Senin, 23 Agustus 2010

ketika takdir memisahkan cinta

Rasanya sudah terlepas semua beban yang dirasakan Aurel, siswi kelas XII SMU Harapan Bangsa ini telah menyelesaikan Ujian Akhir Sekolah nya, kini ia hanya tinggal menunggu saat-saat yang paling dinanti-nantikan yaitu pengumuman hasil Ujian Akhir Nasional (UAN).
Hari ini rencananya ia akan pergi hang out bersama Dava kekasih Aurel, mereka baru jadian selama sekitar satu bulan, jadi gak heran kalau sekarang ini mereka sedang merasakan sebuah cinta yang begitu indah di antara mereka. Tepat pukul 9.30 pagi Dava datang menjemput Aurel di rumahnya, yang beralamat di daerah Buaran Jakarta Timur.

“Sorry ya, pasti udah nunggu lama,” Dava membuka percakapan diantara mereka.

“Ah, nggak kok kamu datang tepat waktu, sesuai janji kamu,” kata Aurel.

“Ya udah jalan yuk.” Dava menggenggam tangan Aurel sembari berpamitan kepada orang tua Aurel.

Setelah selesai menonton film di 21, mereka memutuskan untuk segera kembali ke rumah. Hal itu dilakukan karena Dava harus berlatih band bersama teman-temannya. Dava adalah seorang gitaris di bandnya.
“Nanti malem ke sini ya,” Aurel meminta Dava untuk datang menemuinya.
“Hmm, kayaknya ga bisa deh, aku cape banget nih,” Dava mengeluh. “Besok malem aja yah,” lanjut Dava. Aurel hanya bisa mengiyakan kata-kata kekasihnya itu.
Bel rumah Aurel telah memanggil penghuni rumah tersebut untuk segera menyambut seseorang yang telah menunggu di depan pintu rumah itu. Tak lama kemudian Aurel pun keluar. Setelah ia membuka pintu, seseorang yang telah ia nantikan sudah berdiri di depan pintu pagarnya dengan segala pesona cintanya.

“Itu buku apa?” Dava menanyakan tentang sebuah buku yang sedang dipegang Aurel.
“Hmm, ini aku lagi coba-coba bikin puisi,” kata Aurel. “Kamu bisa bikin puisi?” lanjut Aurel.

Dava hanya tersenyum mendengar kata-kata Aurel. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Aurel segera menyerahkan selembar kertas dan pena kepada Dava. Dava segera menuliskan kata-kata yang terangkai dengan indah.

Setelah selesai menulis Dava segera menyerahkan kertas tersebut kepada Aurel dan meminta untuk membacakannya. Di bawah cahaya bulan purnama yang diselimuti langit malam dan berhiaskan gemerlap sang bintang Aurel membacanya perlahan-lahan.

Jika di dunia ini, ada banyak orang yang sayang sama kamu
Aku pasti salah satunya…
Jika di dunia ini, hanya ada satu orang yang sayang sama kamu
Orang itu pasti aku…
jika di dunia ini, Tidak ada orang yang sayang sama kamu
Itu berarti, aku telah tiada…

Aurel terdiam sesaat setelah membaca tulisan dari Dava, ia merasakan kata-kata tersebut masuk ke dalam relung hatinya yang paling dalam dan sepertinya sudah tidak bisa keluar lagi.
“Dava, kayaknya waktu kita untuk bersama udah gak lama lagi deh,” kata Aurel dengan nada yang sedih.
“Kenapa?”
“Rencananya aku mau melanjutkan kuliah aku di Australia dan itu berarti kita harus berpisah.”

“Walaupun hal itu harus terjadi, hubungan kita ini gak boleh berakhir, cinta ini gak akan bisa dipisahkan apapun kecuali kematian, aku percaya kamu Aurel.”

Kemudian Dava memainkan sebuah lagu yang diciptakannya sendiri khusus buat Aurel. Lagu itu mengalun dengan lembut, syairnya yang begitu indah, diiringi melodi gitar yang menusuk kalbu yang senantiasa menenggelamkan kegelapan malam. Lagu itu sepertinya menjadi sebuah tanda perpisahan bagi mereka.

***

“Aurel, ayo cepat nanti kamu ketinggalan pesawat,” teriak mamanya dari lantai bawah rumahnya. Aurel masih terdiam di kamarnya menunggu kehadiran Dava. Ia begitu resah karena Dava tak kunjung datang padahal ini hari terakhirnya di Indonesia. Sampai tiba saatnya Aurel pergi meninggalkan rumahnya, Dava tak juga datang. Air matanya pun tak lagi bisa terbendung.

Ternyata Dava sudah ada di bandara sebelum kedatangan Aurel. Di tangannya terlihat sebuah gitar lengkap dengan tasnya.

“Aurel, gitar ini aku berikan buat kamu sebagai kenang-kenangan dariku dan sebagai pengganti diriku jika kamu merindukan aku, dan aku mohon saat kamu kembali ke sini lagi kamu harus bisa memainkannya dan kamu harus bisa memainkan lagu yang waktu itu aku ciptakan buat kamu.” Dava menggenggam erat kedua tangan Auerel. Air mata jatuh membasahi pipi keduanya.

“Dava, aku janji aku pasti bisa melakukan itu semua. Sekarang aku minta berikan aku senyuman indahmu dan peluklah erat tubuhku seperti kamu tak akan pernah membiarkanku pergi, saat kukembali nanti aku akan menyanyikan lagu itu dengan gitar ini, aku janji.”
Mereka berpelukan erat seperti lupa akan segalanya. Dengan berat hati Aurel segera meninggalkan Dava menuju pesawatnya. Air mata tak henti-hentinya membanjiri wajah mereka.

***

Di Australia Aurel bertemu dengan Dimas, kebetulan ia adalah teman satu universitas Aurel yang kebetulan jua berasal dari Indonesia. Dimas dikenal sebagai seorang yang pandai memainkan gitar, hal itu tentu tidak disia-siakan Aurel untuk belajar gitar dengannya. Setiap harinya ia selalu menyempatkan diri untuk berlatih gitar dengan Dimas setelah jam kuliah selesai. Dimas sendiri juga tidak pernah merasa bosan saat mengajari Aurel bermain gitar.

Selama ini Aurel dan Dava masih suka berhubungan lewat e-mail dan terkadang Aurel menelpon Dava yang berada di Jakarta untuk sekedar menanyakan kabar dan bagaimana kuliahnya. Suatu sore ia datang ke apartement Dimas dengan sebuah gitar di tangannya.
“Kamu sudah mulai mahir main gitarnya,” seru Dimas. “Kenapa sih, kayaknya kamu ingin sekali bisa bermain gitar, kamu suka banget ya sama musik?” lanjut Dimas, sambil memberikan minuman buat Aurel.

“Sebenarnya aku kurang suka sama gitar, tapi ada sesuatu yang memaksaku agar aku bisa melakukan ini semua,” jelas Aurel.
“Apa itu?”
“Ah sudahlah, sekarang kita lanjutkan saja dulu. Setelah aku lancar memainkan lagu ini baru aku ceritakan semuanya sama kamu.”

Setelah sekian lama berlatih akhirnya Aurel bisa menguasai alat musik petik yang diberikan oleh kekasihnya itu. Ia juga sudah bisa memainkan lagu yang diberikan Dava untuknya.
“Sekarang kamu sudah bisa memainkan lagu itu. Kamu pernah janji sama aku kalau kamu sudah bisa memainkan lagu itu, kamu akan menceritakan padaku tentang apa yang terjadi dengan kamu di balik ini semua,” kata Dimas.
“Baiklah aku akan menceritakan ini semua sama kamu. Lagu ini diberikan dan diciptakan khusus untukku oleh orang yang sangat aku sayangi. Sebelum kepergianku ke sini, ia memberikan aku sebuah gitar dan selembar teks lagu lengkap dengan susunan nada-nada nya. Ia memintaku untuk bisa memainkan lagu ini dengan gitar yang ia berikan. Sebentar lagi aku akan menemuinya karena aku belajar di sini hanya sampai bulan depan.”

***

Setelah dua tahun kuliah di Australia, kini tiba saatnya bagi Aurel untuk kembali ke Indonesia. Ia sudah lama menantikan saat-saat kepulangannya ini. Ia sengaja tidak memberitahukan Dava tentang kepulangannya dari Australia karena ia ingin memberikan sebuah kejutan untuk Dava.

Sebelum ke bandara ia terlebih dahulu datang ke apartement Dimas untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besar nya, karena Dimaslah ia bisa main gitar dan bisa memenuhi janjinya terhadap Dava. Dimas juga bersedia mengantarka Aurel ke bandara.
“Good bye. Never try to forget me!” Itulah salam perpisahan dari Dimas.
Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, Aurel akhirnya sampai di bandara. Di sana ia dijemput kedua orang tuanya. Aurel tampak begitu lelah, oleh karena itu mereka segera pulang ke rumah. Sesampainya di rumah Aurel segera menghempaskan tubuhnya ke kasur yang telah lama ia rindukan.

“Aku akan segera manemuimu,” kata Aurel dalam hati sesaat setelah ia melihat gitar pemberian Dava yang sedang bersandar di dinding kamrnya. Gitar itu seakan tersenyum melihat Aurel.

Keesokan harinya Aurel pergi untuk menemui Dava. Ia pergi ke tempat di mana Dava biasa bermain band, tak lupa ia membawa gitar pemberian Dava. Ia ingin memberikan sebuah kejutan buat Dava. Namun studio yang biasanya ramai dikunjungi teman-teman Dava sore ini tampak sepi tak seperti biasanya. Dava sendiri juga tak terlihat batang hidungnya. Aurel tampak kecewa dengan hal itu, ia memutuskan untuk kembali ke rumah nya.
Aurel kini mencoba untuk langsung menemui Dava di rumahnya. Ia menyanyikan lagu yang diciptakan Dava di depan pagar rumah Dava seperti seorang pengamen. Tak lama kemudian seseorang keluar dari rumah tersebut.

“Aurel, kapan kamu sampai di Jakarta?” tanya ibunda Dava sembari mengajak Aurel masuk.
“Hmm, dua hari yang lalu, Tante.” Aurel sedikit kecewa karena bukan Dava yang menyambut kedatangannya.
“Dava ke mana, Tante? Kok dari tadi belum kelihatan?” Aurel tak bisa menyembunyikan kerinduannya terhadap Dava.

Namun ibunda Dava tidak menjawab pertanyaan Aurel. Ia justru terlihat meneteskan air mata yang jatuh membasahi kedua pipinya. Entah apa yang sedang ia pikirkan sehingga ia meneteskan air matanya, lalu ia memeluk Aurel dengan begitu erat.
“A..ada apa, Tante?’ tanya Aurel dengan nada yang terbata-bata karena heran.
“Aurel, dua bulan yang lalu Dava pergi, namun ia pergi tidak seperti kamu yang hanya pergi ke Australia dan hanya untuk sementara, tapi Dava pergi ke lain dunia dan ia juga pergi untuk selama-lamanya.” Air matanya semakin mengalir deras.

“Da…Dava meninggal, Tante?” Bagai tersambar petir di siang bolong Aurel kaget hingga ia nyaris pingsan setelah ibunda Dava mengiyakan pertanyaannya.
“Tante, ceritain Aurel kenapa semua ini bisa terjadi, dan Aurel mohon, Tante tunjukkan di mana Dava dimakamkan, Aurel ingin ke sana sekarang juga!” Betapa sakitnya hati Aurel saat ini, ia seperti orang yang sudah tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Setibanya di pemakaman ia langsung memeluk makam Dava, sungguh sebuah kesedihan yang mungkin tidak akan pernah bisa disembuhkan.

“Kenapa kamu pergi? Kamu janji akan menunggu aku pulang dan aku sudah memenuhi janjiku untuk bisa memainkan lagu darimu dengan gitar yang juga pemberian darimu, tapi kenapa…… kenapa kamu pergi untuk selama-lamanya dan meninggalkan aku sendiri, membiarkan aku hancur karena kehilangan kamu.”
“Aurel, cukup, relakan dia pergi! Kita harus pulang sekarang hari sudah semakin sore, Dava akan bahagia di sisi-Nya.” Mereka pun berlalu meninggalkan makam Dava. Namun sebelum pulang ibunda Dava memberikan Aurel sebuah surat yang ditulis Dava sebelum kepergiannya.
“Ini surat dari Dava, kamu bacanya di rumah saja. Ia berpesan cuma kamu yang boleh membuka surat ini,” jelas ibunda Dava.

Aurel, terima kasih karena kamu sudah menepati janji kamu dan maaf aku nggak bisa nepatin janjiku sama kamu. Aku nggak bisa melawan penyakit yang telah aku derita sejak kecil. Kamu harus mengerti Aurel semua ini bukan keinginanku, semua ini kehendak Tuhan. Aku nggak bisa berbuat apa-apa karena aku yakin ini yang terbaik darinya untuk aku juga utuk kamu.

Kamu harus merelakan kepergianku. Aurel, nyanyikanlah lagu itu ketika kamu merindukan aku, percayalah aku akan selalu hidup di dalam hatimu.

Begitulah isi surat dari Dava. Tak terbayangkan lagi berapa banyak air mata yang telah dikeluarkan Aurel hingga membasahi lantai kamarnya. Setelah kejadian itu Aurel hanya bisa melewati hari-harinya dengan berdiam diri dengan memegang gitar pemberian Dava.

by;redita dewa

pendengar setia

“Sekarang Kakak tanya sama kamu, Tih. Jawab yang jujur, mengapa kamu masuk kerja di perusahaan ini?”

Aku diam, mengepalkan tanganku. Kecurigaan dapat kulihat jelas dari bola matanya.

“Jawab, Tih.”

Aku tetap bungkam. Kali ini bukan wajah Kak Tio yang kutatap tapi dadanya . Jantung, tempat hatinya berada.

“Baiklah, jika kamu tidak mau menjawab pertanyaan Kakak, akan Kakak cari sendiri jawabnya.”

Namaku Ratih, aku bekerja di perusahaan keluarga. Sebut saja Perusahaan Kelihatan Maju. Jabatanku sekarang adalah staf keuangan. Staf? Ya. Hanya sebagai staf. Tapi apalah arti sebuah jabatan untukku, juga bagi mereka yang tahu siapa aku.

