya berpacaran sekali dengan lelaki yang lalu menikahi Ibu, yaitu Ayah. Jadi keputuskan untuk bersabar menunggu jodohku datang.

Tapi tentu layaknya perempuan normal, ada rasa cinta yang bersemi pada diri mudaku. Sewaktu aku duduk di kelas 1 SMA, seorang kakak kelasku yang juga teman SMP kakakku, mengenalkanku dengan temannya yang ketua OSIS. Ternyata teman seniorku itu, menaruh hati padaku. Cukup rajin dia meneleponku. Pada awalnya aku ketakutan setengah mati seperti anak perawan mau dikawinkan dengan Datuk Maringgih. Pernah, jam 4 pagi aku terbangun memikirkan bahwa hidupku akan terganggu dengan kehadirannya. Kupikir dia yang sudah duduk di kelas 3 SMA terlalu dewasa untukku. Sama sekali bukan lelaki yang akan membuatku tertarik pada pandangan pertama, kedua, ketiga, keempat. Entahlah… kurasa kalau teman-teman tidak bolak balik menggodaku, menyemangatiku, menyebut nama lelaki itu dan memujinya, tak akan suka aku padanya.

Tapi ya, selayaknya kisah gadis yang luluh akan perhatian seorang lelaki, takluklah aku. Bukan pada figur ketua OSIS itu, tapi pada rasa suka itu sendiri. Rasa terbuai pada bayangan bahwa ada lelaki yang akhirnya benar-benar berminat mengenalku. Romansa cinta mengintaiku dan membuatku kerap tersenyum.

Pada suatu hari, di telepon dia mengatakan ingin menemuiku esok hari, sepulang sekolah karena ada yang ingin disampaikannya. Sahabatku sangat yakin dia mau menyatakan rasa sukanya, menembakku… Ya Allah, aku sangat cemas. Walaupun namanya mulai menggetarkan hatiku, namun bukan berarti aku ingin berpacaran dengannya. Pada hari itu, aku langsung bergegas pulang. Seingatku, dari lapangan sekolah kupandangi dia ada di balkon lantai empat sekolahku. Entah apa yang ada di pikirannya. Kami tidak pernah membahas hal itu dan aku pun bersyukur bahwa tidak berlangsung insiden ”penembakan” yang benar-benar bisa membuatku pingsan itu. Kami tetap memiliki hubungan yang baik sebagai teman. Selulusnya dari SMA, dia diterima di Undip dan pindah ke Semarang. Aku sempat merasa kehilangan. Dia berpesan untuk mengiriminya surat tapi tidak pernah kulakukan.

Suatu saat ketika aku dan adikku bercakap-cakap, adikku mengatakan bahwa seniorku itu tampaknya lelaki yang baik. Ya, Seringkali ketika dia meneleponku, aku sedang mandi, sehingga agaknya dia menyempatkan diri untuk berbasa basi dengan adikku. Dia memang tampak bersedia untuk mengenal keluargaku. Kakak dan adikku menjadi topik yang pernah dibicarakannya. Adikku heran kenapa aku tidak membalas rasa sukanya. Saat itu, kurasa aku masih terlalu remaja untuk menyadari pesonanya. Mungkin saja bila aku bertemu dengan lelaki seperti itu kini, perasaanku akan bergetar. Seiring waktu, barulah aku menyadari kenapa orang-orang di sekitarku menyukainya. Dia adalah laki-laki yang karismatik, tegas, dan bisa memimpin. Kenapa aku baru menyadarinya?

Itu adalah kisah cinta pertamaku dibangku SMA. Kisah yang lain adalah rasa suka diam-diam dalam hati dan rasa terpesonaku pada seorang laki-laki muda periang, yang pernah kulihat tertawa dibawah sinar matahari yang membuat wajah kecokelatannya tampak bersinar (apa aku terlalu berlebihan?). Untuk lelaki yang terakhir ini, kurasa akan selalu ada rasa kagum dariku. Mungkin ini bukan cinta. Bila memikirkannya, aku sadar bahwa dunia bisa tertawa karena laki-laki seperti ini.

Dia baik hati namun terkadang menyebalkan, cerdas, menarik, membuat orang lain tertawa: jenaka! Ketika bernostalgia dengan sahabat lamaku, aku baru menyadari bahwa lelaki ini pernah sangat menyukai seorang teman perempuanku di SMP. Teman perempuanku itu memang sangat menarik. Mungkin bukan gadis tercantik namun dia punya pesona kewanitaan yang sulit diabaikan, cerdas, santun, sangat manis. Katakan saja dia memiliki 3B: brain, beauty, dan behavior. Tidak mengherankan laki-laki yang kusukai pernah jatuh suka pada gadis itu. Selama di SMA, aku tidak pernah benar-benar menunjukkan sikap bahwa aku menyukai teman lelakiku itu, namun bila dia peka, pastilah dia pernah menangkap gerak-gerik konyolku yang jelas-jelas suka padanya.

Itu semua adalah masa lalu. Kini, aku sudah pada tahap benar–benar membutuhkan teman hidup. Seseorang yang menjadi tempatku berbagi suka dan duka hingga akhir hidupku. Tekadku sudah bulat untuk cepat menemukannya atau justru menjemputnya. Kembali ke masalah visualisasi yang kubicarakan diawal tadi, tak kunjungnya aku menemukan cinta, kebingunganku untuk menemukan jodohku, mendorongku untuk memvisualisasikan laki-laki idamanku. Dengan membuat visualisasi yang mendalam, aku seperti mengirim doa kepada-Nya agar lelaki inilah yang akan diturunkan-Nya entah dari langit bagian mana untukku. Dan akan lebih mudah bagiku untuk mencari lelaki yang tepat karena dia sudah tergambar jelas dibenakku. Bagaimana, ide yang baik bukan? Tidak ada ruginya bila kuwujudkan ide ini. Dan ide ini sungguh membuat hatiku hangat…

Harus dari mana kumulai deskripsiku tentang lelaki ini? Hmm… mungkin dari fisiknya dulu.. Kenapa aku jadi bersemangat begini? Ya, dia lebih tinggi dariku. Tingginya tak kurang dari 170 cm, mungkin 175 sampai 180 cm. Badannya tidak kurus namun juga tidak gemuk. Dia memiliki figur yang ramping. Dia suka berolah raga joging, renang, dan bela diri (mungkin aikido, karate, taekwondo, atau capoeira). Kulitnya terang dan bersih, mungkin tampak sedikit kecokelatan karena dia menyukai kegiatan outdoor. Ketika SMA dia adalah seorang pecinta alam yang senang mendaki gunung, namun kini karena sudah bekerja maka ia mengurangi hobinya tersebut. Tetapi bila liburan tiba, dia masih senang menjelajahi berbagai tempat sebagai backpacker. Dia memiliki rambut ikal lembut, yang akan berterbangan ringan bila diterpa angin, rahang yang kuat, serta tatapan mata yang tajam dan dalam, mungkin sedikit sipit menunjukkan karakter dari darah Jepangnya.

Ya, dia adalah seorang Indonesia yang memiliki darah Jepang karena kakeknya menikah dengan perempuan Jepang. Seringkali bila kupandangi, wajahnya tampak seperti tokoh dalam komik Jepang. Untuk yang satu ini, aku memiliki alasan khusus. Ketika remaja, aku terperangkap dalam pesona komik Jepang, yang membuatku memiliki bayangan romantis mengenai Jepang dan masyarakatnya. Lepas dari kebenaran gambaranku tentang Jepang, aku jatuh cinta pada negara itu. Aku pun jatuh cinta pada karakter-karakter pria tokoh utama dalam berbagai komik Jepang. Dan tentunya, lelaki yang kuimpikan ini pun juga mencintai budaya Jepang. Kami menjadi teman diskusi yang seru mengenai komik Jepang dan hal-hal yang terkait negara Jepang.

Masih berhubungan dengan asal usul, lelaki impianku itu juga memiliki darah Minang. Apa aku terdengar seperti sangat sukuisme? Oooh, jangan menganggapku seperti itu. Hanya saja kedua orangtuaku sangat mendambakan menantu yang berasal dari suku yang sama dengan mereka. Setiap kuprotes hal itu, ibu mengatakan memiliki pasangan hidup dari suku yang sama akan mempermudah interaksi dalam rumah tangga. Aku menerima hal ini dengan setengah hati. Kalau semua orang meyakini hal itu, tentu tidak ada keragaman di dunia. Tidak akan ada percampuran yang melahirkan karakter-karakter eksotik. Terlebih lagi, perbedaan bisa saling mengisi, bukan? Tapi untuk menyenangkan hati orangtuaku, tak masalah bila kuwujudkan keinginana mereka dalam sebuah gambaran ideal. Dalam kenyataannya kesamaan suku bukanlah prioritas utamaku.