Sudah lama aku bekerja di perusahaan ini. Dimulai sejak aku duduk di sekolah menengah tingkat pertama. Jabatanku adalah sekretaris. Begitulah kata atasanku, yang tak lain adalah papaku. Mungkin jabatan itu diberikan karena aku sering menemaninya pergi ke bank untuk melakukan transaksi bisnis. Atau mungkin juga diberikannya jabatan itu untuk menyenangkan hatiku. Jika hati seseorang senang, tentulah dengan senang hati pula ia akan menolong. Teori ini berlaku untukku. Aku bangga dan tak anyar aku memamerkan jabatanku kepada teman-temanku. Aku dan atasanku seringkali ke bank untuk mengambil uang dengan jumlah besar. Pada suatu ketika kami di bank, atasanku menerima panggilan rapat mendadak. Selesai ia menandatangani cek, ia memberitahukan kepada teller agar uang tersebut diserahkan saja kepadaku.

“Pak, jangan anaknya yang bawa uang, nanti hilang,” kata teller.

“Saya percaya kepada anak saya,” jawabnya, lalu beranjak pergi.

Aku dapat melihat dengan jelas raut ketidaksukaan di wajah teller itu. Mungkin dia tidak pernah membawa uang sebanyak yang akan kubawa, pikirku geli. Bukannya sombong, aku sudah biasa membawa uang sebanyak itu. Dan syukurlah, Tuhan selalu melindungi aku.

Kepindahanku ke Jakarta tidak menghalangiku membantu perusahaan. Kebetulan kantor pusat kami berada di Jakarta, yang ditangani oleh Kak Yanti, kakakku yang pertama. Aku membantu selepas selesai kuliah. Pekerjaanku masih sama, dari bank ke bank, tetapi aku tidak mendapatkan jabatan. Yang dapat kubanggakan di sini adalah sisi kemanusiaanku, jiwa penolongku.

Dua tahun kemudian, selepas pulang dari Amerika, Kak Tio, abangku ikut bergabung di perusahaan. Oleh Kak Tio, aku disarankan untuk fokus kepada kuliahku, juga pada masa mudaku. Aku ingat perkataannya, “Ti, kamu masih muda, kamu tidak boleh menghabiskan waktumu hanya untuk kuliah dan bekerja. Ingat Ti, kita bukan keluarga yang tidak mampu. Lebih baik kamu menikmati kuliah kamu, dan hubunganmu bersama dengan teman-temanmu”.

Aku menolaknya. Terjadilah pertengkaran antara Kak Yanti dan Kak Tio. Kak Tio menuduh Kak Yanti telah memaksakan kehendak kepadaku. Ayahku juga ikut bicara.

“Ti, Papa saja ingin bisa kuliah lagi. Kalau ada yang mau biayai Papa sekolah, Papa mau.”

“Apa maksud Papa bicara seperti itu?” tanyaku tak mengerti.

“Papa ingin kamu fokus pada kuliahmu. Tidak usah lagi membantu kantor, karena sudah ada Kak Tio. Untuk uang kuliah dan jajanmu, kamu boleh pilih, ingin dibayar oleh kantor atau Papa?” Dengan lemas aku menjawab “dibayar oleh papa”. Dalam hal ini, hanya mamaku yang tidak angkat bicara.

Aku sedih, andai mereka tahu, bahwa kebanggaanku terletak di sana, yaitu ketika aku bisa membantu usaha keluargaku. Aku keluar dari perusahaan Kelihatan Maju.

Ketika lulus kuliah, aku mencoba melamar di beberapa perusahaan. Aku belum beruntung, sudah tiga bulan melamar tapi belum ada satu pun pekerjaan yang kudapat. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Kak Yanti dan Mama. Mereka mengajakku kembali membantu usaha keluarga.

“Ayolah Ti, bantu Kakak. Tidak ada orang yang Kakak bisa percaya untuk memegang keuangan, dan Mama tidak sanggup jika sendirian.”

Jiwa pahlawanku bangkit, namun ada sedikit rasa malu menghinggapiku. Apa kata orang jika aku masuk perusahaan keluarga, karena aku tidak berhasil mendapatkan pekerjaan.

“Tapi aku ingin mencoba bekerja di tempat lain, Kak,” akuku.

“Bodoh kamu Ti, untuk apa kamu memikirkan perusahaan lain jika kamu punya perusahaan sendiri? Perusahaan membutuhkanmu.” Mama ikut bicara

“Berikan aku waktu untuk berpikir, Ma, Kak.”

Setiap hari mereka membicarakan harapan mereka, memancing emosiku. Aku menyerah. Kuputuskan untuk membantu perusahaan keluarga.

Saat ini, aku berada di dalam rapat keluarga. Ada Papa, Mama, Kak Yanti, dan Kak Tio. Rupanya Kak Tio tidak puas dengan jawabanku kemarin.

“Kita ada disini, untuk membicarakan tentang Ratih,” Kak Tio memulai. “Aku tidak setuju jika Ratih bekerja di perusahaan ini,” tambahnya.

Aku diam, menahan emosiku.

“Pertama, Ratih tidak berpengalaman. Kedua, perusahaan ini tidak membutuhkan lulusan psikologi. Kakak bisa dengan mudahnya mencari pengganti posisimu di perusahaan ini dan membayar upah mereka lebih murah. Jika, Kak Yanti merasa satu orang kurang untuk menggantikan Ratih, Tio bisa menambahkannya,” katanya.

Aku dapat melihat kesombongan di matanya. Juga kebodohan di otaknya.

“Mengapa kamu ingin bekerja di perusahaan ini, Tih?” tanya Kak Tio.

Aku dapat melihat kecurigaan di matanya.

“Apa kamu takut tidak akan mendapatkan uang Papa suatu hari nanti,” lanjutnya.

Ah, kali ini pandangan mataku tembus sampai ke jantungnya. Papaku angkat bicara

“Jika seperti itu kekuatiranmu, jangan kuatir Ti. Sahammu aman. Papa percaya bahwa Yanti dan Tio tidak akan mengambil bagianmu.”

Kutatap nanar ke arahnya. Airmata yang tak dapat kutahan mengalir dengan derasnya. Aku berlari keluar dari ruang rapat, ke arah ruanganku. Mengambil kunci mobil, dan bergegas menuju mobilku. Pergi dari sini, kalimat itu yang terpikir olehku.

Aku memarkirkan mobil di depan rumah. Lalu masuk ke kamarku. Menangis sepuas-puasnya. Suara dering SMS membuatku terjaga dari tidur. Kutatap jam wekerku. Pukul 2 pagi.

Aku beranjak dari tempat tidur, mencari makanan yang dapat kumakan. Dan kembali ke kamarku. Di pintu kamarku aku menemukan secarik kertas. Rapat akan dilanjutkan besok. Kak Yanti. Dengan geram, aku melepaskan kertas itu dari pintu. Aku tidak akan datang ke kantor besok, tekadku. Rupanya mereka membaca pikiranku. Rapat pun diselenggarakan di rumah.

“Suka atau tidak, masalahmu harus diputuskan,” jelas Kak Tio. Aku tertawa sinis.

“Yang punya masalah itu aku atau Kak Tio,” pikirku. Hanya saja tak mampu kukeluarkan kata-kata itu.

“Bagaimana Ti?” tanya papaku.

“Apanya yang gimana?” tanyaku pelan.

“Rencanamu untuk masa depanmu,” jelasnya.

“Ingat Ti, kamu sudah tidak diterima di perusahaan Kelihatan Maju,” Kak Tio mengingatkanku.

Aku diam. Mereka pun diam. Sepuluh menit kami diam.

“Rapat kita lanjutkan besok,” kata Papa bangkit, diikuti Kak Tio, Kak Yanti, kemudian Mama.

***

Aku sedang menikmati alunan musik, ketika pintu kamarku diketuk.

“Masuk,” teriakku.

Mama dan Kak Yanti mendekatiku.

“Jangan takut dengan Tio, Ti. Bukan dia yang punya perusahaan,” Mama mengingatkanku.

“Iya, Ti. Biarkan saja dia ngomong gak keruan. Jangan diambil hati. Nanti juga dia capek sendiri,” timpal Kak Yanti.

“Yang penting kamu bertahan. Kamu hanya perlu bilang ke Papa kalau kamu tertarik belajar dunia usaha dan belum terpikir ingin menjadi seorang psikolog. Kakak yakin papa akan mengerti.”

***

Pagi–pagi aku dibangunkan oleh suara ketukan. Kubuka pintu.

“Rapat dimulai pagi ini. Buruan mandi,” perintah Kak Tio.

Kunyalakan shower. Aku diam di bawahnya. Memejamkan mata. Berharap air dapat menentramkan jiwaku. Berharap kegundahanku teratasi.

Aku duduk di kursi yang sudah mereka sediakan.

“Kakak ingin jawabanmu hari ini,” tegas Kak Tio.

“Aku tidak suka menjadi seorang psikolog,” akuku.

“Lantas untuk apa kamu kuliah mengambil jurusan psikolog?” selidik Kak Tio.

“Aku ingin membuat Papa bangga. Dengan menjadi seperti keinginannya. Akan tetapi di tengah perjalanan, aku merasa sudah tidak kuat lagi melanjutkannya. Gelar yang kuraih itu sudah cukup kupersembahkan untuk Papa.”

“Salahmu sendiri,“ jawab papaku, lanjutnya, “kamu sudah besar, seharusnya bisa berpikir dengan baik.”

Aku mengambil nafas panjang sebelum berkata, “Aku ingin belajar dunia usaha, makanya aku bergabung di perusahaan Papa,” jawabku.

“Kamu sekarang hanya sebagai staf, jika itu maumu, tidak perlu Papa sekolahkan kamu tinggi-tinggi. Cukup sampai SD.”

Deg. Hatiku terkoyak. Kupejamkan mataku. Semoga air mataku tak menetes, doaku kepada Tuhan.

Kupandangi wajah Mama dan Kak Yanti, meminta pertanggungjawaban mereka. Namun yang kudapat, mimik wajah tak berdosa.

Sudah lima tahun berlalu sejak saat itu. Dikarenakan tak ada jawaban dariku, Papa dan Kak Tio yang memberi keputusan. Aku dikeluarkan dari perusahaan Kelihatan Maju. Seharian aku menangis, lalu tercetuslah ide gila, melarikan diri. Aku melakukannya. Kutinggalkan secarik kertas di tempat tidurku. Aku tidak menginginkan hartamu, Pa. Ratih.

Saat ini aku berada di Malang, bekerjasama dengan temanku, membuka usaha catering. Kabar terakhir yang kudengar, papaku meninggal setahun yang lalu. Terkena serangan jantung, di saat bertengkar mulut dengan Kak Tio. Seminggu kemudian, Kak Tio dilarikan ke rumah sakit jiwa. Dan jika kalian bertanya bagaimana nasib perusahaan kami, jawabnya Tuhan masih memberkati perusahaan kami. Aku tahu perusahaan kami mempunyai banyak hutang. Dan jika aset kami dilelang, masih tidak cukup untuk membayar hutang. Apalah jadinya, Mama dan Kak Yanti, jika hal itu terjadi, karena rumah tempat mereka tinggal, juga ikut menjadi jaminan di bank. Semoga Mama dan Kak Yanti bisa mengatasi masalah ini, karena harapan perusahaan kami ada di pundak mereka. Aku hanyalah seorang pendengar setia atas apa yang terjadi, melalui Susi, pembantu setiaku, yang masih tinggal bersama Mama dan Kak Yanti.

by;novita

kisah kepada fajar

Sudah berapa kali kau jatuh cinta? Sama siapa saja?

Kalau pertanyaan ini kuajukan pada anak-anak ABG sekarang, pasti mereka akan semangat dengan segudang jawaban reaksi dan ekspresi.

Masa muda emang penuh cinta Mbak. Hmm, cinta itu universal Mbak, bla..bla..bla. Jatuh cinta itu kayak sebatang coklat, Mbak. Jatuh cinta itu, menghanyutkan. Dan sederet definisi yang mereka fahami tentang cinta dan jatuh cinta.

Tapi kalau pertanyaan itu kuajukan pada para akhwat yang notabene aktivis dakwah? Jatuh cinta ya? Jawaban yang kudapat, cinta itu untuk Allah semata yang kemudian cinta seterusnya itu harus karena-Nya.

Begitu?

Kalau begitu ini aku punya kisah…

***

Kisah menundukkan pandangannya ketika dia lewat. Kisah menyingkir cepat-cepat dari jalan itu. Beristigfar berulang-ulang pada jantungnya yang berdegub gugup.

“Astagfirullah,” Kisah mengulangi Istigfarnya, berhenti untuk menenangkan perasaannya, mencengkram ujung jilbabnya. Dia menggeleng keras, “Ini tidak boleh.”

“Lagi-lagi hanya orang itu, kenapa harus orang itu?“ Kisah menatap arak-arakan awan di langit yang menampakkan matahari di atas langit fakultasnya, fajar sudah lewat, dan langit di atasnya sudah terang. Dia tidak berharap arak-arakan awan di angkasa itu akan menjawabnya. Kuliah sebentar lagi di mulai.

***

Kisah pertama kali melihatnya saat registrasi mahasiswa baru, di tempat pengisian formulir. Orang itu meminjam tipX-nya dan tidak pernah dikembalikan, mungkin sudah hilang, dan Kisah tidak pernah memintanya. Dua tahun yang lalu saat Kisah masih mahasiswa baru, pesona orang itu mulai menyitanya, hanya dia yang menyadarinya. Hanya dia yang menyadari kalau orang itu menyita perhatiannya.

Orang itu duduk di kursi paling depan, memperhatikan pemateri seminar dengan serius, sesekali dia mencatat sesuatu di blocknotenya, wajahnya teduh dan kharismatik, berjas almamater dan bersama rombongan berjas almamater seperti halnya Kisah. Berarti sama-sama mahasiswa baru di fakultas yang sama. Kisah bertanya-tanya pada kepalanya sendiri, dia jurusan apa, tapi pertanyaan itu dia telan sendiri hanya untuk dirinya.

***

Sejak kecil, Kisah sangat menyukai fajar yang menyingsing. Matahari yang menyembul pelan-pelan itu. Setelah shalat subuh di surau dekat rumah, dia dan teman-temannya duduk di pinggir dermaga dekat surau, senang menunggui fajar berlalu sampai memunculkan matahari yang terang. Setelah puas, jam tujuh pagi Kisah kecil dan teman-temannya baru kesekolah. Sampai sekarang, dia semester empat di perkuliahan, Kisah masih senang menunggui fajar sampai waktu shalat dhuha. Lalu berangkat kuliah.

Dia pernah ditanyai teman sekontrakannya tentang hobi uniknya ini, dia hanya tersenyum dan berkata, hobi masa kecil. Karena selepas tilawah usai shalat subuh, Kisah pasti bergegas menuju tempat jemuran kontrakan yang memiliki lubang besar untuk melihat langit. Disitulah kisah mengamati berlalunya fajar, hingga shalat dhuhanya.

***

Tiap kali ada seminar untuk mahasiswa baru, orang itu pasti ikut. Dia selalu duduk paling depan. Dengan wajah serius, tenang dan damai sangat menghargai pemateri seminar. Kisah bukannya memperhatikan materi seminar, dia malah menulis deskripsi tentang orang itu di lembar blocknotenya. Lak-laki dengan wajah damai paling terang sendiri di mata Kisah, paling beda sendiri di antara kumpulan mahasiswa baru lainnya. Laki-laki itu seolah sibuk dengan dunia dalam kepalanya. Dia tidak pernah menoleh kiri-kanan, matanya tajam dan fokus ke depan tapi, teduh.

“Ya, Mbak yang di pojokan bisa bantu saya?” seru Pemateri.

Kisah tersentak dari keasyikannya mencatat tentang orang itu.

“Hah, saya?” tanya Kisah memastikan.

“Ya, Anda.”

Dan Kisah pun menghentikan sesaat deskripsinya tentang orang itu.

***

Kisah adalah rekan Akhwat yang sangat tangguh, aku senang bekerja bersamanya dalam menghadapi agenda-agenda dakwah. Dia profesional. Ibadahnya pun kuat. Di saat aku sibuk mengunyah di hari Kamis, dia saat itu sedang Shaum, aku jadi malu. Di saat aku sedang nge-net di kesekretariatan, dia malah sedang Al-matsuratan di sampingku. Aku malu lagi. Pokoknya kalau ibadahku lagi drop, aku banyak malu deh kalo sama Kisah. Di saat aku sedang mimpi indah di tengah malam, dia pasti mengagetkanku dengan miscall ke HP-ku, biar bangun Qiyamullail. Dan yang paling identik dengan Kisah adalah: dia punya hobi unik, menunggui fajar hingga shalat dhuha. Anaknya romantis juga ya. Saat itu kutanyai dia, ”Ukh, kenapa senang menunggui fajar hingga shalat dhuha?”

Dia menjawab santai, ”Ukhty Shanti sayang, itu kebiasaan sejak kecil sama teman-teman sepermainan, gak tahu kenapa. Menunggu fajar membuat Kisah bisa memuhasabahi diri kali ya?”

Gak tahu, kan yang tahu alasannya kan Kisah, bukan aku.

***

Pertanyaan sederhana tentang orang itu, seperti jurusannya dan hal-hal sederhana lainnya terjawab sendiri ketika Kisah tahu orang itu seorganisasi dengannya. Kisah jadi sering menangisi hatinya di tiap Dzikirnya. Apakah dia telah menduakan Rabbnya.

***

Saat itu ada syuro membahas program acara salah satu departemen di organisasi, Kisah berargumen dan memberi masukan. Tapi setelah itu dia banyak diam. Terus diam sambil sesekali memurajaah hafalan surahnya, begitu terus sampai syuro berakhir.

***

Orang itu melintas di depan mushala fakultas. Kisah baru saja selesai shalat dhuha. Kisah melihatnya. Ada yang menjalar di hatinya, Kisah diam, hatinya rusak.

***

Di sekret, aku sedang menyelesaikan artikel untuk mading. Sedangkan Kisah sedang mengerjakan tugas kuliahnya di sampingku.

“Asssalamualaikum.” Suara seorang ikhwan dari balik hijab.

“Waalaikummussalam,” jawabku, sedangkan Kisah diam sambil sibuk menggaris-garis sesuatu di atas kalkir yang sama sekali tidak menarik bagiku.

“Ukhty, Kisahnya ada?” tanya Ikhwan itu.

Kisah diam saja, aku menoleh padanya. Dia gak denger ato gimana sih.

Aku mencoel lengan Kisah.

”Ukh, ada ikhwan yang nyari tuh,” bisikku.

“Tahu,” katanya datar.

“Trus?”

Dia menggeleng keras. Aneh, kamu kenapa Kisah?

Akhirnya aku yang berbicara dengan si Ikhwan.

”Ada apa, Akh? Nanti saya sampaikan ke Ukhty Kisah.”

Ternyata si ikhwan yang bertugas membuat Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) bermaksud menanyakan LPJan dari sie yang diamanahkan pada Kisah.

***

Dari jauh, orang itu terlihat, berjalan dengan tenang. Kisah buru-buru menyingkir, memutar jalan, mencari jalan lain dengan maksud agar tidak berpapasan dengannya.

***

Esoknya, Kisah menitipkan LPJannya ke aku.

“Ukhty Shanti, bisa minta tolong?”

“Apa?”

“Tolong berikan LPJan ini ke Akhi Fajar.”

“Kenapa gak kamu sendiri aja?”

Kisah menggeleng keras, wajahnya datar.

”Gak bisa.”

“Kamu ada urusan lain? Ato gimana?”

Kisah menggeleng keras lagi.

”Pokoknya gak bisa,” kata Kisah sambil berlalu begitu saja.

***

Kisah tidak berani masuk sekret, orang itu lalu-lalang di sekitar sekret. Sebentar lagi, SKI fakultas akan mengadakan acara besar, sehingga kesibukan akan sering tampak di sekitar sekret. Kisah menangis, menangisi hatinya yang rusak. Menangisi apakah cinta Allah masih pantas untuknya, sedangkan tiap kali orang itu melintas, hatinya tak kuat menahan perih karena mencintai orang itu diam-diam. Kisah beristigfar berkali-kali.

***

Orang-orang memanggilnya Kisah, lengkapnya Markisah Syahrani. Sekarang semester empat di Fakultas teknik, sefakultas denganku. Cuma beda jurusan, juga beda angkatan. Gadis manis berjilbab yang jilbabnya melebar seiring bertambahnya pemahamannya tentang aurat wanita dalam Islam. Aktif organisasi. Gadis yang aktif di rohis saat SMA, dan kini dia sama-sama denganku di organisasi keislaman fakultas. Suatu hari hari gadis ini datang padaku dengan terisak, air matanya mengalir. Dia menangis tanpa suara. Aku memeluk saudari seimanku ini, akutidak berani memastikan tangisnya, aku menenangkanya, menyuruhnya beristigfar. Setelah sedikit mendingan, kutanyai lembut, ”Ada apa, Ukhty?”

Dia kembali memelukku dan kembali menangis, dan dengan terbata-bata, ”Aku mencintainya, Ukhty, hatiku rusak.”

Aku biarkan dia menangis dalam pelukanku.

“Fajar, Ukhty. Fajar. Aku tidak bisa menunggui fajar menyingsing dan terangnya matahari lagi, tidak bisa Ukhty,” Kisah sesenggukan.

“Kau tahu? Karena kebiasaanku masa kecilku itu malah makin mengingatkan aku padanya, kenapa bisa kebetulan, Fajar.” Kisah terkoyak, seolah seluruh jiwanya menangis.

Aku menangis. Kisah makin tergugu.

“Kisah mencintai Fajar, Ukhty. Hati ini rusak, bantu Kisah untuk menatanya.”

Itu fitrah, tapi ah, hatimu pasti perih saudariku.

***

Kisah tidak pernah sekalipun berpartner dengan Fajar, tidak pernah sekalipun berinteraksi dengan ikhwan ini. Satu-satunya ikhwan yang tidak ada dalam phone book HP Kisah. Fajar juga bukan tipe ikhwan yang menonjol seperti Fatih, Bangun, ataupun Razak atau seperti Akhi Zumar, Dimas, Imam yang aktif di BEM dan Himpunan. Fajar adalah ikhwan yang biasa-biasa saja. Bersahaja, pembawaannya tenang namun ulet dan amanah, tipe orang di balik layar. Dia luput dari pengamatan siapa saja jika berada di tengah potensi ikhwan-ikhwan yang lain. Tapi tidak bagi Kisah, Fajar tidak pernah luput, dari awal, sejak dia dan Kisah sama-sama masuk universitas.

Kisah menyibukkan diri di banyak amanah, memperbanyak Dzikir, meningkatkan kualitas ibadahnya. Dia berharap dia tidak menunggui Fajar lagi. Tidak ada lagi melihat fajar menyingsing seusai subuh.

by;sketsa ines

mencari cahaya mimpi

Gelisah menjelma dibilik-bilik jiwa

Mengurung ribuan kisah

Sampai nyaris sesak tak bisa bernapas

rentang waktu yang berlarian

Masih saja tak bisa ku ajak bicara

Tentang letih yang sering kali singgah

Membiarkanku mengeja setiap peristiwa

melapal satu demi satu sejarah diri

maka temukanlah aku dalam sunyi,

ketika segala gelisah mereda

kerinduan menyelinap mencari cahaya

di ujung segala resah

aku berhenti meragu

Jika hatimu terasa gundah

Berbaringlah dalam kesunyianmu

Jika hatimu tak lekas cerah

Pejamkan matamu dan tidurlah

Bawa dirimu terbang dan melayang

Dalam indah dunia mimpi

Jika hatimu t’lah riang

Buka mata dan bangkitlah dari mimpimu

Karena ada orang-orang yang menantimu

‘Tuk rasakan belai kasihmu

by:nurhayati

menantimu

Seberkas sinar menyilaukan menusuk pupil mataku, membuatku mengerjap perlahan. Tapi tunggu! Di mana saat ini aku berada?!? Lalu kubuka mataku, namun sinar putih itu menembusnya tajam hingga membuatku kembali memejamkannya. Saatku kembali terpejam, memoriku kuputar kembali ke beberapa waktu lalu, yang kuyakin dengan begitu aku akan tahu jawaban dari pertanyaanku, di mana aku saat ini.

(flashback)

Kulihat seorang gadis dengan senyumnya yang sangat manis bergelayut di lengan kananku, sepintas aku lupa siapa dia? Aku hanya merasa bahwa dia adalah seorang yang sangat dekat denganku. Dengan manja dia terus bergelayut seolah tak ingin lepas barang sedetik pun. Lalu gadis itu merapatkan bibirnya di telingaku lalu berbisik,

“Mas, kamu tahu nggak kenapa aku jadi seperti ini?” Aku menggelengkan kepalaku.

“Karena saat ini aku bahagia, kamu tahu kenapa?” Sekali lagi aku menggelengkan kepalaku.

“Aku hamil, Mas,” ungkap gadis itu dengan memamerkan ekspresi bahagianya.

Ya Tuhan, kini aku ingat siapa gadis itu, dia adalah Rona, istriku yang sudah aku nikahi selama tiga tahun, istriku yang sangat aku cintai dan mencintai aku?!?

***

Aku kembali membuka mataku, masih silau namun aku berusaha untuk bisa menatap sekelilingku. Pertama yang kulihat hanya buram, namun lama-lama mulai nampak jelas. Aku berada di sebuah ruangan yang serba putih, dan beraroma obat-obatan, yah aku berada di kamar rumah sakit. Tapi kenapa aku berada di sini??? Sekali lagi aku mencoba mengembalikan ingatanku di peristiwa terakhir yang membawaku ke sini.

(flashback)

“Ma, aku berangkat dulu ke rumah sakit,” pamitku pada seorang wanita tengah baya. Hm, mamaku???

“Tapi ini udah malam, Ren!”

“Nggak tahu kenapa, Ma, aku kangen banget sama Rona, lagian kan udah dari dua hari yang lalu aku belum ke rumah sakit.”

“Tapi kamu kan baru aja sampai dari luar kota?!? Apa kamu nggak cape???” Aku menggelengkan kepalaku, buatku tak ada rasa capek untuk bertemu dengan istriku yang teramat aku cintai.

“Aku pergi dulu, Ma,” ucapku lalu kucium punggung jemari wanita yang telah melahirkanku itu.

“Iya, tapi hati-hati di jalan ya,” katanya. Aku mengangguk. Lalu aku pergi dengan mobil warna hitamku. Tak seberapa lama, aku mendengar bunyi ponselku. Bip… tit… dit… aku mengangkatnya.

“Kak Rendra, ini Marsha, barusan aja Kak Rona menggerakkan jarinya, cepetan ke sini ya, Kak.” Lalu aku pun segera melesatkan mobilku melebihi batas kecepatan normal. Aku ingin segera melihat Rona bangun, aku tak sabar ingin melihatnya sadar, setelah sekian lama koma. Koma???

***

Aku segera beranjak dari tempat tidurku, menyadari bahwa Rona koma, dan itu artinya aku harus bergegas menemuinya. Lalu melangkah keluar dari kamarku, anehnya aku masih mengenali koridor menuju ke kamar tempat Rona dirawat. Aku segera berlari ke sana, berharap melihat Rona telah tersadar dari tidur panjangnya.

Sesampainya di depan kamar aku berhenti lalu masuk, namun masih saja beribu kecewa kurasakan, karena Rona masih saja aku temukan terbaring lemah di sana. Lalu aku melangkah mendekatinya. Kusentuh keningnya lalu bibirnya, masih saja tak bergerak. Kuhembuskan nafasku panjang seraya menggenggam erat tangannya yang kurang lebih selama dua bulan membeku. Lalu tiba-tiba saja sepenggal ingatanku kembali lagi.

(flashback)

“Selamat, Pak, anak Anda laki-laki,,” kata seorang dokter sesaat setelah keluar dari ruang persalinan.

“Lalu bagaimana dengan istri saya, Dok?” tanyaku panik. Dokter itu diam, lalu menarik nafasnya panjang,

“Istri anda banyak mengeluarkan darah, dan sampai sekarang dia masih belum siuman, teruslah berdoa, Pak, hanya Tuhan yang bisa membantunya, sedangkan kami team dokter hanya bisa berusaha.”

Bagai petir menyambar kepala dan hatiku, hancur berkeping-keping.

***

Tanpa sadar airmatakupun meleleh untuk yang kesekian kalinya. Aku kecewa jelas kecewa karena Tuhan tak mendengarkan doa yang kupanjatkan untuk Rona. Yang aku inginkan tidaklah banyak dan sulit, aku hanya ingin Tuhan memberikan yang terbaik untuknya, entah itu sadar ataupun pergi untuk selamanya, asalkan jangan membuatnya menderita seperti ini, terjebak di antara dua dunia. Aku tak rela Rona harus merasakan semua ini!