Kembali pada gambaran lelaki tadi, dia cukup memahami bahasa Jepang. Oleh karena neneknya ingin dia tetap mempertahankan identitas Jepangnya, maka neneknya rajin mengajarinya berbahasa Jepang dan mereka sering bercakap-cakap dalam bahasa Jepang. Dia juga memiliki hasrat yang besar terhadap bahasa Inggris karena semenjak kecil dia senang menonton film CHiPs yang dibintangi Erik Estrada, yang membuatnya terkesan dengan kata-kata asing yang didengarnya. Inggris adalah bahasa yang sangat dikuasainya. Ketika berbahasa Inggris, dia terdengar seperti seorang native speaker.

Lelaki ini mencintai fotografi dan banyak mengajariku mengenai makna foto. Dia seseorang yang artistik. Dia ingin merekam rasa yang muncul dan senang menghentikan moment kehidupan di sekelilingnya dengan menekan shutter kamera. Dia adalah lelaki yang cerdas, berwawasan luas, dan mencintai ilmu alam. Hmmm… sebenarnya apa pun minatnya, selama itu adalah minat yang baik, bukanlah suatu masalah bagiku. Sebaiknya aku segera beralih pada hal yang lebih penting, yaitu karakternya.

Dia memiliki perangai yang keras, namun dibalik itu ada kelembutan hati yang terbentuk karena pola asuh bundanya. Ayahnya membentuk dia menjadi lelaki tegas dan kharismatik. Dia sungguh mencintai orangtuanya dengan tulus, yang ditunjukkannya lewat tindakan. Dia memiliki jiwa kepemimpinan alami. Dihargai dan dihormati oleh orang-orang disekitarnya. Dia bisa membuat gadis-gadis jatuh cinta dengan kharismanya namun dia sangat menjaga integritas dirinya dengan tidak mengobral cinta. Dia bisa membuat orang-orang disekitarnya tersenyum, tergelak dalam tawa karena candanya namun ia tidak berlebihan. Dia adalah seorang muslim yang taat, selalu berusaha menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tentunya, dia melaksanakan shalat shubuhnya dengan baik.

Wow… laki-laki yang luar biasa. Dimana aku bisa menemukannya? Satu hal yang jelas, laki-laki ini jatuh cinta padaku dan aku pun jatuh cinta padanya. Lalu Allah Yang Maha Pengasih menyatukan kami dalam ikatan pernikahan yang suci dan indah. Dia menganugrahkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah pada kami dan mengkaruniai kami dengan anak-anak yang soleh dan solehah.

Tiada manusia yang sempurna. Tidak mungkin dipungkiri. Aku mengantisipasi hal ini. Jika dapat memilih kekurangannya maka kekurangan lelaki ini adalah dia tidak romantis. Tidak ada rayuan-rayuan manis yang dia tujukan padaku. Tetapi, aku selalu merasakan bahwa dia mencintaiku. Itu sesuatu yang tidak kuragukan dan aku pun mencintainya dengan setulus hati. Terkadang aku akan memandangnya dengan remuk karena mengharapkan ada sedikit romantisme diantara kami namun dia tidak memahaminya. Akan tetapi, dalam setiap sentuhan kecilnya, aku dapat merasakan ketulusan cintanya, kasih sayangnya. Seperti ketika kakiku lecet karena berlari menggunakan sepatu keds yang sudah rusak, tiba-tiba ada sepasang sepatu lari yang dia belikan untukku. Atau ketika aku berulang tahun, dia bangun sangat pagi untuk menyiapkan sarapan berupa nasi goreng ikan asin yang terlalu banyak ikan asinnya. Dia bukanlah lelaki yang senang membawa rangkaian mawar untukku namun dia selalu membuatku melihat indah mawar dari perilakunya.

Bersamanya duniaku selalu penuh warna. Tidak membosankan. Kami bersinergi untuk membuat hidup kami masing-masing menjadi lebih indah. Walaupun begitu, aku tidak ingin bergantung kepadanya dan demikian pula dirinya. Kami saling melengkapi. Kami adalah dua individu yang terpisah namun dipersatukan olehnya dalam ikatan suci yang InsyaAllah kami pertahankan di dunia dan bila Ia perkenankan akan terus berlanjut di dalam keindahan kekal milik-Nya.

Walaupun saat ini aku sedang menyatukan kepingan hatiku karena perasaan yang tidak berbalas, setidaknya gambaran lelaki impianku ini mampu membuatku tersenyum. Aku tahu ini adalah impian. Pada akhirnya aku hanya meminta kepada Dia yang Maha Mengetahui agar memberikanku jodoh yang menurut-Nya adalah yang terbaik. Karena Dia lah penciptaku, yang paling memahamiku.


by;air