Secepatnya kuhapus airmataku saat kulihat pintu kamar terbuka perlahan. Marsha, adik Rona, bersama seorang pria tengah menggendong tangan seorang anak berusia sekitar lima tahunan masuk ke dalam. Lalu anak itu turun dari pelukan pria itu dan berlari mendekatiku. Hm, bukan, dia mendekati Rona.

“Mama, bangun, Ma, ini Rendra,” kata anak itu sambil menyebut namaku. Namaku? Bukan?!? Nama anak itu sama dengan namaku?!? Rona membuka matanya perlahan lalu tersenyum. Demikian juga dengan pria itu,

“Maafin aku ya, aku terlambat, jadi nggak bisa nemenin kamu melahirkan, tapi aku sudah melihat anak kita kok, dia cantik seperti kamu,” katanya mengejutkanku.

“Aku yang harusnya minta maaf, San, nggak nungguin kamu datang. Kamu nggak keberatan kan? Aku ngotot untuk melahirkannya tepat di tanggal, hari, dan jam yang sama dengan waktu kematian Mas Rendra? Dan aku juga ngotot untuk ditempatkan di ruangan ini agar…” kata Rona lalu menangis.

Pria itu mengelus rambut Rona lalu berkata,

“Sudahlah, aku bisa memakluminya kok.”

(flashback)

Aku melihat traffic light berwarna merah lalu sorot lampu menyilaukan sebuah kendaraan besar muncul dari arah kanan, tampak begitu jelas di mataku, dan dengan begitu cepat mendekat!!!

***

Segera kulepaskan tanganku dari tangan Rona, tubuhkupun bergetar, shock! Dan ternyata itu membuat Rona seperti menyadari kehadiranku. Matanya lembut menembus mataku, tepat! Meski mungkin dia tak benar-benar bisa melihatku.

“…agar kamu bisa menemui aku, Mas, maafkan aku,” desisnya pelan, namun sangat jelas terdengar di telingaku.

***

Namun setidaknya aku kini bisa pergi dengan tenang, karena Rona kini telah hidup bahagia, meskipun bukan bersamaku lagi. Terima kasih Tuhan, Kau telah mengabulkan doaku untuk Rona, Kau telah memberikan yang terbaik untuknya, meski bukan yang terbaik untukku. Namun aku tetap merasa bahagia.

by;onik

sajak si miskin

Kala mentari mulai gagah mengangkang
Hujanpun menjerit lari terbirit – birit
Dan tangismu memecah pagi
Kian menghimpit dadaku yang makin menyempit.

Kusumpal tangismu dengan tetekku
Yang tinggal kulit menggantung didada
Tanpa isi tanpa sari
Hanya setetes air bukan asi.

Kala laparmu mulai menyerang
Kutanak nasi basi ditungku
Tanpa garam, ikan asin atau sayuran
Hanya nasi aking pemberian orang.

Tubuhmu tinggal tulang berbalut kulit
Meringkuk lemah dalam dekapku
Sorot mata bagai hendak meloncat
Dari kepalamu yang terkulai di tubuhku
Yang juga tinggal tulang merenta.

Maafkan aku, Anakku………..
Tak ada beras yang dapat kumasak
Nasi basi pun harus berebut dengan kucing
Kecoa dan tikus mati kelaparan
Di rumah kita yang beratap langit.

Matahari mulai meninggi
Hati orangpun makin meninggi
Berebut tempat yang tinggi
Saling menginjak tak lagi peduli
Harga – harga yang kian tinggi
Kebutuhan hakiki tak terbeli.

Maafkan Ibu, anakku, maafkan Ibu
Hanya kasih yang bisa Ibu beri

by;nia mulya

hanya impian semusim

Perlahan Anisa memasukkan kerudung merah ke dalam kardus. Hatinya hancur berkeping – keping. Semangat hidupnya kini memudar. Air matapun tak henti berderai. Jengkerik malam meringkik perlahan mengiringi jatuhnya buliran air dari pelupuk matanya. Malam itu begitu sunyi, sesunyi hatinya yang sangat terluka. Jam di dinding baru menunjukkan pukul 11 malam. Mata Anisa tak bisa diajak tidur. Hatinya sangat sakit. Dia merasa menjadi wanita yang paling malang di dunia. Selalu dicampakkan oleh lelaki yang dicintainya. Ada sejuta tanya bergayut di hatinya. Mengapa dalam percintaan selalu dia dicampakkan oleh pria yang dicintainya? Rasanya dia sudah tidak kuat menanggung derita dihatinya, hingga beberapa kali dalam sholat tahajutnya dia mohon pada Allah untuk dicabut saja nyawanya. Dia tahu itu tidak pantas dilakukannya, namun hatinya serasa tlah patah, remuk redam.

Dua bulan sudah sejak Handoko memutuskan pertautan cinta dengannya, lebih tepatnya perselingkuhan, karena status Handoko yang sudah beristri. Perpisahan yang begitu tiba – tiba, karena istri Handoko yang nekat ingin bunuh diri, mengetahui suaminya berbagi cinta dengan wanita lain.

Walau Anisa sudah memperkirakan cepat atau lambat perpisahan itu pasti akan terjadi, tetap saja hati Anisa terasa sakit. Hanya Handoko yang bisa membuka kembali pintu hatinya sejak tujuh tahun kepergian suami Anisa yang tiba–tiba, karena sakit jantung. Handokolah yang memberi keyakinan bahwa masih ada cinta sejati untuknya, cinta sejati yang tidak akan menyakiti, yang berjanji akan selalu membuat bahagia hidupnya. Cinta sejati Handoko yang terpendam selama puluhan tahun sejak perpisahan mereka di SMA. Ya itulah Handoko teman SMA Anisa yang dikirim Allah untuk mengisi hari–harinya dengan sapa mesra dan kasih sayang. Yang memberi harapan kembali untuk Anisa akan sebuah cinta yang takkan pudar oleh waktu.

Teringat kembali bagaimana Handoko menyapa mesra setiap pagi ketika Handoko berangkat dan pulang kerja. Jarak yang jauh antara mereka tidak mengurangi intensitas kasih sayang diantara dua insan yang sedang dimabuk asmara, walau hanya lewat telpon.

“Pagi, Cinta,” sapa Handoko pagi itu.

“ Pagi juga, Sayangku.”

“ Dah mandi belum, Cintaku.”

“Udah dong, kan sampeyan jam segini pasti nyapa aku, jadi aku dah mandi dari tadi.”

“Coba dengerin lagu ini.” Handoko membesarkan volume tape recorder yang ada di mobilnya. Terdengarlah lagunya Ungu yang berjudul cinta selamanya.

“ Yuk nyanyi bareng, Say.”

“Ayuk.”

Begitulah sapa Handoko tiap pagi. Banyak lagu kenangan yang mereka nyanyikan bersama – sama. Pertautan cinta itu sudah berlangsung selama 8 bulan. Kadang Handoko menemui Anisa di waktu–waktu libur dengan berbagai alasan kepada istrinya. Rasa cinta itu terjalin sejak Handoko mencari Anisa di rumah kakak Anisa di kota tempat kelahiran Anisa. Entah apa gerangan yang membawa Handoko berusaha mencari–cari Anisa. Sejak itu Handoko selalu intensif telepon dan berkunjung ke rumah Anisa walau jarak yang jauh memisahkan mereka berdua. Dengan kelembutan dan kesabaran Handoko, akhirnya Anisa mau membuka hatinya untuk kehadiran lelaki lain setelah kematian suaminya tujuh tahun yang lalu. Anisa sendiri tak habis pikir mengapa dengan beberap kali pertemuan saja hatinya bisa menerima Handoko. Apa mungkin karena Handoko adalah teman SMA Anisa dan tahu sifat – sifat Handoko yang sepertinya tidak mungkin akan tega menyakitinya seperti yang pernah dilakukan oleh suaminya.

“Aku janji takkan tinggalin kamu, aku akan selalu mencintai kamu tidak ada batas waktu untuk menghapus cintaku padamu, semoga kau mengerti, Sayang.” Begitulah janji Handoko kepada Anisa di suatu siang lewat SMS.

Masih terkenang pertemuan terakhir di suatu siang di stasiun Jatinegara. Mereka berdua bergandengan tangan, melepas rindu. Handoko tampak malu–malu ketika Anisa menyuapi bakso yang mereka pesan.

“Rasanya seperti mimpi ya, kok bisa ya kita seperti ini?” ucap Handoko saat itu.

“Gak tahu ya, aku juga gak mengerti kenapa dengan mudah aku bisa menerimamu di hatiku, padahal aku tahu kau sudah beristri,” jawab Anisa.

“Tahu gak, kadang aku punya pikiran jahat. Kenapa istriku gak mati saja,” kata Handoko kemudian.

“ Lho kok gitu,” sahut Anisa.

“Iya, soalnya istriku gak mau diduain, pusing deh,” kata Handoko lagi.

“ Yah, kita pasrah aja pada Allah, bermohon pada Allah agar kita diberi jalan keluar yang terbaik untuk kita,” lanjut Anisa.

“ Sayaaang, Cintaaa,” panggil Handoko sambil mencium tangan Anisa.

“Honey,” sahut Anisa.

Anisa merasa jengah, karena Handoko melihatnya terus, mengelus pipinya. Ah rasanya dag-dig dug berkecamuk dihati Anisa. Takut ada temen Anisa yang mengenalinya.

Siang itu mereka boncengan pakai motor Anisa. Rasanya indah sekali bisa memeluk Handoko era-erat. Meskipun pertemuan itu hanya sesaat namun sangat berkesan dalam hati Anisa. Saat Handoko mau pulang ke kotanya Anisa mencium tangan Handoko. Bak seorang istri mengantarkan suaminya berangkat kerja. Itulah yang dilakukan Anisa kepada suaminya dahulu. Ternyata itu adalah pertemuan terakhir mereka berdua.

Dua minggu kemudian setelah istri Handoko mengetahui bahwa suaminya masih menjalin hubungan dengan Anisa, istri Handoko mengancam akan buuh diri. Saat itu Handoko sangat panik. Sambil menangis di telepon Handoko, menyatakan tak sanggup lagi melanjutkan hubungan itu.

“Istriku melapor ke ibuku, kini semua keluargaku sudah mengetahuinya. Istriku menangis terus, dan anak–anakku pun akhirnya mengetahuinya. Maafkan aku gak bisa memenuhi janjiku. Meskipun kita gak berkomunikasi lagi, bukan berarti aku nggak mencintaimu, kita pasrah saja pada Allah. Kita tunggu hikmah apa di balik ini semua,” begitu ucapan Handoko terakhir kali.

“Jadi kau putusin aku begitu saja?” tanya Anisa.

“ Kita pasrah saja pada Allah, ya! Maafkan aku ya,” isak Handoko pagi itu.

Hati Anisa hancur, Anisa tak bisa berkata apa–apa. Baru kemarin siang mereka bernyanyi bersama, mengucapkan kata–kata cinta yang indah, tiba–tiba kata–kata perpisahan keluar dari mulut Handoko. Air mata meleleh dipipi Anisa seketika. Rasa sakit yang menyeruak tiba–tiba, menyesakkan dada kirinya. Anisa mengambil air wudhu untuk sholat Dhuha. Dia tumpahkan kepedihan hatinya kepada Sang Pencipta. Hari–hari Anisa selanjutnya terasa hampa. Ingin rasanya Anisa mati saja. Muncul pertanyaan dalam hati Anisa, mengapa percintaannya selalu berakhir dengan dirinya yang dicampakkan. Tidak adakah laki-laki di dunia ini yang tulus mencintainya dan sanggup memperjuangkan cinta sejati untuk Anisa. Mengapa harus Handoko yang datang untuk menyakiti hatinya. Anisa sudah tak ingin memikirkan rencana hidup kedepan, ia ingin mengalir saja sebagaimana hidup akan membawanya terus berjalan. Mungkin inilah takdir yang memang sudah digariskan untuk Anisa dan Handoko, bertemu kembali, saling mencintai untuk kemudian dipisahkan oleh keadaan.

Pelan–pelan Anisa menutup kardus yang berisi barang-barang Handoko. Kardus yang berisi buku-buku, kerudung, dan segala macam barang pemberian Handoko. Inilah cara Anisa untuk melupakan Handoko, mengubur dalam–dalam cintanya untuk Handoko. Anisa berharap dengan cara itulah Anisa bisa melanjutkan perjalanan hidupnya yang entah akan berwarna seperti apa. Besok pagi kardus itu akan ia paketkan ke alamat kantor Handoko. Anis juga harus mempersiapkan persyaratan-persyaratan untuk berangkat keluar negeri. Minggu depan Anisa akan melakukan penelitian ke Jepang selama sembilan bulan. Sejak berpisah dari Handoko Anisa mengikuti saran atasannya untuk mengikuti penelitian ke Jepang. Anisa berharap dengan meninggalkan Indonesia, dia akan bisa mengubur kenangannya bersama Handoko.

by;nia mulya

how stupid am i

Berbagai cara sudah aku coba untuk bisa melupakan sosoknya dengan selalu mengenang kejadian menyakitkan yang pernah terjadi dua belas tahun yang lalu, tapi tetap saja aku tak pernah bisa lupa. Entah kenapa sosok dirinya masih begitu melekat erat dalam hatiku, bahkan semakin parah saja, sehingga membuatku tetap sendiri di usiaku yang sudah menginjak dua puluh sembilan tahun ini. Kenapa tak ada pria yang bisa menggantikan posisinya di hatiku? Kenapa aku tetap mencintainya meskipun berulang kali dia menyakiti perasaanku? Kenapa aku begitu bodoh? Sampai kapan aku mau terus begini?

“Aya.” Suara Mama membelah lamunanku. Segera aku mengubah ekspresi sedih di wajahku, aku tak mau Mama tahu keresahanku.

“Apa, Ma?”

“Besok Tante Erni datang. Bukan apa-apa sih. Ehm, maksudnya beliau mau mengenalkan putranya ke kamu.”

Lagi-lagi… Kutarik nafas panjang. Sudah tiga kali ini Mama berbuat begini. Aku sih maklum saja, itu semua karena kedua adik perempuanku sudah menikah.

”Kamu masih belum menyerah kan, Ya?”

Kutarik bibirku mencoba tersenyum.

“Sebenarnya Aya sudah capek, Ma. Tapi buat Mama, Aya akan selalu coba.”

Mama mendatangiku lalu mengusap rambutku.

“Bukan maksud Mama menjodohkan kamu. Ya, Mama cuma mau bantu.”

Aku anggukkan kepalaku.

“Thanks, Ma.”

***

Seperti kata Mama kemarin, Tante Erni, teman SMU Mama, datang. Aku pun bergegas merapikan rambut panjangku, dan masih tetap dengan perasaan dingin aku keluar kamar. Sama seperti yang kurasakan saat kedatangan kedua teman Mama yang lain sebelum ini. Aku berhenti sejenak di depan pintu saat memandang pria bertubuh tinggi yang saat ini tengah berdiri berhadapan dengan Mama, dan itu artinya membelakangi aku. Sejenak aku terkesima. Sosok itu mirip… Tapi model rambutnya berbeda. Jantungku mulai berdebar, lalu kuhela nafasku panjang. Kenapa dari belakang sosoknya mirip sekali dengan Andre? Pria yang selama ini tak mampu hilang dari pikiranku.

“Aya.” Mama melambaikan tangannya ke arahku, mataku terus menatap pria itu nanar. Aku pun melangkah mendekat, sambil terus mencoba menenangkan diri. Sedangkan pria itu sama sekali tak menoleh ke arahku. Tante Erni tersenyum.

“Hai, Ya,” sapanya.

“Malam, Tante,” balasku.

“Kenalin nih.”

Deg!!! Jantungku benar-benar copot, yang benar saja… Dia benar-benar Andrean Satria.

“Hai Ya, kita ketemu lagi,” sapanya sambil mengulurkan tangannya. Dengan hati gundah gulana aku balas jabatan tangannya yang hangat.

“Lho kalian kok,” ucap Mama bingung.

“Aya dan Andre sempat berteman waktu SMU, Ma,” ucapku.

“Berteman?” balas Andre.

Ups! Aku merasa konyol mengatakannya, tapi…

“Sebenarnya kami sempat pacaran. Bukan begitu, Ya?”

Andre tetaplah Andre, orang yang suka bicara blak-blakan dan apa adanya.

“Wah kebetulan dong kalo gitu,” ucap Tante Erni seraya tersenyum menggodaku.

“Kalo gitu, kalian nostalgialah dulu. Mama sama Tante Erni masuk ke dalam dulu.”

Lalu mereka berdua meninggalkan kami. Cukup lama aku terdiam, canggung rasanya meskipun mungkin pertemuan kembali ini sangat aku harapkan.

“Kamu masih sama seperti dulu, Ya. Cantik dan lugu,” kata Andre memecahkan keheningan.

Namun aku masih diam, aku malah kembali teringat saat terakhir kali aku bertemu dengannya. Kejadian itu sangat menyakiti aku. Tanpa sadar airmataku pun menitik, dan Andre mengusapnya dengan lembut.

“Aku minta maaf, Ya,” katanya.

Maaf? Kenapa satu kata itu tak pernah terpikir olehku? Apakah aku bisa memaafkannya atas kejadian itu? Kalo tidak, kenapa aku masih menyimpan perasaan cinta padanya? Kenapa semua ini ternyata begitu membuatku bingung? Aya, apa sih maumu? Katamu cuma Andre, dan sekarang dia telah berdiri di depanmu, tapi kamu nggak bisa mengucapkan apapun. Bahkan kata maaf pun tak pernah terpikirkan olehmu?!?

“Aku ingin mengulangi semuanya dari awal, kalo kamu nggak keberatan, Ya. Aku ingin memperbaiki hubungan kita dulu.”

Andre ingin memperbaikinya. Ini kan yang aku seharusnya harapkan, tapi kenapa seolah aku tak bisa mengharapkan dia. Kenapa aku ini?

Terbayang lagi kejadian per kejadian di masa laluku. Begitu playboynya pria satu ini, putus sambung lebih dari sepuluh kali dalam satu tahun, dan yang terakhir kalinya…

“Kamu terlalu percaya diri, kalo aku nggak akan mungkin mutusin kamu, Ya,” ucapnya saat itu.

“Tapi kamu selalu minta kembali ke aku kan?” balasku tak mau kalah waktu itu.

“Itu semua ada alasannya. Mau tahu?” bisiknya “Karena kamu adalah cewek yang paling bisa aku bodohi. Hahaha….”

Sekeras mungkin aku tampar pipi Andre, sakit mungkin tapi tetap tak sesakit luka hatiku.

“Eh, kamu kira aku sungguh-sungguh mencintai kamu ya!”

Sekali lagi Andre mencelaku, dan sekali lagi hampir aku mendaratkan tamparanku yang kedua di pipinya, tapi tangannya keburu menangkapku.

“Mana ada sih cewek yang mau diajak balik setelah cowoknya menyeleweng kecuali kamu, Ya. Udah gitu sampai berulang-ulang lagi. Konyol!!!”

Tangan Andre menghempaskan tanganku keras. Hhh…

***

“Ya, Aya,” panggil Andre menyadarkan aku dari lamunanku. Aku menatapnya tajam,

“Sekali lagi untuk kesekian kalinya, An, aku maafin kamu,” kataku.

Andre tersenyum seraya menggenggam tanganku, aku segera melepaskan tanganku.

“Tapi aku bukan Aya yang dulu begitu bodoh di matamu. Aku nggak akan mengulanginya lagi.”

“Tapi aku yang sekarang juga bukan aku yang dulu, Ya, aku sudah berubah,” balas Andre.

“Apalagi kamu sudah berubah, An. Aku akan merasa belum pernah mengenal kamu, kenapa aku harus nekat pacaran dengan seseorang yang belum pernah aku kenal?”

Sungguhkah aku mengatakan ini pada Andre? Aku sendiri tak percaya. Aku yang begitu tak bisa melupakan Andre, setelah dua belas tahun ini.

“Maaf, An. Aku nggak bisa.”

Aahhhh, lega rasanya dadaku setelah sekian lama aku terkungkung dalam bayangan pria ini, seolah kini aku terbang bebas, lepas semua beban yang selama ini menghimpitku. Dan aku tak menyesal dengan keputusanku ini. Yang jelas aku bukan Aya yang bodoh lagi, sekarang aku sudah berubah. Mulai hari ini, mulai detik ini, aku sudah berubah. Aku mengembangkan senyumku yang kali ini tak aku paksakan.

“An, maaf ya,” kataku. Andre tersenyum kecut.

“Kamu merasa menang sudah menolakku?!?” katanya mengejutkan aku.

“Di sini nggak ada yang menang dan yang kalah, An.”

“Lalu kenapa kamu tersenyum?”

“Aku merasa beban yang selama ini aku tanggung, raib begitu saja. Terima kasih, An, kamu sudah membantuku menghilangkannya.”

“Aku sama sekali nggak merasa membantumu. Aku datang ke sini hanya karena aku mau tahu apakah kamu masih tetap Aya yang bodoh seperti kataku dulu.”

Deg!!! Aku menatap Andre tak percaya, dia kembali mengatakan aku bodoh.

“Dan ternyata masih tetap saja bodoh. Sudah tahu nggak bisa melupakan aku, nggak mau aku ajak balik lagi. Aku harap kamu menyesal!”

Aku terkejut, namun aku malah bahagia, bersyukur karena ternyata aku tak salah menolaknya.

“Aku nggak menyangka kamu tetap nggak berubah juga, An. Hm, pokoknya thanks deh, apapun yang kamu katakan, aku tetap thanks ke kamu. Tunggu ya, aku panggil Mama dan Tante. Aku capek mau tidur, sekali lagi thanks, An. Untung banget lho kamu datang.”

Mulai malam ini aku tak pernah lagi mengharapkan Andre. Bayangannya di hatiku sudah aku cabut seakar-akarnya hingga tak bersisa lagi. Esok hari akan aku jalani hari baru, yang lepas dari bayang-bayang Andre. Bahkan sekarang aku sempat heran, apa sih kelebihannya yang membuat aku tak bisa melupakannya? Kelebihan gengsi kali, atau aku hanya mengharapkannya, supaya bisa membalasnya.

by;onik

sayangku,risauku

Lengkungan terbias di cermin buram
Tak yakin tampak namun kutahu indah
Kedipan perlahan tersemat suram
Terhalang kabut namun tetaplah terindah

Rinduku terhampar di pasir tak bertuan
Cintaku terbelenggu di sekat dinding kelabu
Langkahi jurang terpuruk terjal dalam impian
Menggapai beribu malam tak pernah mampu

Bukalah sedikit celah untukku menggugah
Bisikkan kedamaian yang belum terjamah
Ungkapkan misteri yang tak pernah kau sadari
Bahwa hati telah membuncah resah terpatri
Cinta kita temukan dengan hati
ketika mata saling memandang
ketika perasaan terungkap
mengubah suasana hati
canda tawa menghiasi detik waktu

Namun, bagaimana dengan perpisahan..?
apakah setiap pertemuan selalu ada perpisahan…?
tetesan air mata siapakah yang harus menetes..?
hati siapakah yang harus di retakkan..?Tak pernah terbayangkan hidupku penuh kepedihan seperti ini. Pertemuanku dengan orang–orang di sekitarku ternyata harus kandas dengan luka tergoreskan di hati dan rasanya sulit tuk mengubur dalam–dalam kisahku ini.

Dua tahun sudah aku sebagai pelajar di SMA Nusa Bangsa I. Di tempat inilah ku bertemu dengan kawan–kawan dekatku yang biasanya aku panggil mereka dengan sahabat.

by;onik

kereta kencana nyi roro kidul

Hari ini adalah hari pertama aku menempati kamar kost baru di kota Yogyakarta, tepatnya di Jalan Timoho. Aku terpaksa pindah dari kost lama karena ada suatu masalah yang tak ingin kuceritakan di sini.

Seperti pada umumnya, aku mengalami kesulitan tidur karena berada di tempat yang baru. Sampai jam telah menunjukkan pukul dua belas malam, mataku masih belum juga mau terpejam, aku benar-benar resah, karena kesepian dan kesunyian merajai.

Aku menarik nafasku panjang sambil menata kembali tempat tidurku, merapikan bantalku, agar aku bisa tidur dengan nyaman. Dan benar saja, tak lama kemudian mataku nyaris terpejam, nyaris. Tapi lagi-lagi tak jadi, karena lamat-lamat kudengar, keteplak…keteplok… keteplak…keteplok… Berulang kali. Itu suara tapak kuda berjalan, diiringi bunyi krincing-krincing, tak berhenti, terus dan terus. Terdengar, semakin keras, semakin jelas.

Bulu kudukku pun berdiri, pikiranku kacau tak karuan, membayangkan sepasukan KERETA KENCANA yang datang dari LAUT SELATAN.

Jangan-jangan KERETA KENCANA NYI RORO KIDUL!!! Yang mungkin akan menjemput tumbalnya!!! Hiiih!

Dengan ketakutan kutarik selimutku sampai ke ujung kepala, lalu aku komat-kamit berdoa. Tak lama kemudian suara itu pun menghilang kembali ditelan kesunyian, aku pun bernafas lega.

Keesokan harinya, di jam yang sama, aku kembali mendengar suara itu.

Keteplak…keteplok…keteplak…keteplok… krincing-krincing…

OH MY GOD!!! Akupun kembali masuk ke dalam selimutku dan berdoa.
Namun bayangan seram terus merasuki otakku. Bayangan kuda-kuda putih menarik KERETA KENCANA berwarna emas dengan hiasan serba emas dan kain-kain panji berwarna hijau yang terus berkibar-kibar. Ada seorang wanita cantik berambut panjang mengenakan pakaian hijau di atasnya. Sementara mengikuti di belakangnya, sepasukan makhluk aneh berwarna hijau berlendir dengan gigi dan cakar yang tajam yang juga mengendarai kuda-kuda putih. Hiiih!

Sumpah, baru sekali ini aku merasa ketakutan yang teramat sangat!

Di hari yang ketiga, aku menyadari sesuatu, kalau aku tak boleh terus begini. Aku tak boleh kalah dengan ketakutanku, maka kuberanikan diri untuk menunggu SANG KERETA KENCANA lewat di tengah sunyinya malam. Lalu jam dua belas pun tiba, jantungku mulai berdebar keras, keringat dingin mengucur membasahi telapak tangan, sementara bulu kudukku tak pernah berhenti bergidik, sambil mulutku tak berhenti berucap doa.

Saat itu pun tiba, kembali kudengar lamat-lamat,

keteplak…keteplok… keteplak…keteplok… krincing-krincing…

Kutarik nafasku panjang di antara sesengalannya dan kuhembuskan kuat sebelum aku membuka jendela kamarku yang ada di lantai atas. Dengan segenap keberanian aku persiapkan diriku untuk melihat hal terburuk sekalipun, dan…

Deg!!!

Kulihat di sana, di aspal jalanan depan kostku, rombongan andong yang sangat banyak, berjalan berbaris hendak pulang ke kandang setelah seharian mereka lelah mengangkut penumpang. Dan satu hal yang membuatku lega. Mereka nyata! Tak ada kuda berwarna putih, wanita cantik, dan makhluk-makhluk aneh seperti yang kubayangkan.
Akupun tersenyum geli, ternyata ketakutanku tak berarti. Mulai saat itu aku tak pernah takut lagi dengan suara,

keteplak…keteplok… keteplak…keteplok… krincing-krincing…

by:onik

resah,gelisah&sunyi

Ketika kata tak berbahasa

Saat bicara tak bersuara

Apa yang ku tahu

Kehampaan

Kekosongan

Di kala hati lelah berserah

Jika diri tak mau sendiri

Apa dayaku

Kesendirian

Kesunyian

Ketidakpercayaan menemani

Kesepian teman sejati

Pengkhianatan begitu manis

Merobek harap yang tragis

Apa itu salahku?
Sebentuk hati telah terluka
Merah… mengalir membasahi relung jiwa
Cinta yang selama ini bagaikan semburat cahaya menghangatkan…

Tapi makin panas kurasa
Bilur cahaya terasa bagai ratusan jarum yang menghujam
ke dalam hati…

Pilu… perih… sakit… tak tertahan
Mati rasa…
Kugali liang
Kubur hati…
Tertanam diatasnya setangkai garisan putih
Biarlah mewangi…
Sehingga tercium oleh nya

Ingatkan dia akan hati yang terburai…
Hati yang selama ini hanyalah bayang semu
Bayang - bayang yang bermimpi menjadi wujud nyata…
Akankan dia menjaga selalu ?


Saat ku tutup mata
Semua terasa sepi
Gelap
Hampa
kosong
tapi tenang

Namun….
Saat ku mulai membuka mata
Kulihat keramaian,
terang benderang
Hingar bingar

Tapi semua kacau
Kotor…
Panas…
Muak…

Ingin kututup mataku selama mungkin
Tapi ku tak mampu
Keramaian itu memanggilku
Menarik perhatianku

Tapi ku hanya bisa meneteskan air mata
Hati ini mulai sesak,
Hancur, bahkan berdarah
Kuingin keramaian itu menjadi ketenangan

Terang benderang menjadi penerang hati
Hingar bingar menjadi pendamai jiwa
Bukan pertikaian
bukan permusuhan
Tapi persaudaraan

by:sarismika

Selasa, 17 Agustus 2010

masih adakah pelangi untukku

Aku hanyalah seorang wanita yang rapuh dan berusaha tegar. Tapi apa daya bagaimanapun aku hanyalah wanita yang butuh kasih sayang, dan bukan untuk disakiti. Dari awal memang aku yang salah. Aku menikahi seseorang karena rasa kasihan. Aku benar benar menyesal. Tak ada kebahagiaan yang aku dapatkan, hanya tangis dan rasa sakit.

“Kamu cinta sama aku gak?” tanya Joan, suamiku.

“Gak sama sekali, aku cuma kasihan sama kamu,” seruku. Hatiku kacau, aku lelah.

“Kamu tahu tidak, aku tidak betah satu rumah dengan orang yang tidak punya hati seperti kamu, aku menyesal menikah sama kamu.”

“Aku capek, aku berusaha membuat kamu bahagia tapi apa? Kamu tidak pernah bisa mengerti aku,” tangisku meledak, aku tidak tahu lagi seberapa sering air mataku jatuh.

“Kalau kamu mau maksa mengajak cerai pun aku tidak akan menceraikan kamu,” suara angkuh suamiku.

“Kamu mau lihat aku kembali seperti dulu lagi?” ancam suamiku.

Dasar orang tidak pernah mau kalah. Aku pun diam, dia memang selalu mengunakan ancaman itu saat kita cekcok seperti ini. Dia selalu memanfaatkan rasa tidak tegaku.

Aku pun berlalu dengan hati yang remuk. Mungkin tak berbentuk lagi. Aku lelah dan aku pun terlelap dengan air mata yang menetes dipipiku.

Riak air danau bergerak gerak senada dengan angin yang berhembus lembut, mengusik daun-daun Akasia, menyapu lembut wajahku dan memainkan rambutku. Aku duduk sendiri di tepian danau menanti datangnya pelangi. Karena hujan baru saja reda dari tengah danau muncul lengkungan berwarna-warni yang sedari tadi aku tunggu. Aku begitu menikmatinya seraya ku berucap, “Tuhan, beri satu pelangi untukku,” karena aku percaya selalu ada pelangi setelah hujan badai.

by;banny

arti hidup

Bagai katak di ujung tanduk. Itu adalah keadaanku sekarang. Berjuta pikiran melayang dalam angan tanpa bayang. Antara racun, obat, caci maki, dan duri-duri tajam yang menyerang. Entah kapan ini akan berakhir. Atau akankah memang bisa berakhir. Tapi mungkin saja akan segera berakhir jika aku mengakhirinya sekarang. Haruskah ada strategi utama dan paling berbahaya? Sungguh, hari panjang yang melelahkan. Aku harus memutuskan satu hal yang akan merubah seluruh kehidupan. Hari ini ulang tahunku ke-13. Tapi siapa peduli. Jangankan kado, ucapan selamat saja tertutup rapat dari mulut orang-orang yang mengenalku. Bukan hal aneh bila itu terjadi. Mana ada orang dengan ikhlas memberikan hadiah, meski sebenarnya sangat kuharapakan, begitu saja melemparkannya ke arahku. ”Anak cacat tak pantas mendapatkannya ”, bisa jadi mereka akan mengatakan itu.

Lagi-lagi suara menggelegar, ”To, mbok ya ngamen sana! Cari duit yang banyak! Jangan jadi anak males!”

Seperti biasa sambil membawa sapu lidi, ibu menakutiku, mungkin juga siap memukulku jika aku membantah. Bahkan, untuk menatapnya saja aku malas. Malas karena bosan dengan segala ocehan yang menyurutkan setiap langkahku..Aku menelusuri jalan-jalan. Menerobos keramaian kota Yogyakarta. Dengan lagak pengamen, aku bernyanyi lagu tentang keceriaan seorang anak bersama orang tuanya. Aneh, semua lagu bertemakan dunia bahagia. Sedangkan keadaanku sebaliknya. Ini bukan pekerjaan. Tapi derita keseharian. Lihat saja penampilanku. Baju kumal yang jarang dicuci. Kalau pun sampai dicuci, tidak dengan air kran atau air sumur. Air sungai keruh telah menjadi tempat laundry bagiku dan teman-teman seperjuangan. Memang bajuku dicuci, tapi malah semakin kumal akibat lumpur sungai yang melekat menutupi pori-pori kain. Lain lagi dengan tubuhku. Badan kurus kering bagaikan anak kekurangan gizi. Tak khayal, banyak julukan untukku akibat bentuk tubuh ini. Kadang teman-teman memanggilku Cungkring, Garing, atau Krempeng. Aku menerima saja. Kalau dibilang marah. Aku sungguh terhina dengan julukan itu. Akan tetapi, jika dilihat dari keadaanku, memang begitu keadaannya.

Temanku banyak mengamen di bus-bus yang lewat. Berbeda denganku. Aku hanya keliling sehingga uang yang kudapat lebih sedikit. Bagaimana mungkin aku akan naik bus. Berjalan saja sudah sulit apalagi pakai tangga segala. Aku tahu pasti ada orang yang membantu. Tapi apakah kita harus selamanya bergantung pada pertolongan orang lain. Padahal, kita masih sanggup mengerjakannya sendiri. Sepreman-premannya orang pasti mereka punya rasa kemanusiaan bagi sesama. Apalagi untuk anak sepertiku.

Tibalah aku di depan rumah mewah. Menyanyi semerdu mungkin agar orang yang mendengarnya merasakan apa yang ingin kusampaikan. Meski sebenarnya lagu itu hanya untuk menyemangati hidupku yang sedang galau.

Hidupmu indah
bila kau tahu,
jalan mana yang bena…ar
harapan ada
harapan ada
bila kau percaya

17agustus,2010 by;yurna

itulah aku

Pagiku sirna terhempas di atas bebatuan tajam
Siang yang menjelang tak mampu membuat hangat tubuhku yang kedinginan di dalam peraduan.
Banyak pesan ku kirimkan untukmu, wahai Rajaku seorang.

Itulah Aku
Bukan untuk menghindari etika itu.

Itulah perasanku…
Karena suara hati tak pernah menipu

Itulah isi hatiku…
Karena bicara kadang membuat lidah kelu.

Itulah kerinduanku…
Karena Aku tak mungkin mendapatkan tempat memenuhi hatimu.

Itulah kesahku…
Karena Engkau adalah pilihan hatiku.
Aku takkan berharap banyak darimu untuk memilikimu,
karena cinta tak harus memiliki

Itulah Aku..
Seorang manusia bodoh yang bermimpi menggapai matahari
Terbakar saat menyentuh api kecilnya

Itulah Aku..
Manusia terlemah yang bermimpi terbang ke langit biru
Pecah berkeping terjatuh saat mendekap awannya

Itulah Aku…
Seoranghamba yang merindukan seorang raja berada di sisinya

Itulah Aku…
Yang selalu mencintaimu sepanjang hidupku

Itulah Aku…
Tak akan pernah membencimu meski Kau acuhkan Aku

Itulah Aku…
Tak akan marah meski akhirnya Kau membenciku

Itulah Aku…
Yang ada druang hatiku hanyalah ada cinta dan rindu

by;berber78

Sabtu, 14 Agustus 2010

SAPAAN RINDU JAKARTAKU

Sapaan rindu…

Hangat rasa nya berada di tengah dekapmu..
Tapi sesak…
Kau terlalu erat memelukku…

Tenang rasa nya di sekeliling barisan panjangmu..
Tapi lelah…
Aku terlalu lama menunggu…

Bersamamu harus penuh rasa sabar..
Karena bukan hanya aku yang mencintaimu..
Semua mencintaimu.. semua menyayangimu…
Semua ingin selalu di dekat mu…
Sampah-sampah itu juga…

Sayang…
Hanya sebentar aku merasakan..
Selanjutnya aku harus segera pulang..
Rasanya…aku ingin mengulang.

Kembali di tengah kebisingan…

Berbincang-bincang dengan megahnya Istiqlal…
Jalan bergandengan dengan Monas…
Kemudian…
Tertawa lepas bersama tangis gelandang…

Sesungguhnya…
Aku ragu untuk mengatakan rindu padamu
Karena terlalu banyak sainganku..
Yang sama-sama ingin merasakan dekap sesakmu, Jakartaku…


RELUNG-RELUNG JIWA KESEPIAN

Di hati ada penantian
Panjang tapi tak jua bertepi
Lewat angan aku berkhayal
Sesaat ada bayang namun hampa

Saat hadir menggebu
Tersenyum semu kubayar kerinduan
Hampa langkah aku tertahan
Semu mulutku tersendak
Ada gerangan apa aku berpikir

Luka tapi dimana luka
Rindu tapi dimana rindu terbayar
Sepikul keluh kurasa di hati
Menabuh peluh hanya waktu yang terhitung
Takkan habis bersama hari yang berselang
Rinduku tetap kupikul dalam jiwa yang kesepian

DETIK UNTUK SEBUAH KENANGAN



Dalam angan ku berbisik

Ucapannya yang lalu kembali mendengung

Hanya saja bayangnya tak lintas mata

Gelak tawanya pun tak mampu kulihat

Aku ingin melihatnya

Berpeluk kembali dengan tanganku yang dingin

Namun

Mengapa aku yang di sini

Tak mampu merasakannya

Rasa rindu yang selama ini untukmu

Detik untuk sebuah kenangan

Akan lalunya sebuah cinta yang telah terungkap

Membuat itu akan kembali tersenyum

Walau anganku tak mampu kulihat

Walau abu cinta itu masih ada dalam impian

Dalam bayang cermin yang retak

Semua kenangan itu tersampul

Tangan kecil ini meraihnya

Untuk kubawa dalam senyumnya

Yang Kuasa

BY;DAYANA

AUREL TI AMORE

Aku menatap lekat-lekat foto gadis berlesung pipit, Aurel. Mataku seakan tak bisa lepas memandanginya. Sama seperti otakku yang tak pernah bisa menghapus memori tentangnya. Sama seperti hatiku yang tak pernah bisa berhenti memanggil namanya. Tiga tahun ini aku menganggap Aurel sebagai masa lalu yang kini tak pernah tergapai, walaupun aku sangat mengharapkannya. Tiga tahun ini aku dan Aurel dipisahkan oleh tembok-tembok ruang dan waktu yang tak jelas batasannya. Tiga tahun ini aku tak pernah sekalipun menjenguk wajah purnamanya. Huh! slide-slide film otakku kembali memutar potongan-potongan kisah tiga tahun lalu.

* * *

“Aku nggak setuju Ndra, kamu ikut balapan itu,” kata Aurel ketus. Aku mendengus sebal. Ini yang ketiga kalinya Aurel melarangku untuk ikut balapan bersama teman-temanku.

“Nggak Rel, aku akan tetap ikut balapan itu! Sudah dua kali Rel, aku menolak permintaan mereka untuk adu balap denganku. Mereka sudah sangat kecewa padaku.”

“Oh begitu, kau lebih suka bila aku yang kecewa!” Nada bicara Aurel mulai meninggi. Aku mencoba untuk sabar.

“Bukan begitu Rel, ini cuma balapan biasa. Aku tak ingin teman-temanku kecewa. Aku pun juga tak ingin kau kecewa padaku, Rel.” Aku mencoba menyakinkan gadis yang sangat kusayangi ini, tapi nampaknya Aurel tetap pada keputusannya.

“Aku nggak suka Ndra kamu ikut balapan. Aku nggak mau sesuatu terjadi padamu Ndra. Aku nggak mau!” Aku memandang kilat di mata Aurel. Aku tahu gadis itu sangat mencintaiku.

“Aku akan baik-baik saja Rel, sekali lagi kukatakan padamu ini cuma balapan biasa!”

“Nggak Ndra! Aku nggak mau kamu ikut balapan itu.” Amarah Aurel semakin menjadi-jadi.

“Ok, kalau begitu aku akan ikut kau balapan Ndra.” Aku terkejut dengan perkataan Aurel. Selama ini dia sangat penakut, bahkan sampai sekarang gadis pujaanku ini takut mengendarai sepeda motor sendiri.

“Nggak Rel, kau jangan ikut balapan itu. Aku……” Aku tidak melanjutkan kalimatku

“Aku apa, Ndra? Kau takut terjadi apa-apa padaku? Aku akan tetap ikut. Aku akan selalu bersamamu, Ndra.” Aku hanya bisa pasrah dan mengijinkan Aurel ikut balapan. Aku yakin kami akan baik-baik saja, seperti balapan yang sudah kuikuti sebelumnya.

Minggu pagi. Alan, Danu, Rendy, dan beberapa teman mereka telah siap untuk bertempur dalam balapan motor ini. Sebenarnya jalan yang kami gunakan bukan arena balap, jalan ini hanya jalan sepi yang jarang dilalui kendaraan. Di belakang, Aurel memelukku dengan sangat erat. Aku memegang tangannya untuk menenangkan. Dingin! Tak pernah aku merasakan tangan Aurel yang sedingin ini. Semua telah bersiap-siap dan memanasi mesin.

“Ok, Man. 1….2…..3……go!!”

Motor-motor pun dipacu dengan kecepatan tinggi. Asap-asap menari-nari bersama bising kendaraan yang memekakkan gendang telinga. Kurasakan Aurel semakin erat memeluk tubuhku. Kupacu motor dengan kecepatan penuh. Dan sekarang aku telah berada di posisi terdepan. Aku memang terkenal sebagai jagoan balap di kalangan teman-temanku. Memang akulah yang paling hebat! Memang akulah juaranya!

“Brukk!!!”

Tiba-tiba sebuah mobil menyebrang jalan. Kecepatan yang tinggi membuatku tak bisa mengerem ataupun menghidari mobil hitam tersebut. Sepeda motorku oleng bersama tubuhku yang terpelanting jauh. Sempat kurasakan darah merembesi keningku. Tiba-tiba semua gelap. Aku tak sadarkan diri.

Entah bagaimana tapi aku sudah berada di rumah ketika membuka mata. Ibuku mengatakan kalau aku sudah terbaring di sini selama delapan hari.

“Aurel!! Mana Aurel, Ma? Dia baik-baik saja kan?” Aku langsung teringat belahan jiwaku itu saat aku baru sadar dari koma.

“Tenanglah Ndra, Aurel akan baik-baik saja. Keluarga Aurel telah membawanya ke rumah sakit di Jakarta untuk berobat.”

“Apa, Ma! Separah itukah keadaan Aurel, Ma? Ini semua karena Indra, Ma, harusnya Indra nggak ikut balapan itu.”

“Tenanglah Ndra, Aurel akan baik-baik saja. Sekarang kamu istirahat saja,” kata Mama menenangkanku sambil merapikan selimut dan meninggalkanku sendiri.

Aku sedih bukan main. Rasa bersalah menghimpit-himpit dan menyesakiku. Aurel kau di mana? Maafkan aku Rel. Apa kau baik-baik saja? Kenapa kau harus berobat ke Jakarta? Seberapa parah lukamu? Ini semua karena aku tak mendengarkan kata-katamu Rel. Kuraba kepalaku yang masih terbalut perban, perih. Tapi perih ini tak sebanding dengan perih dihatiku.

Satu bulan aku hidup dalam perasaan bersalah yang terus menghimpit nurani dan batinku. Siang malam aku hanya memikirkan Aurel. Sebelum akhirnya datang surat tanpa alamat dari Aurel

Ndra, kau tak perlu cemas. Aku baik-baik saja disini. Aku sekarang mengikuti ayahku yang bekerja di luar negeri. Berat memang untuk meninggalkanmu tanpa pamit. Tapi kukira inilah jalan yang terbaik untuk kita. Lupakan saja aku, Ndra. Dan aku juga akan mencoba melupakanmu, walau kutahu itu pasti akan sangat sulit.

Selamat tinggal Ndra

Aurel

BY;DUNIA UCHI

KERINDUAN DAN KENANGAN

ITULAH AKU

Pagiku sirna terhempas di atas bebatuan tajam
Siang yang menjelang tak mampu membuat hangat tubuhku yang kedinginan di dalam peraduan.
Banyak pesan ku kirimkan untukmu, wahai Rajaku seorang.

Itulah Aku
Bukan untuk menghindari etika itu.

Itulah perasanku…
Karena suara hati tak pernah menipu

Itulah isi hatiku…
Karena bicara kadang membuat lidah kelu.

JIKA

Aku tertatih lagi malam ini.
Aku merunduk lagi malam ini.
Lalu tersudut di bilik kesepian.

Andaikan saja dulu kita tak pernah bertemu.
Takkan pernah ada kerinduan menyelimuti jiwaku di bilik ini.
Andaikan saja dulu tak kau sentuh hatiku,
Takkan terisi kekosongan hatiku oleh bayanganmu.

WAKTU

waktu membawaku berlari begitu cepat
menarik erat tubuhku,
memaksaku untuk tetap menatap ke depan

masa lalu,
ingin aku menolehnya sebentar saja
sekedar untuk menghilangkan dahaga kerinduanku
akan masa-masa indah
saat aku masih memiliki cinta

saat ini sepertinya aku mati
rasaku hilang entah kemana
duka. .
bahagia. .
apapun namanya, semua bagiku sama
tak ada lagi indah yang dulu selalu membuatku tersenyum

SILUET

waktu membawaku berlari begitu cepat
menarik erat tubuhku,
memaksaku untuk tetap menatap ke depan

masa lalu,
ingin aku menolehnya sebentar saja
sekedar untuk menghilangkan dahaga kerinduanku
akan masa-masa indah
saat aku masih memiliki cinta

saat ini sepertinya aku mati
rasaku hilang entah kemana
duka. .
bahagia. .
apapun namanya, semua bagiku sama
tak ada lagi indah yang dulu selalu membuatku tersenyum

TERKENANG AYAH
kulukis bayangmu di kanvas rembulan
untuk mengenang setiap tetes peluh
yang mengucur deras dari tubuh

kala orang masih asyik memeluk selimut
kau telah bergelut dengan embun
yang menempel di pohon-pohon sagu
berbekal semangat dan kerja keras
mengais rezeki dari putih sarinya

mandi peluh di panas terik
basah tubuh di hujan deras
tidak pernah kau pedulikan
asalkan aku bisa sekolah

sepotong celana untukmu tak sanggup kau beli
bahkan sepasang sendal jepit sekalipun
tapi biaya sekolah tak pernah tertunda
hingga aku raih gelar sarjana

sekarang hidupku jadi bahagia
meraih sukses di dunia kerja
berkat kerja kerasmu di masa lampau

Ayah…
kaulah teladan bagi dunia orang tak punya
mengubah sengsara jadi bahagia
BY;HAMIDAH IZZATUL LAILY

AKU PULANG

Wignyo adalah seorang pria muda yang bekerja sebagai seorang porter kargo di sebuah gudang kargo bandar udara di Pulau Jawa. Sudah bertahun-tahun ia bekerja sebagai porter. Walau terasa begitu berat, namun pekerjaan ini satu-satunya yang bisa diandalkan untuk menghidupi keluarganya. Ia harus berangkat dinihari menuju gudang kargo bandar udara tempatnya bekerja. Saat itu ia harus sudah siap menerima dan mengatur setiap paket barang yang akan diberangkatkan dengan penerbangan terpagi dari lima maskapai yang ada. Hampir semua barang yang akan diberangkatkan dengan pesawat harus melalui gudang bandar udara. Jadi semua jasa kurir dan termasuk pula paket serta surat-surat yang dikirim oleh Pos Indonesia harus diperiksa dan ditimbang ulang di gudang kargo bandar udara ini. Semuanya, tanpa kecuali, baik barang yang akan diberangkatkan maupun barang yang datang, semuanya harus melalui pemeriksaan dan penimbangan ulang di gudang kargo bandar udara ini.
Konon beberapa tahun yang silam, gudang kargo bandar udara ini sempat pula bermasalah saat terjadi kasus penyelundupan emas batangan yang dimasukkan ke dalam tas koper dan dikirim sebagai barang paket melalui sebuah jasa kurir. Karena saat itu jam keberangkatan begitu mepet dan sibuk, mungkin saja koper berisi emas itu sempat lolos dari pemeriksaan. Entahlah, apa ada unsur kesengajaan atau tidak, yang jelas kasus itu sempat merebak dan bikin heboh. Kini pemeriksaan pun semakin diperketat. Tidak ada lagi tindakan mencuri-curi berat timbangan, karena itu sangat berbahaya. Maksudnya begini, setiap barang yang masuk ke gudang kargo harus ditimbang, dicatat dan diperiksa, kemudian didaftar dalam lembar manifest barang dan data itu masuk di database komputer. Gunanya supaya setiap barang yang keluar masuk bisa dideteksi dan diselidiki dari mana asal dan tujuannya, demikian pula isinya. Selain itu dengan adanya kegiatan penimbangan barang kargo, berat setiap kargo barang yang akan dimuat di pesawat bisa dikontrol agar tidak overload (kelebihan beban), sebab pesawat yang mengalami overload kargo, sangat rawan mengalami kecelakaan waktu berada di ketinggian.
Satu-satunya cara untuk mengontrol agar barang kargo yang diangkut pesawat tidak overload yaitu dengan memeriksa catatan berat yang tercantum di manifest barang dan juga melakukan cross check dengan data yang ada di komputer. Jadi yang dianggap bertanggung jawab bila terjadi kecelakaan akibat pesawat kelebihan muatan atau overload adalah pihak gudang kargo bandara. Maka dari itulah sekarang pengawasan dilakukan secara lebih ketat, supaya tidak ada lagi upaya oknum-oknum petugas bandara yang berkolusi dengan jasa kurir untuk mengurangi berat timbangan yang dicatat. Misalnya, kalau berat suatu paket setelah ditimbang mempunyai berat 100 Kg, bisa jadi kalau ada seorang oknum nakal yang berkolusi dengan oknum petugas jasa kurir, berat yang dicatat hanya sebesar 50 Kg, supaya biaya ongkos gudang yang dibayarkan bisa lebih murah. Tentu saja oknum petugas gudang kargo akan mendapat uang tahu sama tahu dari petugas jasa kurir. Memang kelihatannya sepele, namun kalau semua orang berbuat seperti itu, bisa-bisa barang kargo yang dimuat di pesawat melebihi kapasitas yang disarankan, sementara yang tercatat di dokumen manifest lebih kecil dari jumlah yang sebenarnya. Bayangkan bila jumlah itu dikalikan dengan ratusan paket yang dikirim tiap harinya dengan pencatatan palsu, tentu bila pesawat mengalami kecelakaan akibat overload kargo, semua itu menjadi sulit untuk dideteksi.
Wignyo merasa bosan dan juga jengkel dengan kondisi yang itu-itu juga. Sebenarnya ada sebuah masalah yang selama ini begitu mengganjal hati dan pikirannya. Sudah bertahun-tahun sejak ia bekerja di gudang kargo ini, setiap minggunya selalu saja ada peti jenazah TKI maupun TKW yang datang di gudang kargo ini. Biasanya gudang kargo ini bakal ramai dikunjungi oleh para penjemput jenazah saat sore hari menjelang jadwal kedatangan pesawat, bila rencananya mau ada peti jenazah yang datang. Setiap minggu selalu ada saja lebih dari satu peti jenazah yang datang dari Malaysia, Singapura, Taiwan, Hongkong, Jepang, Korea hingga Arab Saudi. Melihat dari banyaknya peti jenazah yang berdatangan setiap minggunya, Wignyo sering bertanya pada dirinya sendiri, begitu burukkah perlakuan yang diterima oleh para TKI dan TKW bangsa ini yang mengadu nasib di luar negeri demi sesuap nasi. Begitu kejamkah manusia-manusia yang katanya berperadaban tinggi di negeri-negeri kaya seberang lautan sana, sehingga demikian tega berlaku kejam pada para TKI dan TKW hingga mereka pulang bukannya membawa sejumlah uang untuk keluarga, namun pulang dalam peti mati dari bahan kayu murah. Apakah derajat bangsa ini demikian rendahnya sehingga mau saja terus mengirimkan TKI dan TKW, menyetorkan nyawa anak bangsa untuk dibunuh di negeri lain ? Apakah tidak ada sedikit pun kepedulian dari pemerintah negeri ini untuk mengangkat derajat dan harkat bangsanya sendiri ? Sebegitu hinakah derajat rakyat bangsa ini sehingga tetap diam saja saat diperlakukan tak ubahnya seperti budak di jaman penjajahan, yang dengan mudah bisa dibunuh bila dianggap sudah tidak bermanfaat dan tidak produktif lagi ? Wignyo terus bertanya dalam hati. Jauh dalam lubuk hatinya ia masih dapat bersyukur bahwa walau dengan gajinya yang kecil dan pas-pasan sebagai seorang porter di gudang bandar udara, setidaknya ia tidak mengalami nasib seburuk mereka yang ada dalam peti-peti jenazah itu. Setidaknya ia masih bisa berkumpul dan hidup bahagia dengan anak istrinya, persis seperti pepatah Jawa yang mengatakan, “Mangan ora mangan sing penting kumpul”.
Wignyo merenung sejenak, kalau bandar udara ini saja setiap minggunya selalu menerima paket kiriman jenazah TKI dan TKW, yang kalau satu tahun sudah dapat dihitung berapa banyaknya, bisa dibayangkan berapa total peti jenazah berisi TKI dan TKW dari negeri-negeri asing yang setiap minggunya berdatangan di berbagai bandar udara di tanah air. Berarti begitu banyak jumlah orang Indonesia yang mati sebagai tumbal negara di luar negeri. Namun sampai saat ini sepertinya kok pemerintah tenang-tenang saja menanggapi begitu banyak nyawa warga negeri ini yang melayang sia-sia akibat perlakuan kejam para juragan di negeri asing. Mungkin penjajahan masih belum berakhir. Rakyat negeri ini masih saja terjajah secara ekonomi, lahir dan batin. Bahkan saat pulang pun mereka tetap tidak mendapatkan penghormatan sebagai seorang pahlawan devisa. Banyak diantara mereka yang pulang terbungkus oleh peti mati berbahan murah. Peti mati murahan yang terbuat dari kayu yang permukaannya kasar. Sebuah penindasan dan pelanggaran HAM terang-terangan yang tak juga mendapat perhatian lebih. Mereka-mereka yang pulang dalam peti jenazah itu, kalaulah memiliki pilihan, mungkin akan lebih memilih bekerja di negeri sendiri, tentunya dengan penghasilan yang manusiawi, tidak seperti yang terjadi sekarang.
Outsourcing begitu merajalela, seakan rakyat hanyalah buruh murah yang tidak mempunyai hak untuk hidup lebih baik. Apalagi sepertinya hampir tidak ada lagi status karyawan tetap, yang ada hanyalah status karyawan kontrak. Sejarah telah berulang, kalau dulu di jaman penjajahan Belanda ada undang-undang yang namanya undang-undang kuli kontrak, yang kalau para pekerja bekerjanya tidak becus, bakal kena poenale sanctie (hukuman badan, dengan cara dicambuk atau dipukul), sekarang sepertinya hal itu terjadi kembali dengan versi yang berbeda namun dengan motif yang kurang lebih sama. Buruh dan karyawan tidak lagi memperoleh hak untuk hidup layak, dengan gaji yang sangat minim (sementara biaya hidup terus melambung tinggi), tanpa tunjangan kesejahteraan, tanpa adanya jaminan kesehatan, tanpa adanya uang makan, tanpa adanya uang transpor, kami para buruh dan karyawan tak ubahnya seperti sapi perahan yang harus bekerja siang malam dan terus diperas sampai mati garing akibat kurang gizi dan sakit-sakitan. Jadi apa bedanya jaman sekarang dan jaman penjajahan Belanda dulu. Kami para rakyat kecil masih saja hidup dalam penindasan, tanpa kesejahteraan dan hidup dengan fatamorgana kemakmuran. Iming-iming bisa hidup kaya sepulang dari negeri seberang hanyalah fatamorgana yang mematikan. Buktinya sudah demikian banyak korban berjatuhan. Setiap minggunya selalu ada saja lebih dari satu peti jenazah yang berdatangan dari berbagai negeri seberang lautan. Mereka semua pahlawan devisa yang telah pulang ke tanah tumpah darah yang tercinta, Indonesia. Hanya terbungkus dalam peti jenazah berharga murah. Di manakah harga diri kita, wahai bangsaku ?

BY;HARYOBAGUSHANDOKO

TENGAH MALAM

Malam-Malam Nina
Cerpen Lan FangIni sudah hari ke empat Nina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Nina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama. Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku, mereka cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku. Apa pun yang mereka lakoni, tidak bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka bukan perempuan baik-baik.Nina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna. Perempuan di masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.Oh ya, Nina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah, bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu terakhir Nina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau menelepon sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang menyobek pandangannya. Dan puncaknya adalah empat hari terakhir ini."Nina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak bisa mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah. Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Nina kulihat masih termangu dengan mata kosong.Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu beriak. Tetapi ia cuma menggeleng."Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia menganggapku rese’.Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana mengejewantah.Nina memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya, asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-hal yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Nina. Aku merasa tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa sekarang mendadak hadir kembali?Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino. Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam bentuk berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu berembun, lalu embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku. Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka juga sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.Aku menyulut sebatang dupa India. Aromanya semerbak langsung memenuhi ruangan. Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang di udara. Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas meja di depan Nina."Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.Mata Nina memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai berembun. Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil sebuah kartu. Lalu membukanya."Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka," gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.Aku mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan panjang…menunggu…kau menunggu seorang laki-laki?""Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.Kuteruskan membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia beristri?" kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas kartu itu."Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai seperti sekarat.Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang pernah kurasakan lima tahun lalu?"Kamu mencintainya, Nina?""Amat sangat!" kali ini ia menjawab cepat.Kuhela napas panjang. Kubiarkan kartu-kartu berserakan di antara aku dan Nina. Kulihat jantungnya seperti bulan tertusuk ilalang."Tetapi ia mengecewakanku, Mbak. Ia mengkhianati aku." Ia tidak mampu lagi menyembunyikan suara gemeretak hatinya yang bagaikan bunyi tembikar terbakar."Ia mengkhianati kamu? Bukannya ia yang mengkhianati istrinya? Bukankah ia sudah beristri?" aku bertanya, berpura-pura bodoh karena berusaha menyingkirkan masa lalu yang mulai menggigiti sanubariku. Perih itu masih terasa."Ya. Dia beristri. Tapi istrinya jahat sekali. Ia ingin meninggalkannya. Ia mencintaiku. Kami punya rencana masa depan," jawabnya naïf dan lugu.Astaga! Seperti itukah diriku lima tahun silam? Aku benar-benar seperti melihat cermin diriku.Kepulan asap dupa melemparku ke kepulan asap lain yang sama pekatnya lima tahun yang lalu. Aku berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari mulut para lelaki berduit yang kutemani duduk-duduk, minum, sampai ke kamar tidur. Para lelaki yang mabuk kepayang karena kecantikanku sebagai primadona di sebuah wisma di kompleks hiburan malam. Para lelaki kedinginan yang butuh kehangatan. Para lelaki kesepian yang butuh pelukan. Para lelaki yang tidak tahu lagi ke mana bisa menghamburkan uang mereka yang berlebihan."Istrinya jahat bagaimana? Namanya istri ya wajar saja dia tidak suka kalau suaminya berhubungan dengan perempuan lain," sahutku enteng atau tepatnya aku sudah terbiasa untuk "mengenteng-entengkan" jawaban yang ujung-ujungnya akan membuatku terluka. "Yang salah, ya suaminya. Sudah beristri kok masih bermain api. Tetapi namanya laki-laki ya begitu…," sambungku pelan.Laki-laki memang begitu, desahku. Laki-laki memang suka bermain api. Laki-laki memang suka mendua. Seperti para lelaki yang datang dan pergi di atas ranjangku. Mereka terbakar hangus gairah memberangus, haus sampai dengus-dengus napas terakhir. Lalu mereka pergi setelah sumpalkan segepok uang di belahan dadaku."Tetapi Bayu tidak seperti itu!" sergah Nina cepat. "Bayu mencintaiku, Mbak! Ia tidak akan meninggalkanku."Ya! Prihadi juga tidak seperti laki-laki lain. Ia juga mencintaiku. Prihadi tidak seperti laki-laki lain yang meniduriku dengan kasar. Ia bahkan sangat lemah lembut untuk ukuran "membeli" kehangatan dari seorang perempuan seperti aku. Karena Prihadi, maka aku tidak mau menerima tamu yang lain. Ia menginginkan aku hanya untuknya, maka ia membeli dan menebusku dari induk semangku. Lalu ia membawaku keluar dari wisma itu dan membelikan aku sebuah rumah kecil. Ia pahlawan bagiku. Ia tidak meninggalkanku. Bahkan memberikan benih kehidupan baru yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku bahagia sekali. Tetapi kemudian aku memutuskan untuk meninggalkannya.Kuputuskan untuk meninggalkan Prihadi ketika istrinya datang menemuiku dengan begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan dengan perempuan yang begitu berkilau, tinggi, langsing dengan kulit kuning, ayu dengan wajah priyayi, tutur katanya lemah lembut, membuatku benar-benar merasa rendah dan tidak ada artinya. Ia sama sekali tidak menghardik atau mencaci-makiku. Ia sungguh nyaris sempurna untuk ukuran seorang perempuan, kecuali…belum bisa memberikan anak untuk Prihadi!"Kamu Ningsih? Aku istri Prihadi. Namaku Indah."Oh, ia sungguh-sungguh seindah namanya."Aku tahu hubunganmu dengan suamiku," ujarnya dengan menekankan benar-benar kata "suamiku" itu. "Dan aku tahu kamu pasti perempuan baik-baik," lagi-lagi ia memberikan tekanan dalam kepada kata-kata "perempuan baik-baik" yang jelas-jelas ditujukannya kepadaku. "Sebagai perempuan baik-baik, kamu seharusnya tidak menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun," kali ini ia menekankan setiap kata-katanya sehingga membakat wajahku terasa panas."Nina, sebagai perempuan baik-baik, seharusnya kamu tidak berhubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun…," aku mengulangi kalimat yang kusimpan lima tahun yang lalu untuk Nina. Sebetulnya itu klise, bukan? Hanya sekadar untuk menutupi gundah gulanaku yang entah kenapa merayapi seluruh permukaan batinku."Tetapi, Mbak, Bayu mencintaiku…," Nina menjawab. Jawaban itu juga yang kuberikan lima tahun yang lalu kepada perempuan yang nyaris sempurna itu.Tetapi ketika itu, ia justru memberikan senyum manisnya. Ia benar-benar tanpa ekspresi marah. "Laki-laki biasa seperti itu. Tetapi kamu kan perempuan baik-baik. Walaupun Prihadi menggoda, mengejar dan mencintaimu, tetapi bukankah sudah sepantasnya kamu menolaknya? Kamu kan tahu kalau dia sudah beristri?" lagi-lagi ia membuatku pias.Aku berusaha mem-photocopy kata-kata usang itu untuk Nina."Tetapi aku juga mencintai Bayu," ia melenguh getir.Kurasakan getir yang sama ketika aku memberikan jawaban itu pula kepada istri Prihadi. Bahkan waktu itu aku masih memberikan tambahan jawaban. "Aku mengandung anak Prihadi…." Kuharap dengan jawabanku itu ia tidak akan mengusik perasaanku dengan kata-katanya yang lemah lembut tetapi terasa menampar-nampar."Baiklah, aku mengerti kalau kamu mencintai Prihadi," ia tertawa pelan tetapi sungguh terasa kian menusuk-nusuk.Astaga! Ia tertawa! Terbuat dari apakah perempuan ini?"Kalau kau mencintai seseorang, maka kau akan melakukan apa saja yang akan membuatnya bahagia kan?" Ia pandai sekali bermain kalimat. Sebentar kalimat pernyataan, sebentar kalimat tanya. Tetapi tidak ada satu pun dari kalimatnya yang membakatku merasa nyaman.Hei! Konyol benar! Sudah syukur-syukur ia tidak memaki-makimu…, cetus batinku."Ya, aku akan melakukan apa saja untuk membuat Prihadi berbahagia.""Nah, kau tahu kalau Prihadi adalah tokoh masyarakat yang cukup terkenal dan disegani di kota ini, kan? Ia memiliki kedudukan, kekayaan, karisma, dan nama baik. Apakah bisa kau bayangkan bagaimana reputasi Prihadi kalau sampai terbongkar mempunyai hubungan dengan perempuan lain…dan bahkan mempunyai anak di luar nikah?"Oh…ia mempunyai tata bahasa yang sempurna! Ia sama sekali tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memakai istilah "mempunyai hubungan dengan perempuan lain", ia tidak mengatakan "mempunyai simpanan bekas pelacur", ia mengatakan "anak di luar nikah", ia tidak mengucapkan "anak haram". Apakah itu berarti ia menghargaiku? Tetapi kenapa aku justru tidak merasa dihargai? Aku justru merasa dipermalukan. Ataukah memang pantas aku dipermalukan?"Bagaimana? Apakah situasi itu akan baik untuk Prihadi?""Tidak," aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kata-kata itu.Ia tertawa pelan tetapi kali ini benar-benar seperti tawa seorang algojo yang berhasil memengal kepala seorang tawanan yang sama sekali tidak melawan."Lalu bagaimana caramu untuk membuat Prihadi bahagia? Kamu tidak mau merusak semua yang sudah dimiliki Prihadi, kan?" Ia benar-benar algojo yang sempurna. Ia memenggal kepalaku tanpa rasa sakit sedikit pun.Tinggal aku yang menggelepar, terkapar, tanpa pernah merasa sekarat meregang nyawa."Kalau kamu mencintai Prihadi, tinggalkan dia, gugurkan kandunganmu. Kamu pergi jauh dan memulai kehidupan baru. Aku akan membantumu. Kamu cantik sekali, Ningsih. Aku yakin, tidak akan sulit bagimu untuk mencari laki-laki baik yang belum beristri," ia menutup eksekusinya dengan kata-kata pelan tetapi penuh tekanan. "Jelas? Kuharap kamu cukup pandai untuk bisa mengerti semuanya," tandasnya.Lalu tidak banyak yang bisa kubantah ketika ia "membantuku" menyelesaikan semuanya. Ia melakukan transaksi jual beli atas rumah yang kutempati. Ia menggantinya dengan sejumlah uang yang lebih dari cukup. Ia mengantarku ke dokter dan membayar semua ongkos "mengeluarkan" calon kehidupan yang bersemayam di tubuhku. Ia membelikan aku tiket pesawat. Ia mengantarku sampai ke bandara. Ia memeluk dan mencium pipiku, lalu berbisik, "Selamat menempuh hidup baru, Ningsih. Tolong, jangan ganggu kehidupan Prihadi. Terima kasih atas pengertianmu. Kamu memang perempuan yang baik…"Oh! Ia benar-benar perempuan yang sempurna!Sampai pesawatku tinggal landas, aku tidak bisa menitikkan air mata sama sekali. Apa yang perlu kutangisi? Perempuan itu tidak memaki atau menghinaku. Bahkan ia "membantuku" dan memberiku banyak uang untuk memulai kehidupan baru di kota yang jauh dari mereka. Terasa jutaan sembilu menikam-nikam. Hatiku terasa sakit tetapi mataku hanya bisa mengembun.Sejak itu, aku berteman dengan kartu-kartu ini. Kartu-kartu ini pemberian induk semangku. Aku belajar dari dia membaca kartu-kartu ini. Dahulu, dari kartu-kartu ini, aku tahu apakah aku akan mendapat banyak tamu atau tidak? Apakah Prihadi akan datang atau tidak.Ah, kutepis nama itu cepat-cepat.Aku melanjutkan jalannya kartu-kartu yang masih berserakan di atas meja. Aku tidak mau mengingat masa lalu yang sudah sekian lama kukubur. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena sangat menyakitkan. Toh, dengan uang yang kubawa, aku bisa membangun kehidupan baru, membeli rumah ini, membuka warung kecil, menerima kos-kosan, bertemu Nina…"Halangan…rintangan…rindu…ah…ia tidak mempunyai uang!" Aku berusaha mengalihkan rasa lukaku dengan membaca kartu-kartu Nina. Lagi-lagi ramalan itu yang kubaca dari kartu-kartu yang bertebaran. "Bingung…perempuan…halangan…Ia merindukanmu juga. Tetapi ia bingung bagaimana harus menghadapi istrinya," cetusku.Nina tertawa sumbang. "Bayu memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya. Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui hubungan kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan. Sekarang ia menghindar dariku, Mbak! Ia lebih mencintai kekayaan istrinya daripada perasaanku!""Bayu mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini embun-embun di matanya berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras menganak di lekuk-lekuk pipinya. "Bayu menipu hatiku, Mbak! Ia takut tidak bisa hidup kaya bila pergi bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan itu sudah menjadi badai. Riuh rendah bergemuruh seakan puting beliung yang akan merubuhkan apa saja. Lara berkubang seperti seonggok daun-daun gugur di matanya yang tersayat."Apa yang kau inginkan darinya?""Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Prihadi. Kenapa ia tidak mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya yang begitu sempurna itu menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu ketika istrinya "membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak ada kabar berita? Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia. Apakah itu sudah merupakan kesepakatan mereka berdua?Akhirnya, aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi. Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja dengan rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada memaafkan. Sakit lebih nikmat daripada pengharapan. Jadilah rasa benci dan sakit yang kusimpan untuk Prihadi.Malam demi malam, kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna itu. Aku tidak rela menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan dengan seorang anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan mudah sebiji kacang hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati sepi yang sama seperti sepi yang dibelikannya untukku.Sejak malam itu, malam-malam Nina juga menjadi sibuk. Nina menjadi sangat menyukai malam seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang dirasakannya kepada Bayu.